SUKABUMIUPDATE.com - Penyakit korupsi di Indonesia sulit diberantas. Dari waktu ke waktu dan di setiap zaman selalu ada. Dalam sejarahnya, Sukabumi sebagai bagian dari nusantara tidak lepas dari praktik tersebut. Demi melanggengkan eksistensi keuntungan, sebagian pelaku aktivitas haram ini berupaya memanfaatkan kedudukannya.
Pada zaman penjajahan, kegiatan terlarang itu banyak terjadi akibat sistem yang buruk. Contohnya, pembunuhan Bupati Cianjur Wiratanudatar III (Dalem Dicondre) tahun 1726 yang konon disebabkan praktik korupsi terhadap penjualan kopi dari wilayah Sukabumi. Jika merujuk pada masa VOC (organisasi dagang) yang sering terjadi pungutan liar suap oleh pegawai pemerintah dan penguasa lokal, maka situasi tersebut dekat dengan feodalisme dan nepotisme budaya prakolonial seperti adanya upeti dan penghambaan kepada majikan.
"Hal ini menyebabkan rendahnya kesadaran hukum, di samping ketakutan dan ewuh pakewuh akan strata yang lebih tinggi. Selain itu, kurangnya pendidikan dan pelatihan etika," kata pengamat sejarah Irman Firmansyah kepada sukabumiupdate.com pada Senin (6/1/2025).
Uniknya, VOC sendiri kemudian bangkrut akibat korupsi, di mana pada akhir nasibnya masih sempat membangun dermaga di kawasan Palabuhanratu. Selain sebagai upaya distribusi beras karena sudah diblokade di lautan utara, pembangunan ini juga bertujuan membuat gudang-gudang untuk menyelamatkan sebagian kekayaan mereka.
Baca Juga: Isu Tambang di Balik Bencana, Membaca Sejarah Penemuan Emas di Selatan Sukabumi
Menurut Irman yang juga penulis buku Soekabumi The Untold Story, pada masa Belanda, korupsi meluas seperti menerima hadiah dan upeti pergantian jabatan. Bahkan untuk sebuah gelar pun bisa dilakukan dengan cara membayar. Praktik ini jarang berlanjut ke proses hukum karena belum ada aturan yang tergas, terutama terkait hadiah, upeti, dan pungutan.
Kasus awal di Sukabumi yang muncul adalah penjualan tanah pemerintah kepada swasta yang dibeli oleh Andries de Wilde. Transaksi ini melibatkan Thomas Stamford Raffles, Thomas MacQuoid, dan Nicolaus Engelhard, pada 1813. Perkara tersebut dilaporkan Mayor Jenderal Sir Hugh Robert Rollo Gillespie kepada pemerintah Inggris di Calcutta karena berbau kolusi dan korupsi. Ketidakberesan penjualan lahan juga dilaporkan G. Vries, mantan asisten MacQuoid.
Ketika itu persil Cianjur atau perkebunan kopi (Sukabumi sekarang) ditawar dengan angka lebih tinggi oleh pihak lain, dari harga yang ditentukan yaitu 30 ribu dolar Spanyol (ditawar 37 ribu dolar spanyol). Namun Raffles malah menyerahkannya kepada de Wilde seharga 35 ribu dolar Spanyol. Ternyata keduanya berkongsi untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil kopi yang dihargai mahal kepada pemerintah, setelah lahan tersebut dibeli.
Raffles juga mengatur penjualan kopi dari Sukabumi yang nilainya lebih besar dibanding kopi gubernemen yakni 10-11 Rixdollar. Sementara produksi gubernemen hanya dibayar 4-5 Rixdollar. Laporan-laporan ini membuat kepemimpinan Raffles dinilai tidak memuaskan dan dianggap oleh koloni East Indies hanya merugikan. Pada 1805, dia diganti oleh John Fendall.
Kisah lainnya datang pada September 1913. Irman mengatakan kasus serupa merebak pada tubuh Sarekat Islam yang diduga terjadi saat kunjungan ketua organisasi tersebut ke Sukabumi dan mengakibatkan terjadinya korupsi dana haji. Polisi lapangan kemudian melakukan penyelidikan terhadap ketua dan wakil ketua Sarekat Islam. Namun ironinya, hal yang sama terjadi di instansi polisi lapangan, di mana pada 1924 kepala polisi lapangan Sukabumi divonis hukuman penjara selama tiga tahun karena melakukan korupsi.
"Korupsi ini cukup marak terjadi pada bidang layanan pemerintah seperti kantor pos karena terjadi beberapa kali korupsi oleh pegawainya. Tahun 1926 seorang pegawai pos melakukan korupsi sebesar 2.000 gulden dan menghilang. Lalu pada 1939 kembali terjadi korupsi oleh staf kantor pos yang menggelapkan uang sekitar 250 gulden," ujarnya.
Korupsi pun terjadi di pengadilan negeri Sukabumi (Landraad) pada 1931. Pelakunya seorang jaksa dengan masa kerja 23 tahun. Lebih dari 20.000 gulden dana digelapkan. Jaksa ini selanjutnya ditangkap dan dibawa ke Batavia. Di lokasi lain, perkara yang sama dilakukan akuntan Perkebunan Artana Sukabumi yang menimbulkan kerugian sekitar 5.000 gulden.
Peristiwa yang lebih besar dan menjadi pergunjingan warga adalah kasus korupsi di Gemeente Ziekenhuis (RSUD R Syamsudin SH). Sebuah laporan menyebutkan rumah sakit terus merugi dan pelayanan memburuk. Oleh karena itu, pemerintah beberapa kali membayar ganti rugi dan subsidi. Seperti pada 1924, melakukan subsidi sekitar 1.777,95 gulden.
Tiga tahun kemudian, diduga terjadi temuan praktik administrasi yang keliru dengan laporan-laporan palsu atas dana yang diterima dari pasien. Hal ini lalu dilaporkan kepada residen sehingga pengelola rumah sakit diberhentikan sementara. Namun tak berhenti di sana. Tahun 1932 terungkap kembali masalah administrasi. Laporan dipalsukan sehingga hasilnya defisit. Akibatnya, kepala rumah sakit dipecat. Sebab masalah yang tak kunjung selesai, akhirnya pada 1933 Gemeente Ziekenhuis diserahkan pengelolaannya kepada misi Katolik.
Irman mengatakan persoalan korupsi di sebuah kota selalu berkaitan dengan kepemimpinan di kota tersebut. Terjadinya banyak penyelewengan administrasi di Kota Sukabumi ternyata bersumber dari malaadministrasi di pusat pemerintahan Gemeente Soekaboemi.
George François Rambonnet sebagai burgemeester atau wali kota pertama tidak menjalankan administrasi dengan benar. Dia juga terseret kasus suap yang dilakukan seorang kontraktor sebesar 400.000 gulden. Rambonnet dan JM Knaud selaku direktur Gemeente Werken dinyatakan terlibat. Kasus ini mengemuka sejak 1931 yang konon melibatkan Biro Pembangunan Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA).
"Rambonnet menduduki jabatan Burgemeester Sukabumi sampai awal 1934. Pasca-peresmian Gedung Gemeente (Balai Kota), rupanya Rambonnet tidak sempat mengisi gedung baru tersebut karena dipindahkan ke Buitenzorg (Bogor) dan menjabat sebagai wali kota. Saat mengisi jabatan baru Wali Kota Bogor, dia tidak bisa tenang karena diserang pemberitaan media Bataviaasch Nieuwsblad yang membuka kebobrokan administrasinya saat menjabat Wali Kota Sukabumi. Rambonnet dituduh melakukan malaadministrasi dan penyimpangan keuangan. Alhasil, kejaksaan umum dan kantor desentralisasi terlibat dalam penyelidikan," kata dia.
Laporan penyelidikan kedua lembaga itu hasilnya sangat buruk. Manajemen yang dilakukan Rambonnet diduga berantakan sehingga banyak arsip yang hilang atau tidak tercatat. Rambonnet pun didakwa melakukan penyalahgunaan uang gaji dan tunjangan cuti. Nahasnya, pemerintah pusat membatalkan keputusan Dewan Kota Sukabumi pada 16 Maret 1932. Rambonnet juga diduga menerima sejumlah uang sebagai tunjangan saat dia merangkap jabatan sebagai wali kota dan sekretaris daerah.
Rambonnet kemudian diwajibkan mengembalikan sejumlah uang (uang pengganti) yang dia nikmati dalam masa kepemimpinan hampir delapan tahun, ditambah saat mengambil haknya ketika cuti ke luar negeri. Persoalan korupsi ini menyebabkan Rambonnet harus mengajukan pailit kepada pemerintah Hindia-Belanda.