SUKABUMIUPDATE.com - Pembebasan lahan disepanjang pesisir Sukabumi Selatan pada tahun 1988, oleh pengusaha bernama Harry Cader, dengan mengusung program pemerintah Agrowisata terpadu mulai dari Kecamatan Tegalbuleud, Kecamatan Cibitung, Kecamatan Surade, hingga Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi.
Sekdes Tegalbuleud, Romansyah mengungkapkan pada tahun 1987/1988 pertama kali Harry Cader melakukan pembelian lahan milik warga. "Harry Cader Group melakukan pembebasan lahan sebanyak 2 kali. Pertama tahun 1988 atas nama PT. Bumi Lestari Abadi ( BLA), yang kedua tahun 1995 atas nama PT. Mutiara Bumi Parahyangan (MBP). Pembelian tahun 1988 seluas 172 hektar, pembelian tahun 1995, seluas 368 hektar, "ucap Romansyah kepada sukabumiupdate.com, Kamis (19/9/2024).
Kata Romansyah, pada saat itu pembebasan lahan direncanakan untuk agrowisata yang merupakan program pemerintah Presiden Soeharto, berupa pembangunan tambak udang, kawasan hijau, jalan kereta, hingga bandar udara. Lahan pembebasan sepanjang pesisir pantai Sukabumi Selatan dari Tegalbuleud, Cibitung, Surade, hingga Kecamatan Ciracap. "Namun Presiden Soeharto lengser, sehingga tidak terwujud, begitu juga dengan Harry Cader meninggal dunia bulan September 2019, di vilanya Muara Cikaso Desa Buniasih," ucapnya.
Baca Juga: Dibeli Murah hingga Intimidasi, Warga Ungkit Soal Tanah Harry Cader di Tegalbuleud Sukabumi
Terkait dengan PBB, Romansyah menyebut sejak tahun 2020 pihak PT Mutiara Bumi Parahyangan (MBP), yang telah berubah nama menjadi PT. Mactri Inti, sudah tidak membayar pajak bumi dan bangunan. Sedangkan PT. BLA, masih membayar pajak tetapi objek pajaknya tidak sesuai. "Pembebasan lahan saat itu, memang dari cerita orangtua dulu, mereka tidak bisa berbuat apa apa. Adanya intimidasi, hingga disebut terlibat PKI, kalau tidak memberikan lahannya," tuturnya.
"Yang mengelola hingga saat ini memang masyarakat. Cuma tidak bisa memiliki saja," terangnya.
Kepala Desa Buniasih, Badrudin membenarkan adanya pembebasan lahan oleh Harry Cader, luas di Desa Buniasih sekitar 77 hektar, dijadikan 2 SPPT. "Kami memang pernah mempertanyakan sertifikat kepemilikan lahan milik warga ke perusahaan, namun perusahaan juga tidak tahu dimana adanya sertifikat itu," tuturnya.
"Betul, lahan saat ini digarap sama warga. Untuk pajak dibayar sama perusahaan," pungkasnya.