Sukabumiupdate.com - Konflik berkepanjangan telah meluluhlantakkan Suriah. Nyawa rakyat sipil, anak-anak, perempuan, melayang seperti tak ada harganya. Ribuan orang mengungsi meninggalkan rumahnya. Meninggalkan keluarga, pekerjaan, makam para leluhur, sekaligus masa lalu dan meninggalkan kebanggaan.
Tiba di tempat pengungsian kehidupan berat kembali dihadapi. Bertahan hidup demi sang buah hati adalah satu-satunya motivasi yang membuat Muhammad Muhammad Ibn Zakaria bertahan di sebuah rumah kontrakan di Kampung Sikup, Desa Purwasari, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi.
Menurut Muhammad yang berasal dari suku Kurdi, mereka tinggal di Cicurug sejak Juli lalu, atas masukan dari Yayasan Al Islah yang membantu kehidupannya selama ia mengungsi di Indonesia.
Berikut wawancara Egi GP dari sukabumiupdate.com dengan Muhammad Muhammad ibn Zakaria, Kamis (22/12).
Di Suriah, Anda tinggal di kota apa dan apa pekerjaan Anda?
Aleppo.
Kapan Anda menikahi istri Anda yang orang Indonesia? Bagaimana ceritanya?
Saya menikahi istri saya, Ai Masnunah, TKW asal Cianjur (baca: Dua Keluarga Suriah Mengungsi di Cicurug) tahun 2010. Saya bertemu dengan dia saat saya berdagang sepatu ke Yordania. Istri saya bekerja di sebuah keluarga di Yordania. Kami kini punya anak 3 laki-laki, Juan (5), Zakaria (4), dan Shervan (2).
Ceritakan tentang keluarga besar Anda? Di mana dan bagaimana kondisi terakhir keluarga besar Anda sekarang? Â
Orang tua saya sekarang masih tinggal di wilayah pinggiran Aleppo, tidak terpengaruh pemboman terbaru kota Aleppo. Saya punya tiga saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. Satu saudara laki-laki saya sudah lama meninggal, dua lagi tinggal di pinggiran Kota Aleppo, dekat orang tuanya.
Dua saudara perempuan saya sudah mengungsi lewat laut dan kini tinggal di Jerman dan Prancis. Hidup mereka terjamin, dijamin pemerintah sana. Ada dua lagi saudara perempuan saya yang tinggal di Aleppo. Sampai sekarang --pasca pemboman Aleppo terakhir-- mereka bersama keluarganya belum saya ketahui kabarnya, apakah masih hidup atau meninggal.
Apa masih bisa berhubungan?
Masing-masing adik perempuan saya punya anak lima dan empat orang, tidak ada kabar sampai sekarang tentang mereka. (Muhammad tertunduk)Â Â Â Â
Apa yang mereka ceritakan tentang kondisi di Suriah saat ini?
Bisa berhubungan dengan orang tua yang tinggal di pinggiran Aleppo, tapi harus menggunakan telepon satelit karena semua jalur komunikasi diblokir pemerintah Suriah.
Apakah Anda menyaksikan apa yang terjadi di Aleppo baru-baru ini? Apa yang Anda rasakan?
(tertegun) Tidak bisa dibayangkan. Seperti kalau anak kita dipukuli orang lain dan kita tak bisa melakukan apa-apa. Rumah kita dapat bangun lama, dihancurkan begitu saja. Tidak bisa dibayangkan.   Â
Apa rencana Anda di masa depan?
Tidak ada masa depan. Tidak ada harapan. Saya masih sulit berpikir. Seperti jasad saya di sini, tapi pikiran masih di Aleppo.
Apakah Anda tetap akan tinggal di Indonesia atau bagaimana?
Jadi WNI pun susah. Tidak ada jaminan dari negara. Di sini juga kesulitan bahasa, sulit kerja, keahlian saya hanya membuat sepatu. Saya intinya masih bingung tentang masa depan saya dan anak-anak saya.  Â
Saya juga dijanjikan UNHCR tiap bulan dapat 200 dollar. Tapi sampai sekarang tidak ada (sudah 10 bulan) tak ada sepeser pun. Sudah pernah saya tanyakan, tapi hanya janji-janji saja. Masih untung ada bantuan dari Yayasan Al Islah. Saya dipinjami mesin pembuat sepatu yang harganya 40 juta. Tapi susah jual sepatunya, mesti pakai nama istri juga.Â
Bantuan apa yang Anda butuhkan untuk hidup Anda dan keluarga saat ini?
Ya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena saya membuat sepatu dan istri saya menjualnya. Hasilnya sangat kecil. Tidak cukup.