Berada di wilayah administratif Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Gunung Salak oleh masyarakat Sukabumi dianggap pelindung di sisi barat, selain Gunung Gede Pangrango di bagian utara. Dalam beberapa keterangan, gunung salak tersebut dikaitkan dengan Salaka Nagara yang artinya kerajaan perak. Ini ditengarai sebagai pemerintahan awal masyarakat Sunda.
Kata Salaka yang berkembang di tanah Sunda pada awalnya berasal dari bahasa Sanskerta. Salaka Nagara ini juga dianggap sebagai negeri argyre atau perak yang dimaksud Claudius Ptolemaeus. Ptolemaeus dalam bukunya "Geographia" mencatat Argyre sebagai kerajaan kuno tertua di Nusantara yang berdiri sejak 130 Masehi. Kata argyre berarti perak karena produk andalannya adalah perak.
Dalam bahasa Sunda, perak juga diistilahkan dengan Salaka. Soendaneesch-Hollandsch woordenboek 1884 menyebutkan Salaka dalam bahasa Sunda berarti perak, zilver, zilveren.
Salaka dalam arti perak merupakan komoditas unggulan awal wilayah Jawa, sebelum ramainya rempah-rempah. Saat itu rempah-rempah belum menjadi komoditas utama sehingga perdagangan dengan Tiongkok tercatat berupa emas, salaka, dan gading. Tetapi, setelah jalur sutra ditutup, rempah-rempah menjadi dagangan utama yang menarik minat para kolonialis.
Kerajaan Salaka Nagara sendiri menjadi kontroversi karena termuat dalam Wangsakerta. Di luar kontroversi tersebut, patut digali mengenai peradaban perak terkait keahlian pakar pembuat atau pengolah logam pada masa itu.
Jika dikaitkan dengan prasasti Sanghyang Tapak yang betahun 1030 masehi dengan tarikh tertulis 952 saka, maka runutan ke belakang untuk tahun 1 saka adalah sekitar 78 masehi. Sementara sebagian berpendapat kerajaan Salaka Nagara berdiri pada 150 masehi.
Tidak terlalu jauh dari peradaban penanggalan yang muncul pada 22 tahun sebelum kerajaan berdiri dan menguasai peradaban perak di teluk lada Pandeglang. Konon pula, kata Pandeglang berasal dari kata Panday dan Geulang artinya ahli atau pakar pembuat gelang.
Versi lain menyebutkan pula satu bagian kaki Gunung Salak terlihat keperak-perakan begitu terkena sinar matahari, maka kerajaan ini disebut Salaka Nagara. Oleh karena itu, kuat dugaan Gunung Salak yang dimaksud bukanlah berasal dari buah salak, tetapi dari salak bermakna perak alias gunung perak. Lebih jauh lagi buah salak, yang jika kita lihat dari kejauhan terkena cahaya berkilat layaknya perak. Bisa jadi dulu dianggap sebagai buah perak.
Namun muncul juga pendapat bahwa Salaka berasal dari kata Saloka. Sa artinya Esa atau tunggal, Loka artinya tempat, sehingga dianggap sebagai Tempat Sanghyang Tunggal. Apalagi terkait Gunung Halimun dan Lebak Cawene yang disakralkan. Pendapat ini terutama merujuk kepada Gunung Salak yang dianggap sakral, selain Gunung Gede sebagai tempat Sanghyang Tunggal. Banyaknya tempat sakral di tanah Sunda di mana Sanghyang Tunggal juga memunculkan istilah Parahyangan.
Di balik kontroversi itu, Gunung Salak memang menyimpan kesakralan dan misteri yang tiada henti. Hingga Andries de Wilde harus bernegosiasi terlebih dulu dengan juru kunci sebelum mendaki puncaknya karena ada larangan bagi orang Eropa untuk menaikinya.
Kesakralan itu terasa hingga kini dengan mitos-mitos mengenai kecelakaan pendaki maupun pesawat di sekitar Gunung Salak yang kini memiliki tiga jalur pendakian resmi: Pintu Cidahu, Pasir Reungit, dan Cimalati.
Redaktur: Oksa Bachtiar Camsyah
Video Editor: Safrudin