SUKABUMIUPDATE.com - Dua mata air di Kampung Salenggang, Desa Gunungsungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, menjadi andalan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama saat musim kemarau. Namun uniknya, beragam cerita rakyat dan mitos melengkapi keberadaan sumber air tersebut.
Kedua mata air itu berada di lahan seluas 1.000 meter milik Pemerintah Desa Gunungsungging. Lokasinya dekat jalan desa, berjarak sekitar 30 meter dari Tugu Bende Kabuyutan. Mata air ini tertutup bangunan permanen dan di dalamnya ada dua bak ukuran 3x2 meter untuk menampung air yang keluar dari tanah. Di tempat itu juga terdapat musala.
Kepala Desa Gunungsungging, Nanang, menungkapkan bahwa awalnya mata air ini memiliki empat nama yakni Sumur Kembar, Cai Kabuyutan, Sumur Taman Sari, dan Sumur Cai Kahuripan. Namun setelah para tokoh masyarakat bermusyawarah, akhirnya disetujui nama Cai Kahuripan untuk digunakan permanen sampai sekarang.
"Airnya dari mata air (lobang). Yang satu seukuran paha orang dewasa, sedangkan satu lagi lobang-lobang kecil atau rembesan. Airnya cukup jernih, bersih, dan bisa bertahan hingga tujuh bulan kemarau. Bahkan musim kemarau tahun ini, warga sekitar dan dari luar mengambil air ke sini," kata dia kepada sukabumiupdate.com, Rabu (30/10/2024).
Baca Juga: Cerita Prabu Siliwangi Gagal Kabur Lewat Tegalbuleud Sukabumi Karena Ombak Pasang
Menurut Nanang, semula, di sekitar sumber air ini hanya ditutupi daun kelapa sebagai penghalang bagi yang ingin mandi. Tetapi sejak 2010, pemerintah setempat menutupnya dengan bangunan, termasuk membuat bak, agar masyarakat nyaman beraktivitas di sana. Nanang mengakui banyak cerita yang berkembang soal mata air tersebut.
"Dulu anak-anak yang mau dikhitan, diarak dulu untuk dimandikan di Cai Kahuripan. Setelah dikhitan dimandikan lagi agar cepat sembuh. Bahkan mitosnya, (berguna) untuk yang jomblo, terpuruk dalam usaha, dan meminta agar berhasil dalam cita-citanya. Sempat ada anggota DPR RI, pada awal pertama dia mencalonkan, sesudah kampanye, menyempatkan mandi di sini dan sekarang terpilih kembali. Ada juga mantan Bupati Sukabumi yang pernah mandi," ujar dia.
Cerita lainnya datang dari sepuh zaman dulu. Mereka, kata Nanang, mengaku pernah melihat belut putih keluar dari mata air itu yang kemudian dipercaya sebagai penghuni Cai Kahuripan dan diberi nama Eyang Belut Putih. Hingga kini, masih banyak warga dari Pajampangan maupun luar daerah yang sengaja melakukan ritual seperti mandi pada malam hari.
"Biasanya mereka mandi tiga hingga tujuh kali, kecuali malam Sabtu, itu larangannya. Pengurus atau juru kunci Cai Kahuripan adalah Eli, seorang perempuan berusia sekitar 42 tahun. Bahkan yang mengurus tempat itu adalah dia. Dulu pernah ada pengusaha air mineral yang mau mengeksplorasi lokasi ini, dia tertarik karena kejernihan airnya. Sempat dicek menggunakan alat dan berniat untuk kerja sama, tapi atas kesepakatan bersama, kami menolaknya karena sumber air tersebut sangat dibutuhkan warga, apalagi ketika kemarau. InsyaAllah ke depannya akan ada penataan, baik di sekitar lokasi maupun di dalam bangunan. Bisa juga nantinya menggunakan keran karena sekarang yang mandi langsung mengambil air dari bak. Selain untuk kebutuhan mandi, juga untuk pengairan lahan pertanian," kata Nanang.