Jalanan Lumpur, Sungai Tanpa Jembatan: Perjuangan Warga Tegalbuleud Demi Bertahan Hidup

Sukabumiupdate.com
Minggu 27 Apr 2025, 14:54 WIB
Potret Warga Tegalbuleud saat Bertaruh Nyawa Melintasi Jalan Rusak Demi Bertahan Hidup. (Sumber : Istimewa.).

Potret Warga Tegalbuleud saat Bertaruh Nyawa Melintasi Jalan Rusak Demi Bertahan Hidup. (Sumber : Istimewa.).

SUKABUMIUPDATE.com - Pagi itu, Jumat, 25 April 2025, sekitar pukul 07.00 WIB, langit masih kelabu di Kampung Bojongwaru 2, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi. Udara masih basah sisa hujan semalam. Puluhan warga berkumpul membentuk barisan rapi, memanggul tandu sederhana.

Di atas tandu, seorang perempuan setengah baya, Baed binti Utang (50), terbaring lemah. Tubuhnya ringkih, kaki membengkak parah akibat diabetes yang menggerogoti kesehatannya.

Bubun (40), Ketua RT Bojongwaru 2, memandang pemandangan itu dengan getir. Sudah berkali-kali ia menyaksikan warganya bertaruh nyawa demi mendapatkan pertolongan medis.

Baca Juga: Korban Peluru Nyasar! Kronologi Petani Tewas Tertembak di Tegalbuleud Sukabumi

"Ini sudah jadi pemandangan biasa di sini," kata Bubun, 40 tahun, dengan nada lelah kepada Sukabumiupdate.com, Minggu (27/4/2025).

"Kalau ada yang sakit parah atau melahirkan, ya harus digotong ramai-ramai. Kendaraan biasa atau sepeda motor mana bisa lewat," tambahnya.

Warga Desa Nangela, terutama dari tiga kampung, selama ini menggantungkan harapan pada jalan kabupaten yang menghubungkan Desa Nangela dengan Desa Bangbayang untuk mendapatkan pelayanan medis. Mereka memilih jalur terdekat menuju Kampung Cimahpar Desa Bangbayang, sekitar 6–7 kilometer.

Baca Juga: Truk Hebel Terguling Akibat Patah As di Tegalbuleud Sukabumi, Satu Keluarga Luka-luka

Kondisi jalan utama penghubung Desa Nangela dan Bangbayang sepanjang kurang lebih 24 kilometer itu sangat memprihatinkan dan menjadi saksi bisu penderitaan warga. Meski jalan ini vital bagi ribuan warga, kondisinya jauh dari kata layak. Lebarnya sekitar 4 meter, sebagian berstatus jalan kabupaten, tetapi di tengah-tengah jalur itu rusak parah.

Bubun mengungkapkan dari arah Kampung Cibugel, Desa Nangela, jalan kabupaten sudah diaspal sepanjang 4 kilometer, begitu pula dari arah Cimahpar, Desa Nangela. Tapi di tengah-tengah kedua ujung aspal itu, jalanan kemudian berubah menjadi kubangan lumpur, penuh semak belukar, dan dipotong aliran sungai besar tanpa jembatan.

"Kalau hujan, jangan harap bisa lewat. Lumpur setinggi betis, sungai meluap, jalanan amblas.  Mau pakai motor? Tenggelam di lumpur. Jalan kaki? Bisa berjam-jam baru sampai," ungkap Bubun.

Bubun mengisahkan, untuk membawa Baed ke RSUD Sagaranten, rumah sakit terdekat, warga harus berjalan sejauh 5 hingga 6 kilometer lebih dulu hingga mencapai jalan aspal di Cimahpar. Setelah itu, perjalanan menuju rumah sakit pun masih panjang.

Tragisnya, tidak semua warga seberuntung Baed yang masih sempat dibawa untuk berobat. Bulan lalu, seorang perempuan berusia 55 tahun meninggal dunia dalam perjalanan saat ditandu menuju fasilitas kesehatan karena sakit perut yang tiba-tiba menyerang. 

Ia sempat mendapat perawatan dari bidan, namun kondisinya memburuk. Baru separuh jalan, perempuan itu mengembuskan napas terakhir, memaksa warga membawa jenazahnya kembali ke kampung.

Dalam perjalanan menuju fasilitas kesehatan, warga harus menyeberangi dua sungai besar: Sungai Cicurug jika menuju Puskesmas Tegalbuleud, dan Sungai Cigugur jika ke RSUD Sagaranten. Tanpa jembatan. Saat hujan, sungai meluap, membuat perjalanan mustahil dilewati.

Selain itu, ada pula beberapa sungai kecil yang harus dilintasi, memperparah kesulitan warga di tiga kampung terisolir: Bojongwaru 1, Bojongwaru 2, dan Selaeurih, dengan total sekitar 300 kepala keluarga.

"Pokoknya, di sini kalau ada yang mau melahirkan, sakit parah, atau bahkan meninggal, itu perjuangannya kayak mau perang," kata Bubun, suara berat menahan emosi.

Ia berharap pemerintah daerah memperhatikan kondisi ini dengan serius, bukan hanya dengan tambal sulam atau janji-janji kosong. Karena bagi warga Desa Nangela, jalan bukan sekadar infrastruktur, tetapi soal hidup dan mati.

 

Berita Terkait
Berita Terkini