Bencana akibat longsor dan banjir dominan terjadi di daratan Sukabumi. Namun yang perlu diingat, ada pula potensi megathrust dari lautan yang mengancam. Sukabumi memang mayoritas darat dan laut sehingga wilayah pedalaman dan pesisir sudah lama tersatukan dalam budaya. Secara geografis kita bisa melihat bahwa sawah, huma, gua, dan curug, berada di pantai secara bersamaan, bertemu dengan muara dan lautan. Kompleksitas kawasan ini dikonsepkan melalui istilah Gurilaps, meski dalam lambang kabupaten dominan dengan penyu.
Di sisi lain, bencana ini juga melibatkan tanah dan air. Tanah yang dirusak pepohonannya berubah menjadi kosang dan rawan, sehingga saat curah air hujan tinggi berubah menjadi banjir dan sebagian mengisi ruang-ruang kosong tanah sehingga terjadi pergeseran dan longsor.
Jika dihubungkan secara filosofis, kita ingat ada dongeng sakadang kuya dan sakadang monyet. Kedua binatang yang tak pernah bersatu, baik di alam binatang maupun kebun binatang itu disatukan dengan bijak oleh karuhun kita melalui dongeng. Kepintaran karuhun kita dulu bisa menyatukan Kerajaan Galuh yang dominan air (orang air) dan Kerajaan Sunda yang dominan gunung (orang gunung). Yang satu memiliki mitos buaya, satu lagi memiliki mitos harimau.
Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban, yang pada masa lalu adalah tempat untuk melabuhkan (nerebkeun) mayat. Sebaliknya, orang Kanekes yang masih banyak menyimpan sisa tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah (ngurebkeun). Istilah di Galuh nerebkeun, istilah di Sunda pasarean. Maka tak heran jika Kerajaan Sunda pada masa lalu sempat pindah dari barat ke timur, dan sebalikanya saat dipersatukan. Itulah kebijakan karuhun kita.
Kini, di zaman modern, bagaimana konsep kebijakan pupuhu kita? Apakah menganut peleburan gunung dan air dalam konteks pelestarian? Atau tak punya konsep sama sekali sehingga yang disalahkan selalu cuaca dan curah hujan?
Penulis: Irman Firmansyah | Pengamat Sejarah Sukabumi