SUKABUMIUPDATE.com - Lapang Merdeka Kota Sukabumi saat ini mendapat sorotan publik karena dipenuhi aktivitas penyewaan sepeda listrik. Sejumlah warga protes karena menilai lokasi ini seharusnya menjadi tempat untuk berolahraga.
Peraturan Wali Kota Sukabumi Pasal 1 ayat (2) Nomor 4 Tahun 2017 menjelaskan bahwa fungsi utama Lapang Merdeka adalah sebagai ruang publik untuk kegiatan upacara, olahraga, pendidikan, dan kegiatan Pemerintah Kota (Pemkot) Sukabumi lainnya.
Lapang yang terletak di pusat Kota Sukabumi ini menjadi pilihan masyarakat lantaran memiliki lintasan lari atau jogging track berlapis karet khusus jenis Ethylene Prophylene Diene Monomer (EPDM) sepanjang kurang lebih 322 meter dan lebar 5,9 meter.
Kepala Bidang Tata Bangunan, Jasa Konstruksi, dan Pertamanan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kota Sukabumi, Muhammad Sahid, saat dikonfirmasi mengaku sejauh ini pihaknya telah melakukan berbagai upaya penertiban.
"Sosialisasi dan tindakan tegas sampai penutupan sudah kami lakukan bersama Satpol PP. Namun masih ada saja oknum pengguna dan penyewa alat listrik yang tidak mematuhi aturan di lapangan," ujar Sahid. "Petugas di lapangan rutin memberikan imbauan. Dalam waktu dekat ini, kami bersama Satpol PP akan kembali melakukan penertiban," kata dia.
Lapang Merdeka memang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sejarah terbentuknya Kota Sukabumi dengan konsep alun-alun Macapat yang menjadi sentrum awal kota. Ketika masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), lapang ini diprakirakan sebagai alun-alun distrik Gunungparang. Mengingat, sejak pengaruh Mataram di Priangan, hampir semua pusat administrasi seperti kabupaten, distrik, bahkan kecamatan, memiliki alun-alun.
Baca Juga: Pemkot Sukabumi Tanggapi Protes Warga Soal Lapang Merdeka Dikuasai Sepeda Listrik
Alun-alun Macapat
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan konsep alun-alun yang dimaksud merupakan lapangan luas yang bisa digunakan pemerintah maupun masyarakat. Secara filosofi, alun-alun ini berasal dari kata halon-halon, diibaratkan semacam danau tenang dengan riak kecil. Ini menyiratkan alun-alun adalah tempat religius, di mana pemimpin bisa menunjukkan kekuasaannya berupa upacara atau ritual lainnya.
"Pun, rakyat dapat menunjukkan kegiatannya seperti seni, budaya, bahkan bisa melakukan protes di alun-alun untuk bertemu dengan pemimpin," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.
Irman mengungkapkan pada zaman dahulu protes masyarakat biasanya dilakukan unik: duduk di bawah pohon beringin yang umumnya ada di alun-alun besar, tidak berbicara bahkan tak makan untuk menarik perhatian. Nantinya, petugas akan memberitahu pemimpin bahwa ada orang atau warga yang hendak mengutarakan aspirasi dan kemudian dipanggil untuk berbicara.
Irman memprakirakan Lapang Merdeka Kota Sukabumi awalnya merupakan bagian dari alun-alun Gunungparang (alun-alun utara), sebelum terpisah oleh jalan dan bangunan. Konsep utuhnya adalah alun-alun Macapat, di mana pada umumnya kota-kota di Jawa pada masa itu menjadikan alun-alun sebagai pusat dengan empat penjuru mata angin: selatan tempat pemimpin, barat tempat beribadah, timur perumahan, dan utara tempat hiburan.
Saat masa awal pemisahan Afdeling (wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat kabupaten. Administratornya dipegang oleh seorang asisten residen. Afdeling merupakan bagian dari suatu karesidenan) pada 1870, Irman menyebut konsep Macapat diijalankan dengan dibangunnya rumah asisten residen sebagai pemimpin (lalu menjadi rumah dinas bupati sesudah Sukabumi menjadi kabupaten pada 1921).
Kemudian di sebelah barat ada masjid agung, yang selanjutnya disusul gereja katholik Roma di sebelah barat masjid agung (sekarang kantor BJB Kota Sukabumi) dan gereja protestan di sebelah utara (sekarang gereja Sidang Kristus). Sementara di sebelah timur adalah permukiman, yang selanjutnya berkembang menjadi pertokoan seiring munculnya pusat keramaian Grote Postweg dan bermukimnya orang Tionghoa di Chinesekamp Grote Postweg (Jalan Jenderal Ahmad Yani). Selanjutnya di sebelah utara, dibangun tempat hiburan yaitu Societeit Soekamanah yang kemudian menjadi Gedung Juang 45 Sukabumi.
"Seiring kebutuhan, mulailah dibuka jalan masjid yang membelah sebelah barat alun-alun dengan kantor Kelurahan Gunungparang serta membelah masjid dengan alun-alun yang kemudian disebut Jalan Masjid," ucap Irman yang sudah menulis beberapa buku, salah satunya buku Soekaboemi the Untold Story. "Jalan yang sering digunakan untuk perayaan di depan masjid kemudian ditutup, sehingga alun-alun dan masjid bersatu kembali."
Baca Juga: Lapang Merdeka Sukabumi: Gemuruh Pidato Bung Karno Berubah Jadi Jeritan Tawuran Pelajar
Begitu juga jalan yang membelah alun-alun utara dengan alun-alun selatan, dibuat sesuai keperluan masa kolonial dari seberang Markas Kepolisian Resor Sukabumi Kota menyambung dengan jalan masjid. Kemudian berdiri bangunan seperti apotek, kantor telegraf swasta, dan rumah, sehingga pemisahannya lebih permanen.
Berdirinya Hotel Victoria
Selepas dibukanya jalur kereta api ke Sukabumi pada 1882, Irman mengatakan setahun berikutnya dibuka Hotel Victoria yang merupakan pengembangan dari hotel sebelumnya yaitu Hotel Ort. Pemiliknya kebetulan orang Inggris sehingga namanya dihubungkan dengan Ratu Victoria seorang Ratu Inggris. Bahkan nama jalan di depan Hotel Victoria (sekarang Jalan Perintis Kemerdekaan), selanjutnya disebut Victoriaweg.
Karena konsep hotelnya dilengkapi sejumlah bungalo dan paviliun, Hotel Victoria memiliki lahan yang sangat luas. Batas-batasnya, sebelah utara Wilhelminaweg (Jalan RE Martadinata), sebelah barat Victoriaweg/Jalan Perintis kemerdekaan), sebelah selatan kompleks kapitol, dan sebelah timur hingga pertokoan Ciwangi.
Di lapang alun-alun utara (Lapang Merdeka), sering digelar kegiatan resmi pemerintah serta upacara dan defile pasukan karena lokasinya yang strategis dan sangat dekat dengan hotel yang sering dijadikan tempat istirahat akhir pekan para Gubernur Jenderal yaitu Hotel Victoria.
Lambat laun, orang Belanda menyebut lapang ini sebagai lapang Victoria (Victoria Park), seolah menjadi simbol kegiatan kolonial yang membedakan dengan alun-alun selatan yang digunakan masyarakat lokal yang kadang disebut sebagai Oranjeplein.
Saat masa Jepang, Irman mengatakan lapang ini sering digunakan sebagai latihan tentara mengingat kantor pusat Kempeitai Sukabumi tidak jauh yaitu yang sekarang menjadi kantor pajak sebelah Yogya Departement Store dan gedung pertemuan tentara (Gedung Kurabu) berada di sisi utara yaitu yang sekarang menjadi Gedung Juang 45 Sukabumi.
"Bahkan salat Idulfitri juga dilakukan di Lapang Merdeka saat seorang pejabat muslim Jepang bernama Abdulah Mudiam Inada salat di situ. Nama Inada kemudian disematkan pada lapang sepak bola yang kemudian menjadi lapang Danalaga," ujarnya.
Pada zaman Jepang inilah istilah-istilah kemerdekaan diizinkan, mengingat Jepang juga berjanji akan memberikan kemerdekaan. Maka Hotel Victoria yang bersimbol barat kemudian diubah oleh masyarakat menjadi Hotel Merdeka. Tak terkecuali Lapang Victoria yang juga mulai disebut-sebut sebagai Lapang Merdeka.
Pidato Bung Karno
Seolah-olah menguatkan penamaan ini, pascaproklamasi, Lapang Merdeka juga menjadi tempat berkumpulnya masyarakat melakukan pengambilalihan kemerdekaan. Pekik merdeka membahana ketika ribuan masyarakat menghentikan pasukan kempeitai (unit militer yang menjadi polisi rahasia sekaligus polisi militer yang ditempatkan di seluruh wilayah Jepang termasuk Indonesia yang merupakan wilayah jajahan) yang bersepeda dan merampas senjatanya.
Tak berhenti di sana, masyarakat juga menyerbu kantor kempeitai serta kantor-kantor lainnya pada 1 Oktober 1945. Peristiwa ini begitu heroik sehingga ketika Bung Karno berkunjung ke Sukabumi dalam lawatannya (1951) untuk meminta dukungan soal Irian Barat, meresmikan nama Lapang Merdeka tersebut melalui Undang-Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 (berdasarkan data Arsip Nasional Republik Indonesia atau ANRI).
"Ketika itu ribuan masyarakat mulai tukang becak, pedagang, hingga pejabat, menghentikan semua kegiatannya dan mendengarkan Pidato Bung Karno di Lapang Merdeka. Bung Karno sangat menghargai perjuangan masyarakat Sukabumi saat pengambilalihan kekuasaan dan perang Bojongkokosan, bahkan sempat terenyuh dengan surat dukungan dari ibu-ibu Sukabumi yang meminta untuk kembali ke NKRI saat adanya pemerintahan Republik Indonesia Serikat."
Lapang Merdeka mengalami beberapa perkembangan sesuai kebutuhan. Awalnya banyak gugunungan (tanah menonjol) dengan kontur yang dominan, kemudian dikeruk dan tahun 1965 hasil kerukannya diratakan ke beberapa sisi. Area dekat Jalan Veteran juga dikeruk agar lapang menjadi rata dan semakin luas. Lapang Merdeka kemudian sering menjadi tempat kegiatan masyarakat, misalnya pada 25 Agustus 1968, menjadi tempat lomba perkutut se-Indonesia yang semarak.
Selanjutnya, banyak kegiatan-kegiatan seni budaya dan olahraga dilakukan di sini, bahkan kegiatan organisasi kemasyarakatan. Yang unik, kata Irman, sempat pula menjadi lokasi prostitusi yang terkait waria, sehingga ada istilah "Bencong Lapdek" (pada 1990-an).
"Karena banyak yang nongkrong malam-malam dan remang-remang. Biasanya bencong cari mangsa ke situ yang suka bencong juga, terbiasa nyarinya di situ. Ibarat tempat nyari dan transaksi, kemudian entah di bawa ke mana," kata Irman.
Kemudian setiap Ahad, Lapang Merdeka sempat menjadi pasar kaget, di mana masyarakat bisa berolahraga dan belanja murah meriah.