Jari Senjata Provokasi: Fenomena Tawuran Pelajar di Sukabumi dan Peran Media Sosial

Sukabumiupdate.com
Minggu 09 Mar 2025, 15:00 WIB
Ilustrasi -  Tawuran pelajar yang sering kali dimulai dari provokasi lewat media sosial. (Sumber : Pixabay.com/@rasheequeahnaf/@Mohamed_hassan).

Ilustrasi - Tawuran pelajar yang sering kali dimulai dari provokasi lewat media sosial. (Sumber : Pixabay.com/@rasheequeahnaf/@Mohamed_hassan).

SUKABUMIUPDATE.com - Tawuran pelajar merupakan fenomena sosial yang masih menjadi permasalahan di berbagai daerah, termasuk di Sukabumi. Tradisi yang telah mengakar ini sering kali dipicu oleh hal-hal sepele, seperti saling ejek, provokasi di media sosial, atau dendam antar-sekolah yang terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Dalam artikel sebelumnya berjudul “Generasi Muda Sukabumi yang Terkunci Darah dan Senjata”, sukabumiupdate.com telah menggali lebih dalam fenomena ini dengan mewawancarai para mantan pelaku tawuran saat mereka masih bersekolah.

Salah satu narasumber adalah R (34 tahun), seorang saksi hidup yang mengalami masa-masa tawuran pada tahun 2008/2009. Saat itu, R menempuh pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di Kota Sukabumi. Ia mengingat bahwa tawuran bukan sekadar perebutan ruang fisik, tetapi juga simbol kekuasaan antar-kelompok. Bagi mereka yang terlibat, tawuran menjadi ajang untuk menunjukkan dominasi serta mempertahankan kehormatan sekolah mereka.

Sementara itu, MO (17 tahun), seorang remaja yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi pada tahun 2024, memiliki motivasi berbeda. MO mengaku ikut tawuran bukan karena tekanan, tetapi karena keinginan pribadi untuk dikenal dan disegani di kalangan pelajar. Bagi sebagian remaja, keterlibatan dalam tawuran memberikan mereka status sosial dan pengakuan di lingkungan sebayanya.

R (34 tahun) mengungkapkan bahwa di masanya, perencanaan tawuran sering dilakukan melalui Short Message Service (SMS) atau Facebook. Sementara itu, MO (17 tahun) menyatakan bahwa saat ini, Instagram telah menjadi platform utama bagi remaja untuk memulai provokasi yang akhirnya berujung pada tawuran.

Dari dua pengalaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa media sosial memainkan peran yang sangat besar dalam mendorong dan memperparah aksi tawuran pelajar. Platform digital memungkinkan mereka dengan mudah berkoordinasi dan merencanakan bentrokan.

Asep Budiman Kusdinar, Dosen Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), mengungkapkan bahwa salah satu alasan utama para pelajar menyiarkan tawuran secara langsung di media sosial adalah untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi.

Lebih lanjut, Asep mengidentifikasi sejumlah pola dalam fenomena tawuran yang disiarkan secara live, di antaranya:

Hal ini biasanya memiliki tujuan utama yaitu: mencari pengakuan dan eksistensi, tekanan kelompok (peer pressure), konten sensasional untuk viralitas, provokasi dan tantangan, serta kurangnya kesadaran akan konsekuensi.

Pengakuan dan eksistensi, ini biasanya mereka ingin mendapatkan perhatian, pengakuan, atau status sosial di lingkungan mereka sendiri dengan menunjukkan keberanian atau keterlibatan dalam tawuran sehingga mereka merasa bangga dengan hal itu tanpa memikirkan konsekuensinya.

Selanjutnya, adanya tekanan kelompok (peer pressure), sehingga dorongan dari teman sebaya membuat mereka merasa harus ikut serta atau menyebarkan aksinya agar dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut. Yang menarik, mereka juga membuat konten sensasional untuk viralitas atau untuk diviralkan.

Beberapa pelajar mungkin melihat tawuran sebagai sesuatu yang menarik atau seru untuk ditonton, sehingga mereka menyiarkannya untuk mendapatkan banyak penonton, like, atau komentar di media sosial.

Provokasi-provokasi dan tantangan menjadi hal biasa yang disiarkan secara langsung sehingga bisa digunakan sebagai ajang tantangan untuk kelompok lawan atau provokasi agar peristiwa tawuran semakin besar. Akibat kurangnya kesadaran akan konsekuensi yang akan dihadapi, mereka tidak menyadari dampak hukum, sosial, dan psikologis dari tindakan mereka, baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat luas.

Pendekatan Simultan untuk Mencegah Tawuran

Asep menyatakan bahwa fenomena tawuran dapat dicegah dengan berbagai pendekatan yang dilakukan secara simultan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Berikut beberapa langkah yang dapat diterapkan:

1. Pendidikan Karakter dan Kesadaran Hukum

Pendekatan ini bersifat persuasif dan dapat diterapkan di lingkungan sekolah. Sekolah perlu lebih aktif mengajarkan dampak negatif tawuran, baik dari sisi hukum maupun psikologis. Selain itu, kolaborasi dengan pihak kepolisian dan tokoh masyarakat sangat penting dalam mensosialisasikan bahaya serta konsekuensi hukum bagi pelaku tawuran.

2. Pengawasan dan Peran Aktif Orang Tua

Orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi aktivitas anak, baik di media sosial maupun dalam lingkungan pergaulan. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat menjadi pencegah utama agar mereka tidak terjerumus dalam aksi tawuran.

3. Penguatan Peran Sekolah

Sekolah perlu menyediakan lebih banyak kegiatan positif seperti ekstrakurikuler, organisasi siswa, dan kegiatan sosial agar energi serta perhatian siswa tersalurkan ke hal yang bermanfaat. Selain itu, sekolah juga harus menegakkan aturan tegas terhadap siswa yang terlibat dalam tawuran atau menyebarkan konten kekerasan di media digital.

4. Regulasi Media Sosial dan Peran Pemerintah

Pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama dalam menindak konten berisi kekerasan, termasuk melarang siaran langsung tawuran. Kampanye digital yang edukatif juga perlu diperbanyak untuk meningkatkan kesadaran anak muda akan dampak negatif dari penyebaran konten kekerasan.

5. Keterlibatan Masyarakat dalam Menciptakan Lingkungan Aman

Masyarakat perlu berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi pelajar. Kepedulian terhadap aktivitas remaja serta dorongan untuk membentuk komunitas atau forum diskusi dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan.

Dengan kombinasi pendidikan, pengawasan, regulasi, dan penyediaan kegiatan positif, fenomena tawuran yang disiarkan langsung di media sosial maupun platform digital lainnya dapat ditekan dan berangsur-angsur dihilangkan.

Tawuran pelajar di Lapang Merdeka Kota Sukabumi. | Foto: Istimewa/WarganetTawuran pelajar di Lapang Merdeka Kota Sukabumi. | Foto: Istimewa/Warganet.

Asep menambahkan bahwa tren kekerasan digital, seperti cyberbullying, memiliki keterkaitan erat dengan meningkatnya kasus tawuran, yang sering kali berawal dari interaksi di media sosial.

“Jelas ada. Cyberbullying adalah bentuk perundungan atau pelecehan yang terjadi di dunia maya melalui penggunaan teknologi digital, seperti internet dan media sosial. Hal ini bisa berupa pesan teks, komentar, gambar, atau video yang dibuat untuk menyakiti, mengintimidasi, atau mempermalukan seseorang, kata dia. 

Sebagai contoh, R (34 tahun), seorang saksi hidup dari era 2008/2009 yang pernah bersekolah di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di Kota Sukabumi, mengungkapkan bahwa pada masanya, tawuran kerap kali direncanakan melalui Short Message Service (SMS) atau Facebook.

Fenomena serupa masih terjadi hingga kini, namun dengan media yang berbeda. MO (17 tahun), seorang remaja yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2024, mengungkapkan bahwa Instagram kini menjadi sarana utama bagi remaja dalam memulai provokasi yang berujung pada tawuran.

Dengan meningkatnya tawuran yang diawali di media sosial. Keduanya memiliki akar masalah yang serupa, yaitu penggunaan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan konflik, mencari validasi sosial, atau melampiaskan emosi negatif. Biasanya hubungan tersebut berupa tawuran yang bermula dari saling ejek, hinaan, atau provokasi di media sosial.

Kata-kata kasar atau konten menyinggung dapat memicu emosi dan membuat kelompok merasa perlu membalas di dunia nyata. Di dunia maya, orang cenderung lebih berani mengatakan sesuatu yang tidak akan mereka ucapkan secara langsung. Akibatnya, konflik kecil bisa membesar dan berujung pada kekerasan fisik sehingga kurang mengendalikan diri (efek digital disinhibition).

Selanjutnya, pembentukan kelompok atau grup atau komunitas online sering digunakan untuk mengatur dan mengkoordinasikan aksi tawuran, termasuk menentukan lokasi, jumlah peserta, dan persiapan lainya. Pemicu berikutnya berupa video tawuran yang disiarkan langsung atau viral bisa menjadi contoh buruk bagi pelajar lain, seolah-olah tawuran adalah hal biasa atau "keren".

Ini meningkatkan risiko kekerasan lebih lanjut. Selain itu juga dampak psikologis cyberbullying akan mengakibatkan korban yang terus-menerus dihina atau dipermalukan di media sosial mungkin merasa perlu membela diri dengan cara kekerasan. Mereka bisa terdorong untuk membalas secara fisik agar mendapatkan kembali harga diri mereka.

Untuk hal itu bagaimana solusinya. Ada beberapa poin penting yang bisa dijadikan acuan untuk mengurangi dampak dari keterkaitan antara cyberbullying dengan tawuran diantaranya:

1. Pendidikan Etika Digital dan Anti-Kekerasan

Sekolah dan orang tua harus berperan aktif dalam mengajarkan etika bermedia sosial serta bahaya cyberbullying. Edukasi mengenai dampak negatif saling hina dan provokasi di media sosial perlu diperkuat agar pelajar lebih bijak dalam berinteraksi di dunia digital.

2. Deteksi Dini dan Layanan Konseling

Sekolah dan komunitas harus lebih proaktif dalam memantau konflik yang muncul di media sosial dan berpotensi berujung pada tawuran. Selain itu, layanan konseling yang memadai harus disediakan bagi siswa yang menjadi korban cyberbullying agar mereka tidak terdorong untuk membalas dengan kekerasan.

3. Pengawasan Platform Media Sosial

Platform media sosial harus lebih ketat dalam menghapus konten yang mengandung kekerasan atau melarang siaran langsung aksi tawuran. Sekolah dapat bekerja sama dengan pihak berwenang untuk mengidentifikasi akun-akun yang sering digunakan untuk memprovokasi tawuran.

4. Penguatan Kegiatan Positif bagi Pelajar

Dorong siswa untuk terlibat dalam ekstrakurikuler, komunitas sosial, atau program anti-bullying agar energi mereka tersalurkan dengan cara yang lebih positif. Program mentoring dari alumni atau tokoh masyarakat juga dapat membantu memberikan arahan dan motivasi agar siswa tidak terjerumus dalam konflik yang tidak perlu.

5. Penegakan Aturan dan Sanksi Tegas

Sekolah harus menerapkan hukuman yang jelas dan tegas bagi siswa yang terbukti melakukan cyberbullying atau menyebarkan provokasi untuk tawuran. Dalam kasus yang lebih serius, kerja sama antara sekolah, orang tua, dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk mencegah insiden serupa di masa depan.

Dengan demikian, Cyberbullying dan tawuran yang dimulai dari media sosial memiliki keterkaitan erat karena keduanya melibatkan provokasi, tekanan sosial, dan dampak psikologis yang memicu tindakan kekerasan di dunia nyata.

Melalui pendidikan digital, pengawasan, dan penegakan aturan yang lebih baik, tren ini bisa ditekan sehingga lingkungan media sosial dan dunia nyata menjadi lebih aman bagi generasi muda.

 

Berita Terkait
Berita Terkini