SUKABUMIUPDATE.com - Dari sekian jenis flora yang ada di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani, satu di antaranya memiliki nilai ekonomi tinggi karena harganya cukup mahal, yaitu jamur bernama "morels" (marchella spp).
Jamur yang hanya bisa tumbuh di daerah tropis tertentu itu pertama kali ditemukan oleh Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah I Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Teguh Rianto.
Penemuan jenis jamur termahal kedua di dunia tersebut hanya secara kebetulan ketika melakukan patroli di dalam kawasan taman nasional pada 2009.
Karena bernilai ekonomi tinggi, Teguh Rianto kemudian menjadikannya sebagai bahan penelitian tesis untuk menyelesaikan program pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil penelitian tersebut kemudian dilaporkan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan penelitian lanjutan.
Penelitian lanjutan pun dilakukan oleh Tim Riset Morel Rinjani yang berjumlah enam orang. Seluruhnya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H) Bogor, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yakni Dr Maman Turjaman, Dr Asep Hidayat, Sarah A Faulina, Najmullah, Aryanto, dan Sira Silaban.
Penelitian yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK, melalui BTNGR, itu dimulai dari eksplorasi lapangan pada Mei-Agustus 2017, sambil melakukan isolasi dengan cara memasukkan spora ke dalam media tumbuh jamur.
Media tersebut terbuat dari agar yang di dalamnya terdapat makanan, nitrogen, karbohidrat dalam bentuk gula untuk energi jamur tumbuh. Ada juga vitamin serta antibiotik untuk mencegah berkembangnya bakteri.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemurnian di laboratorium untuk menghasilkan DNA. Proses pemurnian dilakukan dengan cara memisahkan spora yang tumbuh dan yang terkontaminasi. Spora yang tumbuh kemudian dilihat menggunakan mikroskop untuk mengetahui jenis dan warnanya.
Setelah melalui proses tersebut, tim peneliti kemudian mengirim sekitar 45 sampel DNA ke "First Base Sequencing Service" yang berbasis di Singapura.
Perusahaan itu diminta untuk membantu mengeksekuenser sampel DNA jamur "morels" yang diperoleh dari TNGR karena terkait dengan efisiensi biaya. P3H Bogor sebenarnya memiliki alat, namun kapasitas yang dibutuhkan minimal lebih dari seratusan sampel.
Setelah DNA diperoleh, Tim Riset Morel Rinjani kemudian melakukan pengecekan base jamur morchella di National Center For Biotechnology (NCBI). Dari hasil pengecekan tersebut, Tim P3H Bogor kemudian memberikan nama jamur "morel" Rinjani (morchella rassipes).
"Morel adalah jenis jamur termahal kedua di dunia, setelah jamur truffles. Makanya kami termotivasi untuk melakukan riset, meskipun pelaksanaannya pada 2017 atau delapan tahun setelah adanya penemuan di Gunung Rinjani," ujar Dr Maman Turjaman.
Setelah berhasil memastikan bahwa Rinjani memiliki flora bernama jamur "morel" Rinjani, enam tim peneliti dari P3H Bogor masih belum merasa puas. Mereka tertantang untuk meriset teknologi budi daya.
Jamur "morels" sudah dibudidayakan secara massal di Eropa sejak seratusan tahun silam. Namun para peneliti terlebih dahulu melakukan riset sebelum menyebarkan teknologi budi daya kepada masyarakat luas.
Selain di Eropa, para peneliti jamur di Tiongkok juga melakukan riset tentang flora yang hanya bisa tumbuh di daerah tropis tersebut sejak 1980. Kemudian pada 1992, para peneliti di negeri Tirai Bambu itu menemukan formula untuk budi daya, namun untuk skala komersial mulai berkembang pada 2012.
Sumber: Tempo