SUKABUMIUPDATE.com - Nama Ciletuh sudah tidak asing lagi bagi para wisatawan yang mengunjungi Kabupaten Sukabumi. Kawasan ini dikenal dengan keragaman hayati serta keindahan alamnya yang memukau, yang kini menjadi bagian dari Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, Sukabumi.
Namun, tahukah Anda bahwa Ciletuh sejatinya merujuk pada nama sebuah sungai kecil yang memiliki sejarah panjang? Mengenal asal-usul nama Ciletuh membuka sebuah kisah yang menarik, berakar dari sejarah, budaya, hingga kejadian alam yang melibatkan masyarakat lokal dan penjajah asing.
Seorang tokoh Pajampangan berusia 74 tahun, Ki Kamaludin, menceritakan bahwa nama Ciletuh berasal dari sebuah sungai kecil yang bersumber dari mata air di Hutan Hanjuang Barat, Kecamatan Waluran. Sungai ini mengalir melewati Kecamatan Ciemas, hingga akhirnya bermuara di Pantai Palangpang Desa Ciwaru dan Pantai Cikadal Desa Mandrajaya, di Muara Ciletuh.
Menurut Ki Kamaludin, asal usul nama "Ciletuh" berhubungan dengan ciri khas air sungainya yang keruh. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas penduduk setempat, yang sering melakukan kegiatan mendulang emas atau yang dikenal dengan istilah "ngadeplang". Karena banyaknya lumpur yang diambil dari sungai, kata "Ciletuh" berasal dari perubahan fonetik kata "Ciledug", yang dalam bahasa lokal mengacu pada air keruh atau ledug. Proses perubahan ini disebut sebagai metatesis, yakni perubahan posisi bunyi dalam sebuah kata yang menghasilkan bentuk kata baru.
Baca Juga: Sejarah Samen di Sukabumi: Slagen Voor Het Examen dan Tradisi Lama Eropa
Baca Juga: Asal Nama Kampung Sindangraja dan Cilutung di Cidolog Sukabumi
Ciletuh dalam Sejarah Belanda
Ki Kamaludin menjelaskan bahwa Ciletuh sudah dikenal sejak masa penjajahan Belanda, saat VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mulai melakukan pemetaan di wilayah pesisir selatan Jawa.
Pada tahun 1709, Gubernur Hindia Belanda, Abraham van Riebeeck, yang melakukan ekspedisi di sekitar kawasan ini, menemukan sebuah sauh (jangkar) dan perahu-perahu kecil atau jukung yang digunakan oleh masyarakat setempat di Pantai Palangpang, yang dikenal dengan nama Teluk Ciletuh atau Sanbaai.
Ciletuh juga terhubung dengan perkembangan pelabuhan di pesisir selatan Jawa, yang mulai berkembang sejak abad ke-19. Pada tahun 1835, seorang ahli pertanian asal Jerman bernama Yunghun ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan investasi dalam bidang pertanian dan pangan, termasuk penanggulangan padi.
Di sinilah Ciletuh mulai dikenal sebagai wilayah dengan penggilingan padi pertama yang memanfaatkan jalur darat yang sangat sulit dijangkau, melalui perkebunan Cigaru.
Di tahun 1910, pembangunan dermaga pertama dimulai, dan selama periode 1890 hingga 1923, kapal Speelman sering berlalu-lalang di jalur perairan ini, yang juga terkenal dengan kegiatan berburu banteng di Cikepuh, yang dulu dikenal sebagai Cibanteng.
Seiring berkembangnya ekonomi di sekitar Ciletuh, berbagai perusahaan perkebunan mulai tumbuh, seperti Perkebunan Ciemas, serta perusahaan kelapa sawit, tepung tapioka, karet, dan teh. Bahkan, ada rencana untuk membangun jalur kereta api yang menghubungkan Bandung dengan Ciletuh, melalui Pagelaran, Agrabinta, dan Cicurug. Namun, rencana tersebut tidak terlaksana karena berbagai alasan.
Selain itu, Ciletuh juga dikenal dengan potensi kekayaan alamnya, terutama di sektor pertambangan. Sebelum masa penjajahan Belanda, masyarakat lokal sudah mengenal potensi emas yang ada di sungai dan pegunungan sekitar Jampang. Ki Kamaludin merujuk pada lirik lagu Tembang Sunda Mamaos Cianjuran yang menggambarkan logam emas di lokasi tersebut, yakni "Putri nu Ngabengbreng Koneng", yang secara simbolis merujuk pada emas yang ditemukan di Ciletuh.
Kawasan Ciletuh kini dikenal sebagai destinasi wisata Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, yang merupakan salah satu geopark di Indonesia yang diakui oleh UNESCO. Keindahan alamnya yang terdiri dari pantai, air terjun, dan teluk-teluk menawan menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun, sejarah panjang yang dimiliki Ciletuh memberi dimensi lebih dalam bagi siapa saja yang mengunjunginya.
Dari sekadar nama sebuah sungai kecil yang keruh, Ciletuh kini telah menjadi salah satu ikon wisata yang kaya akan cerita sejarah, alam, dan budaya. Geopark Ciletuh-Palabuhanratu bukan hanya menjadi simbol keindahan alam, tetapi juga warisan sejarah yang menghubungkan generasi masa lalu dengan masa kini.
Dengan terus melestarikan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan lokal, Ciletuh bukan hanya akan dikenang sebagai nama sebuah tempat, tetapi juga sebagai salah satu kawasan yang menyimpan kisah perjuangan, perdagangan, dan perkembangan yang terjadi sejak zaman penjajahan hingga kini.