SUKABUMIUPDATE.com - Mahasiswa Sukabumi dengan tegas menolak politik dinasti Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam beberapa waktu terakhir dengan terang dipertontonkan. Hal terbaru yang membuat publik marah adalah rencana elite politik DPR RI sebagai kaki tangan Jokowi berusaha mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
RUU Pilkada yang dibahas DPR RI mengikuti Putusan Mahkamah Agung (MA) yakni terkait batas usia 30 tahun untuk calon gubernur saat pelantikan kepala daerah terpilih. Ini diduga menjadi karpet merah untuk anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, bisa maju di pilkada. Padahal dalam putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, ditetapkan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon.
Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi Raya Aris Gunawan menilai RUU Pilkada merusak demokrasi dan aturan hukum. Sebab seharusnya, kata dia, lembaga legislatif merujuk kepada hasil putusan MK. "Pembajakan konstitusi ini diduga untuk memuluskan kepentingan anak bungsu Jokowi yang ingin melanggengkan politik dinasti," kata dia kepada sukabumiupdate.com, Jumat (23/8/2024).
Baca Juga: Ada 8 Tuntutan! 23 Agustus Mahasiswa Sukabumi Kepung DPRD, Kumpul di Lapang Merdeka
Anggapan politik dinasti semakin menguat karena Jokowi juga telah berhasil mengantarkan anak pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Prabowo Subianto, dalam Pemilu 2024 lalu.
Aris menegaskan negara Indonesia bukan milik satu keluarga, melainkan seluruh rakyat. Oleh karena itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus yang tergabung dalam kelompok Cipayung Plus akan melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Kota Sukabumi pada Jumat ini. Aksi tersebut adalah bukti suara kemarahan mahasiswa terhadap politik kotor Jokowi.
Adapun titik kumpul aksi adalah di Lapang Merdeka. Selanjutnya ke Jalan Surya Kencana, lalu belok kanan menuju Balai Kota Sukabumi, kemudian masuk ke Jalan Ir H Juanda yakni lokasi gedung DPRD Kota Sukabumi. Aksi akan dimulai sekira pukul 13.00 WIB.
Selain GMNI, organisasi lain yang turun adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Asal Sukabumi (HIMASI), dan Himpunan Mahasiswa PERSIS. Aksi yang akan diikuti banyak peserta ini merupakan hasil konsolidasi darurat pada Kamis, 22 Agustus 2024.
"Kami sepakat akan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Kami juga akan mengabarkan bahwa hari ini negara kita diobrak-abrik oleh lingkaran elite kekuasaan yang tidak pro-terhadap kepentingan rakyat,” ujar Aris.
Meski DPR RI batal mengesahkan RUU Pilkada karena mendapatkan protes keras dari berbagai kelompok dan peserta sidang tidak lengkap, Aris meminta masyarakat tetap tidak terlena. Hal serupa diungkapkan Ketua KAMMI Daerah Sukabumi Riki Achmad Saepulloh. Menurutnya, aksi kali ini juga terbuka untuk umum sehingga pihaknya mengajak seluruh lapisan ikut terlibat dan memastikan keadilan berada di tangan rakyat.
Politik Kotor Dinasti Jokowi
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan dua putusan pada 20 Agustus 2024 yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah, menjadi berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Ada empat klasifikasi besaran suara sah berdasarkan putusan MK, yaitu 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen, dan 6,5 persen, sesuai besaran DPT di daerah terkait.
Tetapi, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah berupaya mengakali Putusan MK. DPR memang memasukkan syarat ambang batas di dalam Pasal 40 draf RUU Pilkada. Namun, panitia kerja DPR RI menyepakati penurunan syarat ambang batas pilkada hanya berlaku bagi partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD.
Dalam draf RUU Pilkada, partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas pilkada. Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Sementara lewat Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK memutuskan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon.
Alih-alih mematuhi Putusan MK, DPR justru memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan MA menyebutkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.
Putusan MA menimbulkan polemik karena dianggap menjadi karpet merah untuk Kaesang Pangarep maju di pilkada. Saat ini usia Kaesang 29 tahun. Dia akan genap berusia 30 tahun pada Desember 2024 atau empat bulan setelah masa pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka. Menerapkan Putusan MA sama saja membuka peluang bagi Kaesang untuk diusung sebagai calon gubernur/wakil gubernur atau kepala daerah.
Dalam draf RUU yang disetujui DPR RI, berbunyi usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota, terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Ketentuan ini memberi kesempatan terbuka bagi politik kotor dinasti Jokowi.