SUKABUMIUPDATE.com - Sukabumi, kota yang dikenal dengan keindahan alamnya, menyimpan sisi gelap dalam sejarah pendidikan. Tawuran pelajar yang melibatkan berbagai sekolah menjadi masalah sosial yang menghantui wilayah ini sejak lama dan terus terjadi. Demi menggali lebih dalam, sukabumiupdate.com berbincang dengan R (34 tahun), saksi hidup era 2008/2009 yang kini mencoba merefleksikan masa lalunya.
R menimba ilmu di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di Kota Sukabumi. Menurutnya, tawuran antar-SMK saat itu bukanlah fenomena asing dan baru. Konflik ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan berakar pada perebutan wilayah. “Tempat seperti Capitol, Supermall (kini Citimall), dan Jalan Baldes (Balai Desa) dulu dikuasai SMK Ps (inisial), tapi direbut oleh SMK Slw (inisial),” kata dia pada 10 Februari 2025.
Wilayah-wilayah itu disebutnya menjadi tempat nongkrong pelajar SMK Slw, hingga meluas ke Kabupaten Sukabumi, seperti Alun-alun Cisaat. Masing-masing sekolah memiliki area berkumpul: SMK Slw di Lapang Merdeka, SMK Ps di Taman Kota Sukabumi, dan SMK TS di Toserba Yogya Sukabumi. R mengingatkan perebutan tempat bukan hanya soal ruang fisik, tetapi juga simbol kekuasaan antar-kelompok. Tawuran dianggap sebagai cara untuk menunjukkan dominasi sekaligus mempertahankan kehormatan sekolah.
Ditanya tentang motivasi terlibat aksi bersenjata tajam ini, R menjelaskan tawuran adalah langkah mempertahankan marwah dan harga diri sekolah. “Tidak ada paksaan dari siapa pun. Ini soal kesetiaan dan kekompakan. Kami merasa harus memiliki darah berjuang,” katanya.
Namun, solidaritas dan kebanggaan sering bercampur dengan rasa bangga yang keliru. Sebelum tawuran, R mengaku tidak merasa takut, justru termotivasi oleh dukungan kelompok besar. Setelahnya, ada rasa puas dan bangga, terutama apabila pihak lawan terluka.
R juga menekankan rasa kebersamaan dalam kelompok menjadi daya tarik tersendiri. Tawuran dinilai sebagai sarana untuk menguji loyalitas antar-anggota kelompok, sehingga menjadi semacam ritual yang mempererat hubungan. “Biasanya ejekan langsung yang membuat kami tidak bisa menerima,” jelasnya yang menyebut tawuran kerap terjadi di waktu tertentu seperti pagi saat berangkat sekolah atau sore ketika pulang.
Baca Juga: Lapang Merdeka Sukabumi: Gemuruh Pidato Bung Karno Berubah Jadi Jeritan Tawuran Pelajar
Media sosial juga memainkan peran. Meski belum semasif saat ini, R mengatakan janji tawuran sering diatur melalui Short Message Service (SMS) atau Facebook. “Nomor telepon kita biasanya dicantumkan di Facebook, jadi mereka mudah menghubungi,” kata dia.
R selanjutnya mengenang bagaimana beberapa bentrokan besar direncanakan dengan sangat terorganisir. “Kami memilih lokasi yang jauh dari pandangan polisi atau guru. Biasanya di tempat-tempat yang sepi, seperti jalan belakang sekolah atau lapangan luas,” tambahnya.
Meski guru-guru telah berupaya mencegah, tawuran tetap sulit dihindari karena provokasi terus terjadi. Beberapa pelajar bahkan menerima hukuman akibat keterlibatan mereka.
“Keluarga sering marah dan mendoakan keselamatan saya. Tapi jiwa muda membuat saya tidak takut,” kenang dia yang mengingat ibunya sering menangis khawatir ketika ia pulang terlambat. “Ibu selalu menunggu di depan pintu, memastikan saya baik-baik saja. Tapi saya tetap tidak mendengarkan,” ungkapnya dengan nada penuh penyesalan.
Peristiwa yang paling membekas bagi R adalah bentrokan besar dengan SMK TS menjelang Ramadan di wilayah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. “Saat itu kami bentrok besar saat papajar Ramadan,” ungkapnya. Konser musik di Lapang Merdeka juga menjadi ajang bentrokan tahunan. Tetapi dia mengakui, kini melihat masa lalunya dengan sudut pandang berbeda. “Dulu kami berpikir itu adalah hal yang benar. Tapi sekarang saya sadar semuanya membuat kami kehilangan waktu dan kesempatan untuk berkembang,” katanya.
R sekarang melihat pentingnya langkah preventif untuk menghentikan budaya tawuran. Ia juga berpesan kepada generasi muda untuk meninggalkan tawuran. “Sudahi, itu tidak ada untungnya. Tawuran bisa mempertaruhkan masa depan,” tegasnya.
R berharap generasi muda Sukabumi dapat berdamai dan fokus membangun masa depan yang lebih baik. Lebih lanjut, R mengusulkan agar sekolah-sekolah mengadakan program kerja sama antar-siswa. Ia pun menyoroti pentingnya peran orang tua. “Orang tua harus lebih terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Jangan hanya menyerahkan semuanya kepada sekolah,” ujar dia.
Baca Juga: Jejak Geng Motor di Sukabumi Era Belanda, XTC dan GBR Blak-blakan Kondisi Saat Ini
Wajah Lama yang Tak Berubah
Apa yang dilakukan R belasan tahun lalu, belum banyak berubah dengan wajah pendidikan Sukabumi saat ini. MO (17 tahun), remaja yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, tahun 2024 lalu, mengaku ikut tawuran karena ingin disegani dan dikenal banyak orang, terutama kalangan pelajar. Motivasi ini tidak muncul karena tekanan, melainkan keinginan individu untuk mendapatkan pengakuan.
Rasa gengsi menjadi faktor dominan. Tawuran dianggap cara efektif untuk membesarkan nama sekolah. “Tidak ada masalah pribadi, hanya antar-sekolah. Kita gengsi, mikirnya pengen besar nama sekolah, sekolah kita ingin dikenal,” ungkap dia pada 3 Februari 2025.
Menurutnya, tawuran juga tidak terjadi spontan, namun direncanakan dengan matang. Media sosial seperti Instagram menjadi sarana baru untuk memulai provokasi. “Biasanya yang nantangin itu suka bikin story dengan caption R 1-1, yang artinya ready satu lawan satu. Bisa juga R 2-2, R 5-5, atau all in, tergantung yang bikin story. Kalau sudah setuju, kita balas dengan gas, hayu di dieu jeng urang pake alat, lokasi pertengahan,” jelasnya.
Lokasi tawuran dipilih yang strategis, biasanya di area yang dianggap netral atau mudah dijangkau kedua pihak. Sementara persiapan sebelum aksi ini meliputi aspek perlindungan diri. “Kita gulung tangan pakai lakban, pakai jaket dua lapis, dan helm. Saat tawuran, rasanya gelap karena emosi. Tidak terasa sakit walau dipukul,” kata MO.
Setelah tawuran, muncul perasaan puas, terutama jika menang. “Kalau kita menang, biasanya lanjut ejek-ejekan di DM Instagram. Kalau kalah atau kena pukul, jadi pengen bales lagi."
Tetapi, tawuran pernah meninggalkan pengalaman traumatis. MO mengaku pernah mengalami luka serius. “Pernah kebacok di tangan dan punggung, dapat enam belas jahitan. Waktu itu sampai dibawa ke rumah sakit. Pernah juga merasa mau meninggal karena kehabisan darah,” katanya.
Walaupun menyesal, MO mengaku sulit untuk benar-benar berhenti. Lingkungan sosial menjadi kendala utama. “Semua teman-teman ingin berhenti, tapi sulit karena tekanan lingkungan. Kalau ada teman yang masih suka tawuran, yang lainnya juga pasti ikut karena gengsi kalau menolak," ujar dia yang menyebut penyesalan semakin terasa ketika konsekuensi berat menghampiri. “Pernah di-DO waktu SMP kelas VIII karena tawuran. Kalau tahu akan di-DO, pasti tidak ikut tawuran. Sekarang menyesal."
Ia berharap pengalaman buruknya dapat menjadi pelajaran bagi generasi muda. “Mencegah itu penting karena penyesalan pasti datang di kemudian hari. Saya ingin menceritakan pengalaman saya agar tidak ada lagi yang menyesal seperti saya,” ujar MO.
Berdasarkan catatan sukabumiupdate.com, 2024 menjadi salah satu tahun terburuk. Fenomena tawuran pelajar masih menjadi momok, dengan setidaknya 12 peristiwa, belum ditambah pada 2025. Kejadian-kejadian ini tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga potret suram generasi muda yang kehilangan arah dan nilai-nilai kedisiplinan.
Dari Lapang Merdeka hingga pelosok desa, aksi kekerasan ini melibatkan ratusan pelajar, beberapa di antaranya bahkan menggunakan senjata tajam. Tidak jarang, kejadian tersebut meninggalkan korban luka serius hingga meninggal dunia, baik dari pihak pelaku maupun masyarakat yang terjebak di tengah konflik.
Lapang Merdeka, ikon Kota Sukabumi yang menyimpan sejarah panjang perjuangan dan kebanggaan juga menghadapi tantangan besar. Alih-alih menjadi ruang publik yang menyatukan masyarakat, lapang ini justru sering dikotori oleh aksi tawuran pelajar yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang pernah diukir di sana.
Selama 2024, terjadi tiga peristiwa tawuran besar di Lapang Merdeka. Kemudian terbaru pada 20 Januari 2025. Aksi kekerasan yang melibatkan puluhan pelajar SMK itu menjadi pemandangan yang ironis di tengah sejarah heroik Lapang Merdeka, tempat di mana pekik kemerdekaan pernah membahana dan Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya.
Pada masa kolonial Belanda, lapang ini dikenal sebagai Victoria Park, tempat acara resmi pemerintah Hindia Belanda. Namun setelah proklamasi kemerdekaan, Lapang Merdeka menjadi saksi perlawanan rakyat Sukabumi terhadap penjajah, termasuk pengambilalihan kekuasaan.
Fenomena tawuran pelajar di Lapang Merdeka menggambarkan tantangan besar yang dihadapi Kota Sukabumi. Tempat yang seharusnya menjadi ruang untuk berolahraga, bersantai, dan merekatkan masyarakat, malah berubah menjadi medan konflik.
Wakil Wali Kota Sukabumi terpilih, Bobby Maulana, telah berkomitmen untuk mengatasi masalah ini bersama Ayep Zaki, Wali Kota pasangannya. Dalam komentarnya di media sosial, Bobby menegaskan persoalan tawuran akan menjadi salah satu prioritas utama setelah mereka dilantik.
Amukan yang Bergeser
Pengamat sejarah Irman Firmansyah mengatakan tawuran adalah fenomena yang sudah ada sejak lama di Sukabumi, namun terdapat perubahan orientasi dan konteks. Masyarakat Indonesia dari dulu memiliki budaya amuk yang ditakuti pemerintah kolonial sebagai katup sosial dan sikap menjaga martabat, terutama ketika tertekan dan tidak ada solusi normal. Sesuatu ini umum sebagai tindakan habis-habisan dalam situasi tertekan, mirip berperang mati-matian dalam medan tempur, berkorban demi kehormatan.
Tomé Pires yang pernah mengunjungi ibu kota Pajajaran pada 1515 menyebut, “orang mengamuk adalah satria bagi mereka, orang yang bersedia mati, dan melaksanakan keputusan tersebut.”
Dalam konteks Islam, semangat yang disebutkan Pires hampir mirip dengan jihad, khususnya jika bermotifkan menjaga martabat dan menentang ketidakadilan. Tetapi dalam praktiknya memang amuk tidak semuanya bermotifkan kehormatan, ada juga dendam, kesalahpahaman, merasa diganggu, dan lain-lain.
Thomas Stamford Raffles mengungkapkan bahwa di Jawa--yang orang-orangnya digambarkan oleh sebagai masyarakat sangat dermawan dan ramah jika tidak ditindas dan diganggu--ternyata apabila diperlakukan tidak adil, bisa meledak. Khususnya kondisi ketidakadilan yang terus terjadi sehingga pikiran rasional menjadi buntu dan membentuk dendam berkepanjangan.
Ada istilah "tiji tibeh, mati siji mati kabeh" atau mati satu mati semua. Ini sempat terjadi saat kejadian afdeling B atau peristiwa Cimareme, di mana masyarakat dipaksa menjual padi ke pemerintah dengan harga murah. Para pengikut afdeling B dihabisi semua oleh pasukan Belanda akibat menolak menyerah hingga mati. Peristiwa itu kemudian membuat KH Ahmad Sanusi yang merupakan tokoh Sarekat Islam (SI) Sukabumi, ditangkap karena dituduh terlibat.
Baca Juga: 1 Februari 1964: Awal Penahanan Buya Hamka di Sukabumi yang Mengubah Sejarah
"Masyarakat Sukabumi memiliki jiwa yang sama, misalnya Laurens van der Post, tentara sekutu yang pernah bergerilya di selatan Sukabumi pada masa Jepang, menyebut “mereka yang selama hidupnya mematuhi tata krama, yang selalu melaksanakan tugas yang diperintahkan dengan sempurna, tiba-tiba merasa tidak mau melaksanakannya lagi. Dalam semalam mereka memberontak terhadap kebaikan dan tanggung jawabnya," kata Irman pada 8 Februari 2025.
Sayangnya, sikap-sikap bermotif kesatria itu sekarang bergeser, bahkan turun menjadi persoalan sosial semata dan menjadi kekerasan tanpa kejelasan.
Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië pada 19 Juli 1937 mencatat perkelahian antara menantu (Arsipin) dan mertua (Bapa Olip) di Kalapanunggal yang memicu keterlibatan masyarakat. Motifnya dendam karena istrinya pulang ke rumah mertuanya dan tidak mau kembali. Keduanya tewas bersimbah darah akibat parang dan pisau yang mereka gunakan. Setahun berikutnya, di Parungseah terjadi perang antar-kampung yang menyebabkan Haji Mangsoer tewas di pinggir sawah, sedangkan lawannya luka-luka dan dirawat di rumah sakit.
Pada masa perang kemerdekaan, kebiasaan ini berpindah menjadi penyerangan bermotif perjuangan, terutama penyerangan terhadap fasilitas-fasilitas yang dianggap berhubungan dengan Belanda. Hal ini terjadi hingga awal 1950-an, di mana penjarahan sering terjadi, baik dilakukan oleh pasukan bersenjata maupun masyarakat.
Memasuki Orde Lama, lanjut Irman, fenomena amuk berubah menjadi tawuran antar-sekolah yang dikenal dengan tawuran pelajar atau mahasiswa akibat provokasi politik. Persaingan politik saat itu memang sangat tajam dan masuk ke hampir semua lini, termasuk pelajar dan mahasiswa, sehingga memicu bentrok antar-kelompok yang berbeda ideologi dan pandangan. Tawuran masih belum masif dan terbatas, namun kadang memicu peristiwa yang lebih besar.
Sebagai contoh, ketika seorang siswa asal Sukaraja, Sukabumi, yang bersekolah di Bogor, tawuran dengan pelajar lainnya hingga tewas tertusuk pisau. Saat pemakamannya di Sukaraja, ternyata muncul pidato dari oknum yang memprovokasi dengan mengkaitkannya terhadap isu etnis sehingga memicu kerusuhan rasialis tahun 1963 di Sukabumi. Secara kebetulan, peristiwa ini juga merupakan rentetan kejadian di Bandung dan Cirebon yang juga dipicu perkelahian antar-mahasiswa.
Aksi lain yang cukup mendapat perhatian adalah tawuran antara siswa Akabri Polisi Sukabumi dan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung pada 1970. Peristiwa ini diawali dengan dilibatkannya taruna Akpol Sukabumi dalam razia rambut gondrong yang kebetulan banyak mahasiswa ITB yang kena razia. Akibatnya, terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara mahasiswa ITB dan taruna Akpol Sukabumi akibat sindiran-sindiran, kebetulan tahun tersebut gerakan mahasiswa sedang hangat-hangatnya pasca-runtuhnya Orde Lama.
Akhirnya, muncul solusi dari Kapolri Hoegeng Iman Santoso, Gubernur Akpol Irjen Awaloedin Djamin, komunitas akademik ITB, dan perguruan tinggi Bandung, untuk meredakan ketegangan dengan cara mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan.
Pada era Reformasi, tawuran semakin meningkat dan mengkhawatirkan karena menggunakan benda-benda yang mengancam jiwa seperti parang, celurit, dan lainnya. Sepengalaman Irman yang mengalami masa-masa sekolah tahun 1990-an, awalnya tawuran muncul dari geng-geng sekolah yang memunculkan sikap-sikap jagoan seperti di film-film bioskop. Maka sering terlihat di suatu tempat, misalnya, di lapangan ada perkelahian yang sudah direncanakan atau diselesaikan dengan duel antar-pemimpinnya.
Secara umum, pergeseran nilai budaya dan moral ini mengkhawatirkan karena menyebabkan munculnya perilaku destruktif dan kekerasan.
Ikbal Juliansyah dan Turangga Anom berkontribusi dalam penulisan artikel ini.