SUKABUMIUPDATE.com - Tanpa harus meminum obat-obatan dengan efek jangka panjang, Anda dapat mengurangi perasaan cemas berlebihan dengan melakukan beberapa cara alami. Salah satunya dengan berolahraga.
Cemas membuat siapa saja tidak nyaman. Meski tidak dihadapi pada situasi sulit sekalipun, rasa cemas dapat menghantui siapa saja, termasuk Anda. Telapak tangan mudah berkeringat, sulit bernapas dan jantung berdetak lebih kencang merupakan tanda bahwa Anda terserang cemas.
Sebelum memutuskan untuk bertemu dengan dokter, menjalani terapi atau mengonsumsi obat-obatan tertentu, mengapa tidak mencoba cara yang lebih alami berikut ini yang tentunya tidak memiliki efek samping apapun kecuali membuat Anda lebih relaks.
Olahraga
Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Georgia menemukan fakta bahwa 20 persen 3.000 orang partisipan dengan kondisi medis bervariasi yang kerap melakukan olahraga secara rutin, mulai dari jalan santai, lari hingga angkat besi, dilaporkan tidak menunjukkan gejala-gejala awal terserang penyakit cemas berlebih. Dengan kata lain, olahraga merupakan cara terampuh untuk mengatasi rasa cemas pada diri Anda. Bahkan, mereka yang tidak dilanda kecemasan pun harus berolahhraga secara rutin untuk menjaga kebugaran tubuhnya.
Menurut Departemen Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat mengatakan bahwa aerobic, lari, renang, bersepeda dan jalan santai merupakan olahraga yang harus dilakukan oleh mereka yang mudah cemas. Olahraga dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga respon otak terhadap tekanan seperti stres dapat berkurang secara signifikan.
Tarik napas
Menarik napas dalam-dalam saat dilanda kecemasan mungkin terdengar klise, namun berhenti sejenak dari segala aktivitas dan menarik dan menghembuskan napas secara perlahan terbukti dapat menurunkan level kecemasan. Menurrut American Institute of Stress, pernapasan perut yang ditandai dengan tarikan napas secara perlahan dan dalam yang dilakukan selama 20 hingga 30 menit secara rutin setiap harinya dapat meningkatkan kadar oksigen dalam otak. Oksigen dalam otak berfungsi untuk menstimulasi sistem saraf agar tubuh lebih relaks.
Rajin makan ikan
Kandungan lemak omega-3 yang terdapat di dalam ikan mampu mengurangi risiko diabetes, meningkatkan kesehatan jantung sekaligus mengurangi rasa cemas. Para peneliti dari Ohio State meneliti sebuah grup yang terdiri dari murid-murid kedokteran yang rutin mengonsumsi 2,5 gram omega-3 sehari dengan grup yang diberi sebuah plasebo – pengobatan palsu yang digunakan untuk memahami efek obat baru dan membedakan efek obat tersebut. 20 persen partisipan yang rutin mengonsumsi 2,5 gram omega-3 sehari menunjukkan tingkat cemas lebih rendah dibanding mereka yang diberi plasebo.
“Jauh lebih baik mengonsumsi sumber omega-3 nya langsung, dibanding suplemen. Anda dapat memilih ikan yang kaya akan omega-3, seperti salmon, forel air tawar bahkan sardin kalengan,†ujar Alan Aragon, M.S.
Cukup tidur
National Sleep Foundation merekomendasikan orang dewasa, baik yang memiliki masalah dengan rasa cemas maupun tidak untuk istirahat (tidur) di malam hari selama 7 hingga 9 jam. Sebab, mereka yang kerap dihantui dengan rasa cemas berlebih cenderung lebih besar mengalami gangguan pada tidurnya di malam hari, misal mimpi buruk.
“Insomnia juga dapat menyebabkan seseorang mudah cemas. Terlebih lagi peristiwa terakhir yang dilihat orang penderita tersebut sebelum tidur. Misalnya film pembunuhan, saat istirahat seseorang terganggu, otaknya cenderung menampilkan kembali peristiwa terakhir yang dilihat dan berubah menjadi kecemasan,†ujar perwakilan dari National Sleep Foundation.
Minum lebih banyak air
Merasa linglung? Minum segelas air. Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Connecticut menemukan bahwa mereka yang mengalami dehidrasi ringan setelah berjalan jauh atau treadmill selama 40 menit cenderung lebih cemas dibanding yang tidak mengalami dehidrasi.
“Seseorang akan lebih mudah merasa cemas saat energi di dalam tubunya berkurang drastis. Itu sebabnya sangat disarankan untuk minum segelas air saat merasa tegang,†jelas perwakilan peneliti dari University of Connecticut.
 Sumber: Tempo