SUKABUMIUPDATE.com - Sukabumi memiliki ikatan sejarah dengan negara benua biru, Prancis. Peresmian menara Eiffel pada 31 Maret 1889 di Paris menjadi momentum terciptanya hubungan tersebut. Gamelan Sari Oneng Parakansalak tampil di sana dan membuka mata dunia terhadap keunikan nusantara.
Pertunjukan Gamelan Sari Oneng di Paris dikemas dalam pameran Kampung Jawa. Berdasarkan catatan, terdapat 22 laki-laki dan lima penari wanita asal Parakansalak dan Sinagar yang dikirim sebagai delegasi. Jumlah ini menjadi bagian dari total 75 orang yang diberangkatkan dan melakukan penjelajahan di Prancis selama enam bulan.
Pengamat sejarah Irman Firmansyah mengatakan ada salah satu pria dari Sukabumi yang meninggal dan dimakamkan di Paris pada 1889. Dia bernama Aneh dan lahir di Parakansalak pada 1854. Aneh merupakan pemusik yang ikut dalam pameran Kampung Jawa untuk memeriahkan peresmian menara Eiffel.
Aneh berangkat bersama rombongan lainnya, namun dia diduga terkena ruptured aneurysm atau sejenis penyakit yang merobek pembuluh darah. Aneh meninggal pada 4 Juli 1889. Kematian dan pemakamannya menjadi perbincangan dan dimuat dalam media Prancis seperti Le Figaro pada 5 Juli 1889 dengan artikel berjudul Courrier de l'Exposition.
Le Figaro didirikan tahun 1854 dan sangat berpengaruh di Paris. Surat kabar ini semula terbit secara mingguan. Tetapi sejak 1866 terbit sebagai surat kabar harian.
Menurut Irman, kematian Aneh juga muncul di beberapa media lain. Bahkan harian Le Rappel edisi 8 Juli 1889 memuatnya secara eksklusif dalam kolom L'exposition. "Mungkin Aneh menjadi satu-satunya pekerja Indonesia sekaligus pemusik yang pertama diberitakan di koran Prancis," ujar penulis Soekaboemi the Untold Story ini.
Parakansalak yang Mengagumkan
Tampilnya Gamelan Sari Oneng di pentas dunia sebenarnya telah dimulai pada 1883. Saat itu, Gustav C. F. W. Mundt dipilih untuk menggantikan Adriaan Walfaare Holle sebagai administratur perkebunan teh Parakansalak dan membawa rombongan gamelan tersebut ke sebuah pameran di Amsterdam, Belanda.
Gamelan Sari Oneng membuat perkebunan Parakansalak menjadi sangat terkenal. Bahkan keterkenalannya melebihi Hindia Belanda. Sari Oneng yang sukses menjelajahi dunia untuk mempromosikan teh dan budaya nusantara telah mengubah banyak hal. Sari Oneng sendiri istilah umum yang bermakna kasih sayang.
Gamelan ini merupakan proyek bersama antara perkebunan Parakansalak dan Sinagar. Namun tidak sedikit yang menganggap bahwa gamelan ini sebagai Sari Oneng Parakansalak. Meski anggota dan pemberi dana proyek berasal dari kedua perkebunan tersebut.
Perjalanan pun berawal pada 1857, ketika Adriaan Walfaare Holle menjadi administratur perkebunan Parakansalak. Ia menyukai permainan gamelan Sunda. Bahkan Holle pun dapat memainkan rebab dengan baik.
Keindahan perkebunan Parakansalak dan Sinagar juga dikenal Eropa. Tidak mengherankan jika pada abad 18 sudah dibuat program Visit Parakansalak and Sinagar, semacam tur wisata. Holle sering menyambut turis elite yang datang, mengajaknya tur pegunungan, berkuda, keramahan desa, perkebunan, wayang golek, dan gamelan.
Beberapa turis seperti etnolog Belanda bernama Pieter Johannes Veth (1882) menyatakan Parakansalak adalah replikanya surga. Ini berkaitan dengan Kampung Jawa yang sebenarnya dibangun berdasarkan tradisi keramahtamahan Parakansalak.
Baca Juga: Fête de la Musique, Debussy dan Sari Oneng Sukabumi dalam Impresionis Musik Barat
Dalam pameran pertamanya di Belanda, panitia meminta Gustav C. F. W. Mundt (setelah menggantikan posisi Adriaan Walfaare Holle) untuk meminjamkan gamelan yang diatur sedemikian rupa sehingga bisa memainkan lagu-lagu langgam diatonik berdasarkan tujuh nada.
Secara teori, skala diatonik merupakan komponen dasar teori musik dunia barat. Skala diatonik memiliki tujuh not yang berbeda dalam satu oktaf. Not-not ini adalah not-not putih pada piano. Dalam notasi solmisasi, not-not tersebut adalah "Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si". Atas permintaan itu, Mundt lalu mengonstruksikan gamelan Sunda yang berlaras pelog dengan ukiran yang lebih bergaya Eropa ketimbang bergaya Sunda.
Adapun menjelang peresmian menara Eiffel dan peringatan 100 tahun revolusi Prancis pada 31 Maret 1889, Belanda memang berniat memperlihatkan kejayaannya melalui tanah koloni yang mereka kuasai. Belanda pun merencanakan untuk membuat stan pameran di peresmian tersebut.
Senada dengan rencana Belanda, pihak Javaasche Bank yang diketuai Van den Berg bekerja sama dengan keluarga Eduard Julius Kerkhoven dan Mundt. Ia ditemani ahli filantropis dan sekretaris Englisch Indische Company (semacam VOC-nya Inggris), HP Cowan.
Mereka terpesona dengan perkebunan Parakansalak dan Sinagar. Sehingga selain membawa budayanya ke Paris, mereka juga setuju untuk membawa wayang dan gamelan Sari Oneng yang sebelumnya pernah tampil di Amsterdam. Tak hanya itu, Parakansalak dan Sinagar ternyata memiliki kios atau warung teh yang bagus untuk diduplikasi.
Pembuatan duplikasi kios kemudian dilakukan di Tanjung Priok bersama rumah dan sarana lainnya untuk membuat Kampung Jawa yang selanjutnya tampil di pameran Paris.