SUKABUMIUPDATE.com – Pergerakan skena independen di Sukabumi mengalami perkembangan yang sangat pesat dan baik, hal tersebut dapat dilihat dari adanya keberadaan Rumah Mesra ini. Dulunya, Rumah Mesra ini hanyalah sebuah tempat berkumpulnya orang-orang yang melabeli diri mereka sebagai pegiat seni yang anti-mainstream seperti anak-anak Punk, Indie, Hipster yang sebelumnya di Sukabumi mereka tidak memiliki wadah untuk berkespresi, berkegiatan atau bahkan tidak diakui keberedaannya.
Kini, Rumah Mesra yang berlokasi di tengah kota Sukabumi, di Jalan Surya Kencana Nomor 21, Kota Sukabumi ini menjadi sebuah ruang alternatif baru bagi siapapun yang ingin meluapkan dan mencurahkan segala ide atau gagasan guna menciptakan sesuatu yang baru dan tentunya bermanfaat bagi Kota Sukabumi tercinta ini.
Dibalik Rumah Mesra ini ada sosok Nasrullah Abdul Malik (27 tahun). Pria yang akrab disapa Ucok kelahiran 23 Januari 1991 ini memilih untuk mendedikasikan secara penuh waktunya untuk Rumah Mesra ini.
Apa istimewanya Rumah Mesra ini, berikut wawancara wartawan sukabumiupdate.com Muhammad Gumilang dengan Abdul Malik.
Sejak kapan berdirinya Rumah Mesra Ini?
Ini sudah berjalan empat tahun sebenarnya, mungkin sekira awal tahun 2014-an. 2014 itu bukan awal bangunan atau tempat si Rumah Mesra ini berdiri yah, tapi pergerakan yang sudah kita lakukan. Awalnya, sebelum ada Rumah Mesra, kita berkegiatan dan aktif membuat sebuah Radio Streaming Independen bernama Mesin Suara.
Apa yang menarik dari Radio Streaming Independen?
Pada waktu itu, kita pikir, kita butuh media yang bisa menjadi display bagi musisi lokal yang mempunyai potensi dan bakat di bidang musik. Pada kenyataannya, beberapa radio konvensional di Sukabumi tidak bisa ngasih ruang yang menghasilkan untuk musisi-musisi lokal kita, dari situlah kepikiran kenapa gak kita buat aja.
Jadi dulu anda ini para penyiar Radio Independen?
Engga juga sih, kita awalnya dari komunitas malah, yah namanya juga komunitas kita gak punya uang, kita miskin, banyak keterbatasan-keterbatasan dan pada waktu itu sebelum di Rumah Mesra, kita kontrak sebuah rumah di sekitaran Jalan Bhayangkara, Sukabumi. Untuk bayar kontraknya tentu saja kita patungan, lalu pada waktu itu kita diberi kepercayaan untuk mengurus sebuah kafe oleh seseorang yang kebetulan dia adalah salah satu teman baik yang mempunyai kafe di Jalan Surya Kencana ini, jadi Rumah Mesra ini dulunya kafe.
Pas aku liat, ternyata banyak banget ruangan dan barang-barang gak kepake yang bisa dimanfaatin nih, kita rombak abis gila-gilaan tempat ini, kita cat, kita mural, kita graffiti, kita dekorasi bagian dalamnya nya menggunakan bahan-bahan yang sudah ada, kita dekorasi juga bagian luarnya, kita langsung tancap gas adain semacam gigs, ngundang temen-temen buat nge-gambar atau berkegiatan.
Sambil berjalan, pada akhirnya temen-temen kita kan ada yang sudah mempunyai penghasilan sendiri dari projek-projek yang mereka lakukan yang berkaitan dengan seni, terus kita ada rezeki dan patungan untuk mengontrak tempat ini secara penuh.
Siapa saja sih para penggagas dari rumah mesra ini?
Ada aku (Ucok), Faiz, Reza, Boy, dan kawan-kawan Street Art Sukabumi serta masih banyak lagi sih sebenernya, tapi empat orang ini yang masih ada, yang masih sibuk dan mendedikasikan seluruh waktunya untuk si Rumah Mesra ini.
Sebelumnya Adakah Inspirasi Untuk Menciptakan Si Rumah Mesra Ini?
Tentu saja, sebenernya di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, sudah banyak orang mulai sadar bahwa tempat seperti ini atau ruang alternatif sangat penting untuk sebuah perkembangan berkesenian di Kota.
Contohnya?
Di Jakarta ada Ruang Rupa, di Bandung ada Spasial dan Omuniuum, nah kita waktu itu diajarin sama temen-temen di Ruang Rupa, bagaimana bikin radio, bagaimana mengelola sesuatu dengan cara yang militan dan kolektif, karena pada akhirnya apa yang selama ini kami lakukan adalah berjejaring.
Radio Streaming Mesin Suara itu masih ada?
Ada dong, karena gini, aku pikir waktu itu, kalau semua orang main band, siapa yang jadi organizer-nya, kalau kita berbicara tentang musik gak cuman band aja, di situ ada media, di situ ada peran manajerial, di situ ada record, merchandise, jadi pada akhirnya kita membuat semacam supporting system melalui Mesin Suara itu.
Mesin suara itu kan rajin ngundang para pegiat industri kreatif macam musisi ataupun seniman, dari wawancara kita sama mereka itulah yang membuat kita berjejaring sama mereka, orang-orang mereka, ini kita bicara tentang passion kita, passion kita ada di bidang ini misalnya, ketika kita mencintai passion kita, itu pasti kita akan mencari tahu segala hal-hal yang berkaitan dengan passion kita tersebut. Misalnya musik, saya salah satu orang yang cukup rajin menghadiri gigs-gigs lokal yang ada di Sukabumi, karena di situ kita bisa ketemu orang baru, silaturahmi dan berjejaring pada akhirnya, karena di setiap gigs itu, mau gigs besar atau kecil, mau keren atau engga, di situ ada pertukaran ilmu dan informasi. Itu yang aku lakukan.
Jadi dari datang ke gigs-gigs itu yang membuat mengundang mereka ke Mesin Suara dan Rumah Mesra?
Dari Mesin Suara itu kan akhirnya kita melebar, karena kebetulan anak-anak kita ini orangnya cukup ‘liar’, main hajar aja, kita selalu mencoba segala kemungkinan-kemungkinan baru semacam bikin event dan gigs, dari situ kita mulai rajin bikin gigs, sebulan bisa dua sampai tigal kali itu wajib, kalo dikumpulin di arsip nih, sudah ada ratusan gigs yang kita buat selama empat tahun itu.
Ceritain kondisi dan Fasilitas di Rumah Mesra sekarang seperti apa?
Rumah mesra sekarang, ini memang sangat dinamis, karena kita selalu terbuka pada kemungkinan apapun, kalau misalkan bulan depan kita buka bengkel motor itu bisa jadi. Jadi, tiap bulan kita bisa ganti layout untuk bagian indoor dan outdoor nya. Mungkin untuk fasilitas yang ada di sini sekarang, kita ada kafe yang buka dari jam 14.00 WIB sampai 22.00 WIB, di dalam kafe itu ada coffee shop, kita jual minuman-minuman lucu-lucuan perangkap dede gemes gitu, ada makanan kayak nasi goreng dan mie instan, trus di dalam kafe ada store yang menjual beragam merchandise dari para kreator seni dan musisi band-band lokal di Sukabumi, terus ada tempat screening film, ada studio design, ada Mesin Suara Radio, ada Mesin Suara Record, di ruangan utama kita bisa jadi tempat Art Exibition, Gigs, tempat pameran, bisa buat tempat meeting juga, pokoknya bisa jadi ruangan serba guna, tentunya mereka sewa ke kita dan ini kita buka selama 24 jam tentunya.
Tentang Mesin Suara Record, apakah Mesin Suara sudah berencana membuat label independen?
Kita sudah pernah bikin Label Independen, waktu itu kita punya namanya “Kompilasi Hutan Hujan”, kita menggabungkan 11 musisi atau band yang ada di Sukabumi, semua musisinya segar, punya konsepan bagus dan baru, kita bikinin CD, tapi gak kita jual dan kami hanya sebarkan di beberapa tempat di Indonesia dan luar negeri. Walapun kita gak pernah launching secara resmi, namun praktik record independen sudah kita jalankan dan kita lakukan.
Segala bentuk kerjasama yang anda lakukan dengan beberapa Musisi Indie tersebut, outputnya akan seperti apa?
Sebenarnya kita belum ke ranah yang transaksional. Kami masih memegang teguh bahwa, minimal band yang tampil di acara kami dapat dikenal oleh publik, intinya kita bantu promosi dulu, aku pikir kalau band tersebut sudah mempunyai massa yang besar pada akhirnya uang atau penghasilan akan menyusul, seperti entah itu dari manggung off-air, jual merchandise, atau perilisan fisik. Intinya kita mau membantu apapun yang kita bisa, tidak harus selalu bantu dalam bentuk uang, misal kita bantu tour mungkin, tiga bulan yang lalu kita bantu seorang rapper asal Sukabumi untuk tour di 11 kota di beberapa daerah di Indonesia, kita lakukan itu, tidak ada transaksional kan di sana, tapi pada akhirnya si rapper itu lebih luas lagi marketnya.
Bisa diceritakan perkembangan dan pergerakan Skena Independen yang ada di Sukabumi?
Sebenarnya, para kreator seni dan musisi itu sudah banyak di Sukabumi sejak dulu juga, potensi nya sangat banyak, namun pada akhirnya mereka terpaksa pindah kota dan tak kembali ke Sukabumi kebanyakannya. Mungkin pada saat itu industrinya belum berjalan di Sukabumi, nah dengan adanya Rumah Mesra ini, kita pengen hadir dan menampung teman-teman kreator seni dan para musisi lokal untuk berdiskusi, berkarya, sharing ilmu dan bahkan menjual karyanya di sini.
Sebelum adanya Rumah Mesra, Alternative Space atau Art Space sudah ada atau belum di Sukabumi ini?
Aku pikir, Alternative Space dan Art Space di Sukabumi sejak dulu sudah ada, kita juga terinspirasi dari mereka juga, tapi kalau berbicara industri siapa yang masih bertahan.
Kita pernah terlibat di acara “Ruang Rupa Record Festival”. Ini bisa aku sebut sebagai festival yang paling gila yang pernah dihelat di Indonesia, karena cakupannya gak hanya nasional tapi internasional, dan itu terjadi di Sukabumi, warga Sukabumi banyak yang tidak tahu dan mungkin tidak ingin tahu. Kita juga kemarin bukan booth di Soundernaline 2018 GWK Bali, terus band-band yang kita dulu bantu sekarang sudah bisa mandiri bagaimana mengelola sebuah band dengan professional. Terus kita pernah buat namnya “Loka Loak Festival”, intinya kita adain pasar barang bekas gitu di sini, tapi setiap harinya kita ada talk dan workshop, pemutaran film juga ada dan itu terjadi selama dua minggu berturut-turut.
Bagaimana respon publik?
Pada akhirnya, respon publik atau pedagang loak terutama bilang ke kita “iraha aya loka loak festival deui euy?” (Kapan ada Loka Loak Festival lagi? – red). Karena kami tidak hanya melihat industri clothing dari distro saja, ketika aku lihat cimol misalnya, dari bahasanya pun gak ada itu istilah cimol di luar kota selain Sukabumi dan Bandung mungkin, jadi anak Sukabumi itu sangat fashionable juga.
Kira-kira kekurangan Rumah Mesra ini apa?
Kita masih kekurangan orang-orang aneh, yang mau full-time dan totalitas kerjasama sama kita, kalo dari segi fasilitas sih memang masih banyak yang kurang, cuman selama ini kita tidak pernah permasalahkan, kita tidak pernah berhenti melakukan sesuatu ketika ada atau tidaknya dukungan berupa alat, uang, bahan apapun itu. Kita lakukan secara “Do it Yourself” (DiY), keterbatasan-keterbatasan itulah yang membuat kita sekarang berada di titik ini. Kita gak pernah manja untuk membuat sesuatu yg profer itu harus perfeksionis berupa ini dan itu, kita mencari sesuatu dan membuat sesuatu secara serius bahkan sesuatu yang tidak pernah orang lain pikirkan dan kita bisa wujudkan.