SUKABUMIUPDATE.com - Kementerian Lingkungan Hidup (LH) tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pengawasan lingkungan dan penegakan hukum terhadap aktivitas pertambangan di dalam kawasan Hutan yang terindikasi memperparah kondisi bencana banjir di Kabupaten Sukabumi.
Hal itu ditegaskan Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq saat meninjau lokasi bencana di Desa Lembursawah, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi, Minggu (15/12/2024).
"Saya mendapat laporan ada beberapa aktivitas tambang dan kegiatan di kawasan hutan yang tidak ramah lingkungan. Kami akan cek kembali kapasitas lahannya, termasuk pengawasan dan penegakan hukum bila diperlukan," ungkap Hanif kepada awak media.
Menurut Hanif, hal itu penting bagi Kementerian LH yang bertanggungjawab untuk menjaga kelayakan lingkungan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945.
Sehingga pihaknya akan mengingatkan kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Sukabumi terkait hal ini termasuk untuk mencermati kembali lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikaso.
"Dengan luas (DAS Cikaso) tidak terlalu luas ini, subnya dari DAS yang lebih besar tentu semestinya bisa ditangani dengan cepat. Terkait dengan ini akan terus pacu, peningkatan kemampuan kita dalam ketahanan bencana, salah satunya dengan vegetasi," jelasnya.
Baca Juga: Menteri LH Ungkap Pemicu Bencana Sukabumi Salah Satunya Gegara 65 Persen Hutan Gundul
Hanif menegaskan bahwa terkait dugaan aktivitas pertambangan di balik banjir Sukabumi ini pihaknya sudah melakukan kompilasi data hingga pemetaan lokasi.
"Kami tentu akan serius untuk menegakkan ketaatan terhadap lingkungan kita. Jadi kita akan cermati semua potensi-potensi yang menyebabkan terjadinya kasus (bencana) ini, selain hidrometeorologi atau climate change atau triple planetary crisis," ungkapnya.
"Jadi selain penyebab utamanya, tentu yang memperparah kita akan cek, sejauh mana kontribusinya didalam bencana ini. Kami akan serius mendalami, kami sudah melakukan pemetaan-pemetaan lokasinya. Setelah tanggap darurat selesai dilaksanakan, kami akan melakukan forensik juga terkait dengan apa yang dilakukan dan apa pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan kita ini," tambahnya.
Hanif juga mengaku terbuka sekaligus berterimakasih dengan masukan dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) tentang temuan penyebab bencana di Kabupaten Sukabumi ini salah satunya karena ekploitasi hutan oleh aktivitas pertambangan.
"Tentu kita akan terus bersinergis untuk menjaga lingkungan hidup di Indonesia. Sekali kami berterimakasih masukannya, kami akan tindaklanjuti," ujarnya.
Sebelumnya Hanif menyebut bencana seperti tanah longsor, tanah bergerak, dan banjir bandang di wilayah selatan Kabupaten Sukabumi diduga terjadi akibat kejenuhan tanah yang dipicu berbagai faktor, termasuk kondisi vegetasi hutan yang gundul hingga 65 persen.
"Tentu kami sedang terus pendetailan permasalahan di sini. Dari landscape yang saya amati melalui citra satelit, ini hampir 65 persen lebih tutupan hutannya tidak ada," ungkap Hanif.
"Sementara slop atau kemiringan lerengannya cenderung tinggi. Kemudian jenis soil atau tanahnya relatif dalam, sehingga pada saat tanah itu jenuh, kemudian curah hujannya cukup tinggi tentu ini berdampak banyak hal, mulai dari tanah longsor, tanah bergerak, banjir bandang," tambahnya.
Baca Juga: Banjir Dahsyat! Membaca Temuan Investigasi WALHI Soal Kerusakan Hutan di Sukabumi
Hanif menegaskan perlunya langkah konkret untuk memperbaiki lanskap DAS Cikaso yang kondisi lahannya tidak stabil.
Menurutnya, wilayah ini memerlukan penanganan serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat. Adapun upanya bisa dilakukan melalui kegiatan vegetatif dan teknik sipil.
"Kami akan mendukung penghijauan dengan tanaman jenis multi-strata dan tanaman keras seperti jabon, mahoni, serta jati yang sudah dikembangkan masyarakat setempat," ujarnya.
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan itu menyebut, penanaman dengan tanaman keras ini diperlukan karena tanaman hortikultura yang mendominasi daerah tersebut tidak mampu menahan erosi. Sehingga limpasan permukaan (surface runoff) menjadi tinggi.
"Kondisi DAS (Cikaso) memang tidak ramah terhadap kita. Sekitar 65 persen DAS di hulu tidak memiliki kayu keras, hanya tanaman hortikultura yang relatif lemah dalam menahan erosi," jelas Hanif.
Selain itu, Hanif menyoroti pentingnya infrastruktur teknik sipil seperti embung atau tempat penampungan air untuk mengurangi dampak bencana ekologis di wilayah Selatan Sukabumi.
Sebelumnya, isu dugaan aktivitas tambang di balik banjir di Kabupaten Sukabumi karena mengekploitasi hutan menyeruak dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Mereka meminta polisi menyidik perusahaan tambang di wilayah Sukabumi yang disebut menjadi penyebab adanya banjir dan bencana alam, terutama pada awal Desember 2024. WALHI menilai aktivitas para perusahaan tambang itu telah membuat kerusakan lingkungan.
“Meminta Polri melakukan penegakan hukum tindak pidana lingkungan. Kepada pemerintah kami mendesak agar menuntut perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat, dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang,” kata Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 13 Desember 2024.
Mengutip tempo.co, Wahyudin mengatakan WALHI Jawa Barat telah menurunkan tim investigasi sejak 3 Desember lalu ke Sukabumi. Dia menyebut timnya menemukan tidak hanya kawasan Guha dan Dano yang terdegradasi, tetapi di kawasan lain juga terjadi kerusakan alam akibat tambang emas dan galian kuarsa untuk bahan pendukung pembuatan semen.
Baca Juga: Bencana Sukabumi Terparah dalam 1 Dekade Terakhir, Alih Fungsi Lahan Diduga Jadi Penyebab
Sementara itu, Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI Mukri Friatna mengatakan banjir bandang yang terjadi pada awal Desember 2024 di Sukabumi telah menimbulkan dampak serius bagi kehidupan sosial sekaligus ekonomi masyarakat. Menurut dia, ada 39 kecamatan dan 176 desa terdampak banjir serta risiko belasan warga meninggal dan hilang.
“Hasil pemantauan citra satelit, sedikitnya terdapat dua kawasan hutan yaitu pegunungan Guha dan Dano yang telah hancur tutupan hutannya,” kata dia.
Kehadiran pabrik semen menghancurkan kawasan karst yang merupakan bahan baku semen. WALHI juga menemukan di Desa Waluran, Kabupaten Sukabumi, ada degradasi hutan. WALHI menilai fenomena ini karena adanya pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk memasok serbuk kayu ke PLTU.
Tak hanya itu, Wahyudin mengatakan WALHI juga menemukan adanya operasi tambang emas di kawasan hutan seperti di Ciemas dan di Simpenan. “Kawasan perhutanan sosial tidak luput pula dari objek tambang sebagaimana terdapat di petak 93 Bojong Pari dan Cimanintin dengan luas 96,11 hektare,” kata Wahyudin.