SUKABUMIUPDATE.com - Ibu Soed adalah seorang pemusik, guru musik, pencipta lagu anak-anak, penyiar radio, dramawan, dan seniman batik Indonesia. Lagu-lagu yang diciptakannya sangat terkenal di kalangan pendidikan Taman Kanak-Kanak. Menariknya, wanita bernama lengkap Saridjah Niung ini lahir di Kota Sukabumi pada 26 Maret 1908.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan orang tua Ibu Soed berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan, yang merantau sebagai pengusaha kapal nelayan di Jakarta. Ayahnya bernama H Mohamad Niung dan ibunya Saini. Selain usaha kapal nelayan, Mohamad Niung juga membuka usaha kerajinan tangan dari kayu, rotan, dan tempurung kelapa.
"Ayahnya berbadan tegap dan memiliki hubungan baik dengan orang-orang Belanda. Salah satu kenalannya adalah seorang jaksa tinggi (Vice President Hooggerechtshof) Kota Batavia, Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer. Kramer tertarik dengan sikap Niung yang tegas namun sopan sehingga dia menawarkannya untuk bekerja sebagai pengawal pribadi. Niung akhirnya menerima tawaran tersebut karena boleh membawa keluarganya yang saat itu sudah memiliki 11 anak," kata Irman kepada sukabumiupdate.com pada 20 November 2024.
Kramer yang merupakan Indo-Belanda karena ibunya seorang bangsawan Pakualaman, memiliki kegemaran musik dan melukis di sela pekerjaannya. Pada 1903, Kramer pensiun dan pindah ke kota berhawa sejuk yaitu Sukabumi. Istrinya telah meninggal dua tahun sebelumnya sehingga dia hanya tinggal bersama tiga anak perempuannya. Tidak lupa, Mohamad Niung dan keluarganya juga diajak dan tinggal di sekitar Bunut Sukabumi, tidak jauh dari kolam renang Prana saat ini. Rumah Kramer dan Mohamad Niung bersebelahan sehingga hubungan mereka sangat dekat.
Baca Juga: Ada Gereja Sidang Kristus, Tim Cagar Budaya Uji Tiga Objek Bersejarah di Kota Sukabumi
Dari ke-11 anak Mohamad Niung, ada beberapa yang meninggal sewaktu kecil. Istrinya lalu melahirkan dua anak, yaitu kakak Ibu Soed yang kemudian hari menikah dengan dokter Hamami dan tinggal di Jalan Gunung parang. Selanjutnya Ibu Soed. Alhasil, total anak Mohamad Niung menjadi 13 orang, terdiri dari tujuh perempuan dan enam laki-laki.
Melihat banyaknya anak yang harus diurus, Kramer berniat mengasuh putri bungsu Mohamad Niung dan mengangkatnya sebagai anak sehingga tinggal dalam keseharian bersama ketiga anak perempuannya. Namun pada malam tetap pulang dan tidur dengan orang tua kandungnya. Kramer melihat bakat seni Saridjah yang menyukai bunga-bungaan dan lingkungan yang indah.
Awalnya Saridjah atau Ibu Soed diberi ilmu rohani dengan bacaan kitab Injil. Pemberian kitab ini tidak dimaksudkan untuk mengkristenkan Saridjah karena Kramer hanya mengajarkan kebaikan-kebaikan yang ada di Injil. Terkait kepercayaan, Kramer menghormati Saridjah dan keluarganya yang menganut Islam dengan taat. Begitu pun soal budaya, Kramer malah meminta Saridjah untuk berpakaian tradisional seperti kebaya.
Kramer yang juga memiliki anak laki-laki yang sudah dewasa, selalu melindungi Saridjah yang sempat diperlakukan kurang menyenangkan oleh kedua anaknya yang terbiasa dalam pergaulan Eropa. Saat berlibur ke Sukabumi, mereka tidak mau makan satu meja dengan Saridjah karena menganggap kelas rendah.
Kramer yang juga menyukai musik dan melukis, sering memperdengarkan musik-musik klasik dan semi-klasik. Melihat Saridjah yang juga menyukai musik tersebut, Kramer membelikannya sebuah biola dan mengajarkan cara memainkannya. Pada usia lima tahun, Saridjah sudah pandai bermain biola dan cukup langka untuk anak usianya di Sukabumi.
"Kota Sukabumi mengalami modernisasi pasca-terbentuknya Gemeente, banyak bermunculan bangunan dan resor baru, termasuk kolam renang di belakang rumahnya (Prana) sehingga Sukabumi dikenal sebagai tempat peristirahatan. Selain itu, ada sekolah-sekolah nasional seperti sekolah polisi. Pada 1912, Saridjah dimasukkan ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) oleh Kramer. HIS merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan bumiputra di Hindia-Belanda agar dapat menempuh pendidikan di sekolah dasar kelas satu yakni sekolah yang juga digunakan oleh anak-anak keturunan Belanda," ujar Irman yang merupakan penulis buku Soekaboemi the Untold Story.
Di antara teman-teman Saridjah, ada yang orang Belanda dan bumiputra. Saridjah sendiri telah lancar berbahasa Belanda sejak kecil sehingga di sekolahnya cukup menonjol. Sayangnya, dia tidak menyukai pelajaran berhitung dan memiliki kesulitan. Tetapi hal ini tertutupi oleh nilainya yang sangat baik dalam hal seni, terutama seni musik. Guru berhitungnya bernama Muchlis juga sering membantu.
Hingga tujuh tahun di HIS Sukabumi, lanjut Irman, Saridjah terus naik kelas dengan nilai lumayan. Dia baik dalam seni sehingga menjadi langganan untuk tampil dalam perayaan-perayaan sekolah. Anak-anak lain pun menyukainya dan sering main ke rumahnya di Jalan Bunut, kemudian mereka berenang di kolam renang Prana atau di sungai kecil di sekitarnya.
"Saat itu air di Kota Sukabumi sangat jernih. Selesai berenang, biasanya mereka makan-makan di rumah Saridjah. Saridjah juga sering main ke rumah teman-temannya, baik untuk belajar maupun acara khusus seperti Jaareg (ulang tahun)," katanya.
Lokasi sekolahnya disebutkan oleh Ibu Soed adalah di Cikalang (Cipelang). Sekolah yang kemudian hari menjadi SD Benteng 1. Dugaan awal, sekolah tersebut berada di wilayah Kebonjati, namun ternyata dibantah oleh pernyataan Ibu Soed bahwa sekolahnya cukup jauh dan harus menggunakan delman untuk pulang dan pergi. Fakta terkait SD Benteng ini juga sempat terungkap oleh salah seorang guru yang pernah melihat buku siswa Stamboek yang mencantumkan Saridjah (Ibu Soed) sebagai murid di sana.
Pada usia 12 tahun, Saridjah lulus dari HIS, lalu melanjutkan sekolahnya ke Hollandsch Kweekschool (HKS) di Bandung. Perawakannya yang kecil sedikit mengkhawatirkan Kramer dan orang tuanya ketika melepas dia ke Bandung. Namun sikap Saridjah yang kuat akhirnya menenangkan mereka.
Setelah menamatkan di HKS Bandung, Ibu Soed menjadi guru musik di HIS Petojo, HIS Jalan Kartini, dan HIS Arjuna, yang masih menggunakan bahasa Belanda (mulai 1925 hingga 1941). Dia prihatin melihat anak-anak Indonesia yang tampak kurang gembira saat itu. Hal ini membuatnya berpikir untuk menyenangkan mereka dengan bernyanyi lagu ceria.
"Terdorong rasa patriotisnya, Saridjah ingin mengajar mereka untuk menyanyi dalam Bahasa Indonesia. Dari sinilah dia mulai menciptakan lagu-lagu yang bersifat ceria dan patriotik untuk anak-anak Indonesia. Bulan November 1925 Saridjah dipersunting Raden Bintang Soedibjo sehingga dia dikenal sebagai Ibu Soed," kata Irman.
Sebagai pemusik yang mahir memainkan biola, Ibu Soed turut mengiringi lagu Indonesia Raya bersama W.R. Supratman saat lagu itu pertama kali dikumandangkan dalam acara Sumpah Pemuda di Gedung Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Lagu-lagu patriotik yang diciptakannya diilhami peristiwa yang terjadi dalam acara bersejarah tersebut.
Selain Ibu Soed, ada Abu Hanifah yang hadir dalam peristiwa Sumpah pemuda itu. Abu Hanifah nantinya menjadi direktur Rumah Sakit Lidwina (Bunut) pada masa perjuangan dan turut berjuang sebagai ketua Laskar Hisbullah Sukabumi. Dari situ muncul lagu-lagu perjuangan yang diciptakan Ibu Soed, salah satunya adalah Tanah Airku yang muncul dari perasaan mendalam terhadap kehidupan bangsa ini. Lagu tersebut seolah jeritan hati nurani Ibu Soed untuk membangkitkan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Lagu Tanah Airku kemudian menjadi legenda dan sering dinyanyikan suporter Timnas Indonesia ketika selesai pertandingan sepak bola.