SUKABUMIUPDATE.com - Kalangan pegiat lingkungan hidup ramai-ramai menyoroti pembangunan Jembatan Gantung Situ Gunung Jilid 2. Pengelola dan aktivis lingkungan saling mengeluarkan argumen soal pembangunan jembatan yang merupakan akses menuju air terjun Curug Kembar di zona konservasi kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) tersebut.
Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk mengetahui lebih dalam, Kabid Tata Lingkungan DLH Kabupaten Sukabumi, Rasyad Muharra dan Kepala Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Situ Gunung, Asep Suganda memberikan pemaparan dalam acara wawancara live Tamu Mang Koko di kantor sukabumiupdate.com, Sabtu (28/9/2019). Berikut beberapa penggalan wawancara tersebut.
Kepala Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Situ Gunung Asep Suganda
Apa sebetulnya tujuan pemberian izin pembangunan Jembatan Gantung Situ Gunung 2?
Cikal bakalnya, kawasan Situ Gunung ini dari sejak awal merupakan kawasan wisata. Kemudian digagas konsep pengembangan wisata menggaet pihak ketiga, dengan cara Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA). Tentunya dengan aturan yang ada. IPPA ini coba diajukan oleh PT Fontis Aqua Vivam.
Kita juga mengacu pada Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam beberapa klausul disebutkan bahwa di zona-zona tertentu itu boleh dilakukan pemanfaatan. Contohnya pengembangan wisata.
Kita mendukung kegiatan ini agar berdaya dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Sehingga muncul multiplayer effect. Mulai dari transportasinya, warung-warung, dan kegiatan ekonomi lainnya. Dengan sendirinya akan mendapat devisa negara. Dan hari ini cukup signifikan. Tahun 2018 menyumbang Rp 3,7 miliar untuk pendapatan negara. Dan tahun ini hingga September sudah hampir Rp 4 miliar. Sebelumnya hanya Rp 80-90 juta dalam satu tahun.
Di zona mana pembangunan Jembatan Gantung Situ Gunung baik 1 dan 2?
Itu sebetulnya dua-duanya masuk ke Zona Pemanfaatan. Setelah Zona Inti dan Zona Rimba. Aktivitas di Zona Pemanfaatan itu beragam. Bisa pendidikan, penelitian, riset dan wisata.
Kenapa sampai harus melibatkan pihak swasta?
Mungkin kalau dilakukan oleh birokrasi, kerjanya tidak akan maksimal. Konsentrasinya akan terpecah dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Beda halnya dengan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau swasta. Lebih konsentrasi dan lebih profesional. Terbukti saat ini.
Kita konfirmasi kembali ada kegiatan apa sebenarnya di sana?
Sebetulnya kalau penebangan kayu tidak ada. Kalau semak-semak kita akui. Memang ada beberapa pohon yang lapuk, menjulur ke jalan dan itu kita biarkan. Kalau pembersihan semak kita ada. Tetapi kita ada arahan teknis, jadi kita jangan terlalu membuka lebar alur jalan. Hanya 120 sentimeter saja untuk jalan.
Tentang sungai yang dialihfungsikan menjadi jalan, apa benar?
Sebetulnya itu irigasi. Jalan itu memang ada di pinggir irigasi tradisional. Itu sebetulnya ada beberapa irigasi yang melewati area wisata dan sudah turun-temurun. Sejauh ini tidak terganggu. Masyarakat yang di bawahnya itu kan menggunakan air itu.
Kabid Tata Lingkungan DLH Kabupaten Sukabumi, Rasyad Muharra
Dokumen-dokumen lingkungan hidup seperti apa yang diperlukan?
Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.8/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Termasuk juga Surat Perintah penggunaan komitmen dari KLHK.
7 Januari 2019 itu harus menyusun UKL (Upaya pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup). Pada dasarnya ini ada izin vertikal ke kementerian. IPPL itu 16 Juni 2017. Itu izin dari KLHK kepada PT Fontis.
Konsesinya sekitar 100 hektare, tetapi yang boleh dibangun itu hanya 10 hektare atau hanya 10 persen. Dan setelah dicek hanya tiga persenan.
Dampak apa yang mungkin ditimbulkan?
Kita buka bareng-bareng TNGGP. Yang disoroti itu soal Zona Pemanfaatan yang sebelumnya Zona Konservasi. Di situ ada dampak terhadap flora dan fauna. Terus, itu kan pengunjungnya banyak, yang tak kalah penting itu soal manajemen sampah. Terus dari penggunaan air pengunjung. Kemudian mengenai transportasi.
Seringkali kurangnya sosialisasi menjadi penyebab polemik, menurut anda?
Kalau dokumen sifatnya lebih kepada kajian. Kaitan sosialisasi menyangkut rekomendasi camat. Saya baca bahwa telah ada sosialisasi. Kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 tahun 2017, setiap kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat, harus ada sosialisasi. Kalau kita lihat di dokumen yang diberikan, itu sudah dilakukan.
Kegiatan ini sambil berjalan juga berkembang. Sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat memang harus dilakukan supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Ruang lingkupnya bisa diperluas.