SUKABUMIUPDATE.com - Bencana alam dahsyat yang mengepung Kabupaten Sukabumi pada awal Desember 2024 membuka diskusi lama soal dampak perusahaan tambang di wilayah ini. Temuan organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkapkan bahwa aktivitas pengambilan hasil dari dalam bumi tersebut diduga menjadi penyebab.
Dalam laporannya, WALHI menilai telah terjadi kerusakan alam di Kabupaten Sukabumi akibat tambang emas dan galian kuarsa untuk bahan pendukung pembuatan semen. Situasi ini kemudian diduga mengakibatkan datangnya bencana banjir, longsor, dan lainnya, yang berdampak terhadap 23 ribuan jiwa dengan nilai kerugian hampir menembus Rp 200 miliar.
Tim investigasi WALHI yang turun ke lapangan sejak 3 Desember 2024 secara lebih rinci menemukan operasi tambang emas di kawasan hutan seperti di Kecamatan Ciemas dan Simpenan. Kegiatan ini diduga memicu terjadinya degradasi lingkungan dan berujung bencana ekologis yang menghancurkan Kabupaten Sukabumi, khususnya wilayah selatan.
Di sisi lain, berbicara soal pertambangan emas, Kabupaten Sukabumi memiliki catatan sejarahnya. Pada masa kerajaan, bahkan jauh sebelumnya, logam mulia berwarna kuning ini sudah menjadi perhiasan. Tentu, emas saat itu masih ditambang dengan cara kuno. Konon, seribu tahun lalu banyak imigran Cina yang datang ke Sukabumi untuk menambang emas.
Baca Juga: Polisi Panggil Tiga Perusahaan Tambang, Buntut Temuan WALHI Soal Bencana di Sukabumi
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan temuan emas di Sukabumi juga bukan tidak sengaja. Belanda yang sudah lama mengincar emas Sukabumi dari cerita-cerita dan naskah kuno seperti epik Hindu Ramayana, misalnya, menyebutkan: "Dengan hati-hati menembus Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya akan tambang emas". Kemudian prasasti bertahun 732 Masehi, ditemukan di Kedu, juga mengatakan tentang Jawa yang "kaya akan tambang emas" (P.J. Veth).
"Bahkan katanya (dalam kisah di tempat yang lain), Gunung Salak berasal dari kata Salaka yang artinya perak karena mengandung perak dan emas," kata Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story kepada sukabumiupdate.com.
Masyarakat Sukabumi telah mengenal cara mendulang emas sejak lama karena pendulangan di sungai sudah banyak terjadi, terutama di Jampangtengah. Warga menyebutnya emas karang yaitu emas dari pasir yang didulang menggunakan pelat kayu. Belanda pun semakin tergiur untuk mendapatkan emas dan selanjutnya melakukan penelitian di Sukabumi selatan sejak 1888, terutama di daerah Jampang yang dicurigai kuat sumber emasnya.
Keterangan itu diperoleh berdasarkan laporan masyarakat yang juga sempat menambangnya secara tradisional, khususnya di Jampangtengah, Jampangkulon, dan Palabuhanratu. Salah satu incaran belanda adalah Ciemas yang dari toponiminya berarti tempat yang ada sumber emas.
Irman menyebut Belanda akhirnya mulai mendapatkan titik terang dari informasi penduduk Jampang tentang tambang kuno di wilayah Ciemas, yaitu perkebunan yang masuk Onderneming Tjiemas. Masyarakat sekitar pun diduga memiliki kemampuan menambang emas secara tradisional menggunakan cara mistis dengan menentukan hari dan menunggu wangsit.
Adapun tambang kuno itu berada di dalam perkebunan berupa gua kuno sepanjang 70 meter. Selain itu ditemukan pula sumber emas di Perkebunan Surangga sehingga mulailah para peneliti dikirim dalam jumlah besar untuk melakukan penelitian. Laporan awal pada 1922 cukup menggembirakan karena terdapat kadar emas mulai 15 hingga 20 gram per ton tanah. Namun penelitian tersebut tidak berjalan mulus karena kadar emas diperkirakan kurang bagus.
Baca Juga: Jejak Gurandil dan Surga Emas di Pajampangan Sukabumi yang Memikat Belanda
Menurut laporan Juli 1923, penelitian dihentikan dan dialihkan ke penelitian timah di Riau. Dalam beberapa bulan kemudian muncul banyak laporan tentang keberadaan emas di wilayah Jampang, meskipun dipertanyakan oleh Volksraad (semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda) dan dibantah oleh pemerintah. "Sepertinya Belanda juga menangani setiap informasi emas ini secara rahasia dan menghindari perebutan lahan tambang." ujar Irman.
Pada April 1924, muncul laporan ilmiah berjudul "Uitkomsten van de mijnbouwkundig-geologische onderzoekingen in de Djampangs" mengenai urat emas Jampang yang menyebutkan emas Jampang sama jenisnya dengan emas di Rejang Lebong dan Tambang Sawah. Hal ini akhirnya menimbulkan semangat baru sehingga beberapa perusahaan swasta mendaftar untuk melakukan eksplorasi.
Wacana terus berkembang di mana laporan-laporan menyebutkan pula temuan bijih perak, sulfida, seng, dan lain-lain, menguatkan kualitas emas Jampang yang layak untuk ditambang. Di lahan seluas 1 kilometer x 1,5 kilometer, selain emas, bijih dari sampel mengandung tembaga dan timbal yang bisa dilebur.
Pemerintah lalu mengumumkan melakukan eksplorasi di area seluas 900 hektare di wilayah Jampangkulon. Pada 16 September 1924, pemerintah mengeluarkan keputusan Nomor 10 (Staatsblad 418) dan dijelaskan lebih lanjut pada bagian Nomor 16 dari laporan berjudul: Uitkomsten van de mijnbouwkundig-geologische onderzoekingen in de Djampangs (Hasil Investigasi Geologi Pertambangan di Jampang).
Pemerintah kemudian meminta pihak yang ingin melakukan eksplorasi untuk melakukan penawaran sebelum 1 Juni 1925 di kantor Kepala Dinas Pertambangan di Departemen Perusahaan Pemerintah di Bandung. Ditetapkan pula pertambangan emas, perak, timah, seng, tembaga, besi, dan belerang, akan dilakukan oleh pemerintah dengan luas 900 hektare yang berlokasi di Jampangkulon dan Palabuhanratu.
Menindaklanjuti keputusan ini, sekretaris gubernur mengirim surat edaran, berikut pada hari yang sama dengan Nomor 2068a/111.8. Disebutkan bahwa tanah di divisi Soekaboemi van Landswege, eksplorasi emas, perak, timah, seng, tembaga, besi dan belerang, akan dilakukan. Sementara cadangan untuk eksplorasi dan reklamasi oleh pemerintah mengenai mineral-mineral tersebut di atas belum ditentukan kecuali untuk wilayah tersebut.
Sehubungan dengan itu, gubernur jenderal telah menginstruksikan bahwa dia juga dapat menyetujui keputusan itu dan akan melakukan tender. "Dalam Pasal 1 dari situs yang disebutkan setelah publikasi panggilan untuk tender. Panggilan untuk tender dikeluarkan dan misi ditunjuk untuk membuka tender pencarian dan eksploitasi mineral di Jampang. Pembukaan tender berlangsung pada 2 Juni 1925," kata Irman.
Awalnya banyak perusahaan tambang besar yang akan mengikuti tender seperti BillitonMij dan perusahaan Erdmann & Sielcken. Tetapi pemerintah sedikit protektif dan mengharapkan persentase yang cukup. Pada Desember 1925, terpilihlah satu-satunya kandidat Yaitu NV Algemeene Industrieele Mjjnbouw en Exploitatie Maatschappij (AIMEM) yang didirikan di Batavia.
Perjanjian yang akan disimpulkan dilakukan berdasarkan kontrak penerimaan yang diketahui, di mana negara dijamin dengan bagian minimal 10 persen dari hasil bersih yang dapat meningkat menjadi 20 persen jika sudah beroperasi. Kontrak ditandatangani pada 22 Februari 1926 oleh WL Kramers sebagai pemegang konsesi AIMEM.
Kontrak itu berisi soal eksplorasi dan pertambangan emas, perak, timah, seng, tembaga, besi, dan belerang, dalam batas yang ditentukan dalam Pasal 1 Keputusan Pemerintah tanggal 16 September 1924 Nomor 24. Lahan yang ditetapkan pemerintah untuk reklamasi bahan galian ini terletak di Kecamatan Palaboehan dan Djampang-Koelon Kabupaten Soekaboemi, Kediaman Buitenzorg, Provinsi Jawa Barat.
Irman mengatakan hampir 10 tahun perusahaan ini melakukan penambangan, namun hasilnya tidak memuaskan. Secara hitungan bisnis emas tersebut kadarnya tidaklah menguntungkan sehingga pada Juli 1935 izin dikembalikan ke pemerintah dan penambangan resmi dihentikan.
Dari tanggal yang disebutkan, kontrak dengan pemerintah berdasarkan Pasal 5a Undang-Undang Pertambangan India untuk eksplorasi dan pengembangan mineral-mineral di wilayah tersebut yang telah dicadangkan untuk eksplorasi dan pengembangan oleh pemerintah, akhirnya dihentikan. Tambang kemudian ditinggalkan begitu saja, sedangkan AIMEM melanjutkan proyek tambang di wilayah lain.
"Pemerintah akhirnya lebih fokus kepada tambang emas di Cikotok yang aksesnya bisa dilakukan melalui Sukabumi. Bekas tambang Ciemas sendiri kemudian menjadi lokasi penambangan tradisional yang ditambang oleh masyarakat dan disebut gurandil. Meskipun secara bisnis bagi perusahaan besar dianggap tidak menguntungkan, tetapi oleh masyarakat kecil dianggap berkah karena bisa didapatkan dengan cuma-cuma. Karena diperkirakan masih banyak wilayah Sukabumi yang mempunyai kandungan emas, maka tak heran jika hingga kini masih banyak masyarakat yang menyebar dan menjadi gurandil, mengadu nasib sebagai penambang emas tradisional," kata dia.