SUKABUMIUPDATE.com - Tawuran antar pelajar kembali terjadi di Sukabumi. Senin, 5 November 2019 dini hari tawuran antar dua kelompok pelajar SMK pecah di Cicurug. Akibatnya satu orang pelajar tewas, sementara yang lainnya kena bacokan senjata tajam.
Peristiwa diduga bermula dari provokasi dan intimidasi di jejaring sosial yang berbuntut adu nyali adu tantangan. Kekinian, tawuran di Cicurug dilakukan pada dini hari saat kebanyakan orang lebih memilih untuk beristirahat ketimbang berbuat keributan.
Peristiwa itu yang kemudian menjadi pembahasan hangat dalam acara Tamu Mang Koko di Studio Sukabumiupdate.com, Sabtu (9/11/2019). Tamu Mang Koko juga menghadirkan dua orang narasumber yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidangnya masing-masing.
Mereka adalah adalah Pengawas SMK Kantor Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Drs Wahyuto, MT dan pengamat pendidikan yang sudah tak asing lagi di Sukabumi, Dr Asep Deni, CQM., MM. Bagaimana sudut pandang masing-masing pakar tersebut dalam membedah persoalan tawuran pelajar di Sukabumi? Berikut pemaparannya.
Kepada Drs Wahyuto, pasca tawuran 5 November 2019 kemarin, apa tindakan yang sudah dilakukan?
Tawuran ini sejak dulu sudah ada. Tetapi semakin kesini semakin canggih. Ada tawuran yang lewat janjian di media sosial. Ini yang harus diantisipasi oleh semua pihak. Langkah-langkah yang kita lakukan sebetulnya kita terus berkoordinasi antara tri pusat pendidikan, diantaranya orang tua, masyarakat dan sekolah.
Pasca kejadian kemarin, kita sudah koordinasi dengan dua sekolah yang terlibat tawuran. Kita sudah mengumpulkan kepala sekolah dan pembinan siswanya. Kita ajak bicara, apa inti permasalahannya, apa langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh sekolah. Ke depan, kita akan adakan kegiatan yang lebih bisa membawa efek permanen dalam menekan angka tawuran pelajar.
Tawuran sudah terjadi berulang kali, selama ini apa upaya dinas dalam mencegah tawuran?
Kita selalu mengistruksikan kepada sekolah. Jangan lupa bahwa sekolah ini bukan hanya tempat untuk mendapat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan saja. Tetapi yang paling penting adalah sikap dan karakter siswa-siswi.
Kita pantau, ternyata sudah ada tindakan di sekolah. Seperti meningkatkan kegiatan ekstrakurikuler, kemampuan sikapnya, dan lainnya, itu sudah ada di sekolah. Tetapi memang ada beberapa sekolah yang tidak terkontrol karena berbagai faktor.
Menurut anda, apa yang sering menjadi penyebab atau akar persoalan tawuran ini?
Kita sebetulnya punya peta sekolah-sekolah mana saja yang punya potensi anak-anaknya tawuran. Sudah ada catatan. Kita sudah pendekatan ke sekolah-sekolah tersebut. Sering kumpul dengan kepala sekolah melalui MKKS.
Sering kita ajak ngobrol, kita adakan pembinaan-pembinaan kepada pembina siswa, guru BK. Ada satu yang memang kurang, yaitu tenaga pendidik kita yang menangani permasalahan psikologis siswa.
Namun, bila dibedah secara umum, anak-anak kita ini datang dari keluarga yang anaknya kurang perhatian. Ini akan menjadi masalah akhirnya di sekolah. Kalau sekolah tidak punya peta anak-anak seperti itu, akan menjadi salah kaprah. Sekolah harus mampu mengidentifikasi dan merangkul. Bagaimana penangannya? Tentu saja akan berbeda.
Kegiatan kesiswaan perlu lebih ditingkatkan, seperti ekstrakurikuler. Tapi kembali lagi, kita tidak bisa bicara siapa yang salah, siapa yang bertanggung jawab. Semua punya tanggung jawab dalam memutus mata rantai tawuran ini.
Kepada Dr Asep Deni, tawuran sampai ada korban jiwa sudah bukan kenakalan remaja lagi, menurut anda apa yang salah?
Saya ingin melihat secara holistik, tidak bisa dilihat secara parsial. Artinya ini bukan tanggung jawab dinas pendidikan atau sekolah. Ini tanggung jawab semua. Tawuran bukan hanya soal hari ini atau yang sudah lalu, atau yang akan terjadi. Tapi ini adalah sebuah proses panjang, yang kita harus lihat akarnya di mana.
Proses edukasi itu bukan dimulai dari sekolah, tapi di keluarga. Jadi bapak ibunya itu sangat mempengaruhi bagaimana pembentukan karakter awal anak atau siswa. Di satu sisi, ini kejadian bukan pada jam sekolah. Banyak kejadian di luar jam sekolah.
Beberapa kejadian ini ada perbedaan yang tipis sekali. Yaitu apakah mereka jadi korban atau mereka jadi pelaku. Bisa terjadi mereka yang jadi pelaku, justru jadi korban. Tawuran itu kan terjadi chaos, jadi tidak bisa diprediksi korbannya siapa.
Bicara soal sistem, hari ini beban para siswa ini relatif banyak. Dengan kurikulum yang ada, beban siswa ini bisa memicu personal stress. Ada rasa tertekan sehingga butuh pelampiasan. Bagi siswa yang mampu mengendalikan, enggak ada masalah. Ada pula sekolah negeri dengan siswa banyak ternyata tidak pernah terlibat tawuran, dengan pengawasan yang baik.
Dalam dunia pendidikan, dikenal dengan istilah panca mitra. Ada dinas pendidikan, kementerian agama, organisasi profesi guru, dewan pendidikan, ada BMPS. Ini harusnya sinergis semua. Apa yang terjadi hari ini? Ini enggak sinergis, enggak ketemu. Sampai hari ini belum kelihatan sinergis.
Dahulu ada pelajar kena senjata tajam dianggap hal yang bikin kaget, hari ini dianggap hal yang biasa, menurut anda?
Kita tidak berbicara butuh berapa kasus yang terjadi. Kita harus sepakat ini tidak boleh terjadi lagi. Perlu sinergis dalam melakukan tindakan preventif dan preemtif. Dan tindakan represifnya juga jangan lupa, harus mendidik. Biar bagaimanapun anak-anak, siswa-siswi punya masa depan.
Bagi pelaku, kalau tindak pidana jelas harus dihukum. Tapi hukuman itu harus memiliki efek jera supaya tidak terjadi lagi. Ini setiap tahun, setiap waktu selalu ada.
Patroli siber sudah dilakukan polisi, apakan perlu pemerintah dan sekolah membatasi akun medsos pelajar?
Di berbagai belahan dunia akun bisa diakses. Yang jadi masalah, orang hampir semua punya akun. Tapi kenapa akun ini digunakan untuk hal yang negatif, di situlah pentingnya edukasi menggunakan internet sehat. Kalau dibatasi iya, siapa yang membatasi, diri sendiri. Kalau membatasi akun media sosial, sepertinya sudah bukan zamannya.
Saya yakin, para pelajar yang suka tawuran ini sudah mengidentifikasi akun-akun tertentu yang berpotensi untuk tawuran dan berkelahi. Tapi bukan berarti kita harus langsung menjustifikasi. Jangan sampai siswa-siswi, para pelajar yang tidak tahu apa-apa justru kena imbasnya.