SUKABUMIUPDATE.com - Kisruh penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) penanggulangan dampak pandemi Covid 19 kian menuai sorotan berbagai pihak. Terbaru, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia pada 20 April 2020 lalu mengadakan rapat virtual antar kementerian guna menyikapi permasalahan tersebut.
Rapat yang diikuti pimpinan KPK tersebut, menyepakati penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai pijakan bagi kementerian yang mengelola Bansos. Namun pemerintah daerah sebagai pendata boleh menambahkan nama-nama diluar DTKS (non DTKS), asalkan lengkap dengan nama dan NIK.
Disepakatinya DTKS sebagai data awal penerima bantuan tidak otomatis merampungkan kisruh. Berisi 40 persen warga termiskin se-Indonesia, DTKS disusun pada 2015 hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu BPS dan TNP2K. Semestinya data dipugar setidaknya setahun sekali oleh pemerintah kabupatan dan kota, lalu diajukan ke gubernur untuk disahkan oleh kementerian sosial.
Di Kabupaten Sukabumi, kisruh data Bansos sempat berujung tuntutan beberapa kepala desa untuk menunda penyaluran Bansos dari Gubernur Jawa Barat. Mereka berdalih, Bansos berpotensi memantik kecemburuan sosial warganya karena peruntukannya sedikit, juga karena data sasaran banyak yang sudah tidak relevan dengan kondisi dilapangan.
Bagaimana sebetulnya data penerima Bansos/BLT Covid-19 Kabupaten Sukabumi disusun, diverifikasi dan divalidasi? Berikut pemaparan Kasi Data dan Informasi Kemiskinan Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi Roni Ramdansyah dan Bendahara Umum DPC APDESI Kabupaten Sukabumi Deden Gunaefi dalam acara Tamu Mang Koko edisi Sabtu, 20 Juni 2020.
Untuk Dinsos, sebelum ada Bansos/BLT Covid-19 sudah ada pendataan, kapan dan bagaimana pendataan DTKS dilakukan?
Terkait DTKS itu di Kabupaten Sukabumi menggunakan data tahun 2018. Memang data tersebut dari pusat data awalnya dari PPLS 2015. Lalu diserahkan ke Pusdakin Kemensos, kemudian data tersebut diserahkan ke kabupaten/kota.
Siapa yang melakukan verifikasi dan validasi siapa?
Puskesos. Verifikasi faktual kita laksanakan itu ada yang namanya finalisasi data. Satu tahun dua kali. Berupa online, kita eksport ke Pusdakin. Untuk 2019 sudah empat kali divalidasi.
Memang di lapangan tidak semudah apa yang kita bayangkan. 381 desa dan 5 kelurahan dengan cakupan luas, itu sebagai kendala juga.
Kemudian masalah sarana dan prasarana juga. Ada kepala desa yang memberikan sarana memadai, ada yang tidak. Sementara untuk mengupdate data perlu sarana atau perangkat yang memadai. Kedua, masalah SDM. Ada juga SDM yang sama sekali tidak bisa, tapi ditunjuk kepala desa.
Mengenai permasalahan update data, yang meninggal masih dapat bantuan, itu bagaimana?
Katakanlah ada KPM PKH, padahal realita di lapangan sudah tidak layak menerima. Nah, dari verifikasi faktual itu kita bisa hapus. Harus kunjungan lapangan. Puskesos itu ada di desa. Pada saat Musdus itu bisa kita bahas. Itu memang berat, makanya kita lakukan verifikasi faktual empat kali setahun.
Langkah apa yang akan dilakukan untuk menuntaskan permasalahan data ini?
Makanya kami di Dinas Sosial mengadakan record data. Katakanlah perbaikan dan penyempurnaan. Kita sesuaikan, jadi tahap selanjutnya kita punya data yang valid.
Untuk APDESI, dalam penyaluran bantuan-bantuan pemerintah, masalah apa yang sering ditemui?
Sebelum ada Covid-19 desa rutin ada PKH dan BPNT. Yang kami rasakan bantuan itu belum sepadan. Belum seutuhnya. Di media sosial banyak yang menyampaikan bahwa yang punya rumah bagus masih dapat PKH. Ada masyarakat yang sudah maju setelah dibantu PKH, tapi tidak sadar melaporkan bahwa ia sudah tidak lagi miskin.
Kedua, ada masyarakat yang mendapat PKH plus BPNT, ada yang hanya dapat BPNT. Yang saya rasakan ternyata pemberian bantuan langsung tunai itu salah besar. Rata-rata tidak tepat sasaran.
Kemudian, orang yang sudah meninggal atau yang sudah pindah, itu masih terdapat di desa tersebut. Ketika saya bedah, itu ternyata dia mendapat PKH pas dicek ke bank ternyata saldonya kosong. Kami kepala desa belum ke arah sana, baru ingin memvalidasi data dulu.
Satu lagi, sampai hari ini ada yang dapat bantuan PKH atau BPNT tapi saldonya masih kosong. PKH dan BPNT itu ada pendampingnya, tapi masyarakat datangnya ke desa.
Setelah ada Covid-19, kami rasakan ini ujian kami sebagai kepala desa. Hari ini kami para kepala desa dan jajaran kami tidak ada jaminan keselamatan.
Bagaimana pendapat anda tentang kekisruhan pendataan ini?
Kalau berbicara tadi verifikasi faktual dilakukan setahun empat kali, saya rasa apa yang terjadi di lapangan hari ini mungkin tidak akan terjadi. Di desa saya, BLT Kemensos, nenek yang sudah meninggal masih dapat bantuan. Apa yang terjadi hari ini mengenai data, ini data statistik apakah betul perubahan data setiap tahun kembali?
Bagaimana sebaiknya agar masalah pendataan ini bisa dituntaskan?
Ketika kami di desa, tentunya kami perlu melibatkan stakeholder paling bawah, Pak RT, Pak RW. Kalau bicara hari ini rentan miskin, miskin baru, terdampak secara ekonomi, saya rasa di desa itu 90 persen terdampak.
0Akhirnya Pak RT dan RW tidak mau berisiko. Semua dikumpulkan data itu. Terakhir Pak Gubernur membuat statemen bahwa data itu kacau, amburadul. Dari pusat. 75.000 desa yang ada di Indonesia itu masalah data, bukan bantuannya.