SUKABUMIUPDATE.com - Proyek agroforestry di Kampung wisata Citepus, Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, masih menuai protes dari sejumlah warga yang terdampak. Pasalnya, nilai atau besaran uang kerohiman yang diberikan untuk warga diduga tebang pilih.
Salahsatu warga yang protes ialah FN (42 tahun). Ia mengaku mendapat perlakuan tidak adil dalam proses pembagian uang ganti rugi untuk pembongkaran bangunan warungnya tersebut.
FN mengungkapkan bahwa dirinya hanya ditawarkan uang kerohiman sebesar Rp500 ribu. Menurutnya jumlah tersebut sangat tidak sebanding dengan kerugian yang dialaminya.
"Saya mau dikasih Rp 500 ribu tapi ditolak, yang memberikan itu ada pihak ormas, uangnya katanya untuk ganti rugi pembongkaran warung," ujar FN, yang mengaku berjualan selama 13 tahun di lokasi tersebut, Jumat (13/12/2024).
Baca Juga: Warga Citepus Menolak Digusur untuk Proyek Agroforestry, Ini Penjelasan Pemkab Sukabumi
Selain merasa dirugikan, FN juga mengaku mendapat ancaman pembongkaran paksa jika menolak menerima uang tersebut. Meskipun begitu, ia mengaku tidak khawatir dengan ancaman itu.
"Saya merasa diintimidasi juga karena mereka mengancam, karena kalau saya tidak menerima uang itu kalau suatu saat ada pembongkaran paksa warung ini, maka pihak kami tidak tanggung jawab, mereka bilang begitu," ucapnya.
"Kalau ini (warung) dibongkar paksa, saya akan ngomong enggak usah susah-susah dibongkar paksa, ini akan saya bakar, biar mereka tahu. Jadi lebih baik dibakar daripada dibongkar paksa," tambahnya.
Lebih lanjut, FN juga mendengar adanya ketimpangan dalam besaran jumlah uang kerohiman antara warga lainnya yang telah dibagikan.
"Yang saya dengar ada yang Rp 6 juta, Rp 3 juta, ada yang Rp 2,5 juta, ada yang Rp 17 juta, ada yang Rp 10 juta, ada yang Rp 8 juta ada yang Rp 22 juta. Mungkin mereka yang dekat sama tim tim itu saja, dapat beda, diduga seperti itu," kata dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Citepus, Koswara, membenarkan bahwa proses pembagian uang kerohiman masih menghadapi kendala. Ia menyebut sekitar 97 persen warga sudah menerima uang tersebut, namun masih ada ketidakpuasan akibat kesalahan perhitungan.
"Hasil pantauan di lapangan, progres penyaluran bantuan untuk warga yang menduduki lahan TWA sudah 97 persen. Sebagian besar warga telah menerima, tetapi ada sedikit kesalahan taksir atau perhitungan sehingga pembagiannya tidak merata," ujarnya.
Menurutnya, perbedaan jumlah uang kerohiman disebabkan oleh jenis dan kualitas bangunan yang terdampak. Pemilik kafe mendapatkan uang sebesar Rp 4 juta, sementara pemilik warung hanya menerima Rp 3 juta, dan pemilik bale hanya Rp 1 juta. Hal itu kemudian membuat warga yang terdampak sempat mendatangi balai desa Citepus.
"Warga datang ke desa untuk mediasi karena merasa ada perbedaan jumlah. Misalnya, kafe orang lain menerima Rp 4 juta, tetapi mereka hanya Rp 3,5 juta. Warung orang lain Rp 3 juta, sementara mereka hanya Rp 2 juta. Ini sudah dihimpun dan diusulkan kembali ke pengembang agar menjadi bahan pertimbangan," bebernya.
Koswara juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini, masih terdapat sekitar 17 warga di kampung Wisata Citepus yang belum menerima uang kerohiman.
"Penghuni di situ sekitar 260 lebih, dan sekarang tinggal 17 orang yang belum menerima. Mereka ini terdiri dari pemilik kafe, bale, dan MCK. Kami terus berupaya memediasi agar persoalan ini segera selesai," terangnya.
Menurutnya, status dari lahan tersebut merupakan milik dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) dan proyek yang diinisiasi Dinas Lingkungan Hidup ini dikerjasamakan dengan PT. Pasifik Budaya Pariwisata.
"Nantinya akan jadi Taman Wisata Agroforestry. Lahan yang akan di bangun Kurang lebih 8 Ha," imbuhnya.
Sebelumnya, aksi protes terkait proyek agroforesty ini sempat digelar oleh warga Kampung Wisata Citepus yang terdampak proyek di depan Gedung Pendopo, Palabuhanratu, Selasa 6 Agustus 2024 lalu.
Meskipun tidak menolak penggusuran, warga saat itu meminta adanya ganti rugi yang layak.