SUKABUMIUPDATE.com - Masjid Agung Kota Sukabumi dan Gereja Sidang Kristus adalah dua bangunan bersejarah yang berdiri berdampingan di Sukabumi, mencerminkan simbol toleransi di Kota Mochi.
Lebih dari itu, Masjid Agung dan Gereja Sidang Kristus tidak hanya menjadi saksi sejarah panjang Sukabumi, tetapi juga simbol kerukunan antarumat beragama.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan, dari sisi sejarah, Masjid Agung Kota Sukabumi dan Gereja Sidang Kristus berdiri di zaman kolonial Belanda.
Sejarah Masjid Agung dan Gereja Sidang Kristus yang Berdiri Berdampingan di Sukabumi
Gereja Sidang Kristus dan Masjid Agung Sukabumi
Masjid Agung, yang terletak di Jalan Ahmad Yani, dibangun pertama kali pada tahun 1900 sebagai masjid kecil (musala). Kemudian di tahun 1935, setelah KH Ahmad Djuwaeni diangkat oleh Belanda sebagai penghulu (ahli agama) oleh Belanda, masjid jami ini direnovasi dan statusnya dinaikkan menjadi Masjid Agung.
Sebelas tahun setelah pembangunan Masjid Agung Kota Sukabumi, Gereja Sidang Kristus didirikan di Jalan Masjid. Saat itu, pada tahun 1911, awalnya dibangun dengan nama Gereja Protestan.
Pendirian Gereja Sidang Kristus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan warga Protestan yang saat itu kurang terorganisir di Kota Sukabumi. Pasalnya, zending Kristen Protestan ketika itu terfokus di wilayah Pangharepan Cikembar sebagai desa Kristen di Sukabumi.
"Pada tahun itu umat protestan kan besarnya bukan di kota, tapi di Cikembar (Kabupaten Sukabumi). Ketika belum ada gereja itu, mereka (warga Protestan) kadang-kadang beribadah di sekolah. Kemudian lewat bantuan dari pemilik lahan bernama Lenne, dibangunlah gereja sidang kristus dengan nama awal gereja Protestan atau Protestansche Kerk," kata Irman yang juga penulis buku 'Soekaboemi The Untold Story' kepada sukabumiupdate.com, beberapa waktu lalu.
"Itu memang gerejanya mirip gereja katedral jadi agak unik dari bangunannya. Jadi secara umum, sangat panjang perjalanannya dan tidak ada masalah (dalam pendiriannya)," sambungnya.
Baca Juga: Viral! 5 Fakta Daging Rendang 200 Kg Willie Salim Hilang Dalam 1 Menit
Irman menuturkan, Gereja Sidang Kristus juga satu-satunya gereja di Sukabumi yang memiliki lonceng. Peralatan sederhana berbentuk tabung yang digunakan untuk menciptakan bunyi bunyian tersebut dipasang pada tahun 1914 oleh produsen yang sama dengan lonceng yang ada di Katedral Notre Dame Paris Prancis, tepatnya diproduksi oleh perusahaan Klokkengieterij Eijsbouts asal Asten Belanda.
"Nah itu lonceng dulu suka dinyalakan, diatur untuk jam-jam tertentu karena itu lonceng nge-link dengan jam," ungkap Irman.
Cerita Toleransi di Balik Gereja Sidang Kristus dan Masjid Agung Kota Sukabumi
Masjid Agung dan Gereja Sidang Kristus di Kelurahan Gunungparang Kecamatan Cikole jadi simbol toleransi di Kota Sukabumi.
Irman menuturkan, lonceng yang berada di dalam menara gereja ini menjadi saksi bisu terbangunnya toleransi masyarakat Kota Sukabumi sejak dulu. Bunyinya tidak pernah bertepatan dengan suara Azan dari Masjid Agung.
"Karena kalau bertepatan dengan azan, mereka (warga protestan) biasanya menahan untuk dibunyikan dulu. Jadi tidak pernah berbarengan," lanjutnya.
"Tak hanya itu, kalau kita naik ke atas (menara gereja), dari sana ada lubang ada jendela bulat, kita bisa melihat Masjid Agung dari situ juga," tambahnya.
Menurut Irman, sejak bunyi lonceng benar-benar diberhentikan pada zaman Presiden Soeharto, pemeluk agama Kristen Protestan yang notabenenya adalah jemaah Gereja Sidang Kristus, cenderung menghargai mayoritas penduduk yang beragama Muslim.
"Sekitar tahun 1980 an, pas jaman Pak Harto, saat itu memang ada represi sehingga mereka diberhentikan. Tapi memang di satu sisi pihak protestan, pihak gereja juga, salah satunya untuk menghargai mayoritas muslim yang ada di sini. Sehingga akhirnya tidak membunyikan lonceng seperti yang dulu tiap jam," tuturnya.
Adapun saat ini, bunyi lonceng Gereja Sidang Kristus hanya dibunyikan untuk acara tertentu saja, seperti momentum pernikahan. Itu pun harus dilakukan secara manual.
"Kalau dulu otomatis dari jam, jadi dia sudah narik, loncengnya langsung narik. Kalau sekarang manual, karena sudah tidak nge-link ke jamnya. Jadi sekarang untuk acara tertentu saja mereka membunyikan. Karena setahu saya itu (lonceng) bunyinya sampai ke Kelurahan Tipar (20 Km dari Gereja Sidang Kristus) juga kedengeran katanya," pungkas Irman.
Hingga artikel ini ditayangkan, baik Masjid Agung Sukabumi maupun Gereja Sidang Kristus tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat.