SUKABUMIUPDATE.com - Istilah Raja Jawa yang diucapkan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat berpidato pada agenda Musyawarah Nasional XI Partai Golkar di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024, menimbulkan sorotan.
Pernyataan itu menunjukkan pengakuan dan penghambaan terhadap orang tertentu yang disebut raja oleh Bahlil. Meski tak ada penjelasan lebih lanjut, namun sosok Raja Jawa ini diduga kuat mengarah kepada Presiden Jokowi. Figur Jokowi dinilai sangat mendominasi situasi politik, seperti raja di negara yang kini bersistem republik.
Di sisi lain, gonjang-ganjing soal Raja Jawa juga bukan hal baru dalam catatan sejarah Sukabumi. Pada masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), wilayah ini mengalami beberapa kali kejadian yang berkaitan dengan sikap dan kebijakan sang raja.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengungkapkan salah satu dari dua kejadian ini adalah ketika Sultan Agung, Raja Mataram, gagal menyerang VOC pada 1628. Banyak pelarian pasukan Mataram yang masuk ke wilayah Sukabumi karena diancam hukuman mati apabila kembali dengan kekalahan atas VOC.
Latar peristiwanya, pasca-VOC bercokol di Batavia, Kesultanan Mataram mencoba melakukan penyerangan ke lokasi tersebut, salah satunya menggunakan pasukan Dipati Ukur. Irman menyebut dua kali penyerangan menghasilkan kegagalan sehingga pasukan ini diancam dengan hukuman pancung jika kembali dengan kegagalan.
Baca Juga: Sepak Bola dan Paris dalam Ikatan Sejarah Keluarga Mundt di Sukabumi
"Sebagian pasukan Dipati Ukur kemudian melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Salah satunya adalah kepala sunda bernama Dipati Ukur, yang menurut F. de Haan, telah memberontak terhadap Raja Jawa tersebut dan lalu bersembunyi dengan para pengikutnya di Palabuhanratu, Sukabumi," kata dia kepada sukabumiupdate.com, Senin (26/8/2024).
Sisa pasukan Dipati Ukur ini awalnya melarikan diri ke Banten dan diterima pangeran Banten. Namun mereka selanjutnya bermukim di Palabuhanratu. Nicolaas Johannes Krom dalam buku "Rapporten Van Den Oudheidkundigen Dienst In Nederlandsch-Indie (1914)", menyebut bahwa setelah berpindah-pindah dan terdesak, pasukan itu berhasil ditangkap. Dipati Ukur dibawa kembali ke Mataram dan dihukum mati oleh orang-orang sunda sendiri pada 1632.
Selain menjadi tempat pelarian pasukan Kesultanan Mataram, Sukabumi juga menjadi jajahan VOC karena ulah Raja Jawa saat VOC berhasil merebut Batavia dari tangan Banten. Secara pelan-pelan mereka mulai menguasai wilayah-wilayah sekitar, termasuk Priangan melalui kompensasi bantuan militer. Salah satu contohnya adalah perjanjian penyerahan wilayah selatan Gunung Gede yang dibuat pada 25 Februari 1677 dan 19 atau 20 Oktober 1677.
Kesultanan Mataram Mataram lewat Amangkurat II menyerahkan pengelolaan wilayah itu kepada VOC sehingga membuat Sukabumi di bawah kekuasaan Belanda dan dimasukkan dalam Batavia Ommelanden atas imbalan penumpasan pasukan Trunojoyo. Ketika Sukabumi dikuasai Eropa, secara umum memang tidak ada hubungan langsung dengan Raja Jawa.
"Namun pada 1922, sempat terjadi kunjungan Raja Jawa yaitu Pakubuwono X atau Pakubuwana X (Susuhunan Kesunanan Surakarta) yang dijuluki kaisar Jawa. Pakubuwono X menjadi fenomena karena dicurigai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin memperluas pengaruhnya di luar wilayah kekuasaannya saat itu," ujar Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare.
Muncul beberapa tuduhan terhadap Pakubuwono X terkait aktivitas politiknya yang cenderung mendukung Jerman dalam Perang Dunia I. Kemudian perjalanan keluar daerah yang sangat sering dilakukan dan mendapat simpati publik mulai menjadi hal menakutkan bagi pemerintah. Perjalanannya yang sering bersifat inkognito, dianggap dapat membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat. Tetapi uniknya, kunjungan ke Sukabumi yang diikuti banyak pembantunya, ternyata bukan tujuan politis, namun wisata dan kuliner.
Kunjungan Pakubuwono X ke Sukabumi terjadi pada 23 hingga 25 September 1922, didampingi abdi dalem dan istri keduanya bernama GKR Hemas (GBRA Mursudarinah). Terlihat, mobil yang dia koleksi turut dibawa, setelah kunjungan sebelumnya ke Buitenzorg yakni pada 22 September1922.
Pakubuwono X menginap di hotel Selabatu dan menikmati tiga hari kunjungannya dengan membawa 52 rombongan. Mereka tiba hari Jumat siang di hotel dan disambut oleh pensiunan asisten residen van den Bosch serta istrinya yang merupakan kenalan lama sang raja. Bupati Sukabumi dan istrinya ikut menyambut serta beberapa anggota dewan kota karena saat itu telah terbentuk Gemeente Sukabumi, meski belum ada wali kota.
"Mereka mengadakan jamuan makan dan keliling hotel melihat-lihat ruangana hotel, di antaranya ruangan biliar. Staf Pakubuwono X membagi-bagikan kain ke staf hotel yang kebanyakan orang sunda. Selepas itu sang raja beristirahat."
Pada hari kedua, sang Raja Jawa ini melakukan tamasya keliling kota, melihat-lihat suasana Sukabumi. Salah satu yang menarik adalah kunjungannya ke schuttevaer, toko cokelat di Sukabumi yang sudah terkenal ke beberapa daerah karena kelezatannya. Para pengunjung sering membandingkannya dengan De Grimms di Surabaya. Toko schuttevaer kini menjadi kantor Bank Mandiri di Jalan Ahmad Yani Kota Sukabumi.
Selanjutnya, malam hari, sang raja bertemu asisten residen dan melakukan pembicaraan ringan. Hari ketiga, Pakubuwono X bersantai di hotel Salabintana hingga saat jamuan makan siang. Tidak ada kegiatan penting dan hanya menikmati suasana Salabintana yang sejuk. Namun malam harinya sang raja bertemu Bupati Sukabumi Suria Natalegawa yang baru dilantik setahun. Sebelumnya, Suria sempat menjadi wedana Palabuhanratu dan dikenal sebagai pemimpin yang berhasil.
"Setelah puas berkunjung, besok paginya rombongan Raja Jawa itu meninggalkan Sukabumi menuju Sindanglaya dan Bandung," kata Irman.