SUKABUMIUPDATE.com - Tujuh puluh sembilan tahun lalu, menjelang proklamasi, suasana Sukabumi sedikit tegang, sama seperti wilayah lain, terutama Jakarta. Dua isu besar berkembang sejak akhir 1944: Janji kemerdekaan dan kekalahan Jepang. Keduanya berkaitan, Jepang mulai mengalami kekalahan dan bangsa Indonesia berharap kemerdekaan segera.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan di Sukabumi ada beberapa tokoh nasional dan lokal yang terus mendorong kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Gatot Mangkupraja, yang meski tinggal di Cianjur, namun banyak bergerak di wilayah Sukabumi. Lalu Ramadhan Karta Hadimaja, Asikin, Said Soekanto, Dr Abu Hanifah, dan Mr Syamsudin.
Ada juga beberapa tokoh lokal dari unsur pemuda seperti Edeng Abdullah, M Oting, dan Djakaria. Kemudian figur militer yakni Edi Sukari dan Acun Basjuni. Maupun kalangan ulama yaitu KH Ahmad Sanusi yang terus memantau berita-berita dari luar.
Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" menuturkan, secara militer, Jepang memiliki persoalan besar. Beberapa pertahanannya di Pasifik berhasil dikuasai sekutu. Tak hanya itu, pertahanannya di Sukabumi pun mulai kecolongan. Kapal Selam K XV milik Belanda melakukan patroli dan pengintaian sejak 24 Februari 1945, berusaha melakukan infiltrasi ke wilayah Sukabumi dengan merapat di Palabuhanratu pada 5 dan 7 Maret 1945.
"Meski dua kali gagal mendaratkan pasukan NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service), namun longgarnya pertahanan Jepang menunjukkan tanda-tanda akan kalahnya pasukan mereka," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.
Di dalam negeri, tentara Pembela Tanah Air (PETA), mulai berani melakukan penyerangan ke gudang senjata Jepang dan membunuh beberapa tentara mereka di Blitar. Bahkan, serangan kedua terhadap Jepang justru terjadi di Sukabumi. Walaupun bisa ditumpas, tetapi ini menjadi bukti kemuduran kekuatan Jepang, di luar dan di dalam wilayah kekuasaannya.
Baca Juga: Ada Gereja Sidang Kristus, Tim Cagar Budaya Uji Tiga Objek Bersejarah di Kota Sukabumi
Adapun soal serangan di Sukabumi, Irman menyebut peristiwa ini diawali saat Gatot Mangkupraja, penggagas pembentukan PETA, mendapat informasi kekalahan Jepang dari Wikana--aktivis yang nantinya terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Wikana mengatakan kepada Gatot, situasi perang sudah berubah. Jepang mengalami kekalahan di mana-mana. "Informasi itu kemudian disebarluaskan oleh Gatot dalam kunjungannya ke Jampangkulon, Palabuhanratu, Angkola, Patrol, dan Pasir Kalapa."
Dalam tulisan Gatot berjudul "The Peta and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno's Autobioghrapy", informasi itu memicu jiwa perlawanan seorang guru yang sudah dilatih kemiliteran bernama Cece Subrata. Dia kemudian menyerang beberapa fasilitas dan bentrokan pun tak terhindarkan, terutama di sekitar markas PETA. Namun, Cece akhirnya ditangkap, dan baru dikeluarkan pasca-proklamasi oleh Eddie Sukardi.
Sementara itu, para pemimpin di Jakarta terus melakukan diplomasi kemerdekaan melalui pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sejak Maret 1945, dan terus menguatkan organisasi serta persiapan undang-undang hingga Juni 1945. Tetapi, golongan pemuda tidak mau menunggu hadiah kemerdekaan dari Jepang.
Irman berujar, dalam buku "Hari-hari Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945", terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, digelar kongres angkatan muda seluruh Jawa di Bandung, pada 16 hingga 18 Mei 1945. Agenda ini dihadiri 100 pemuda dan mahasiswa.
Sebagai realisasi hasil kongres, mereka mengirimkan tim ke Sukabumi, di mana saat itu Bung Karno sedang beristirahat, dan membuat rekomendasi kepada Bung Karno untuk segera memerdekakan Indonesia. "Para tokoh militer juga sebenarnya mendukung ini, apalagi kekalahan-kekalahan Jepang tersiar di antara mereka saat pertemuan Kyoku Divisi 3 bulan April 1945 yang dihadiri para syodanco dari beberapa daerah, termasuk sukabumi."
Bung Hatta Bicara Menu Makanan
Di luar negeri, pemerintah Belanda melakukan propaganda, memanfaatkan kesempatan untuk mengembalikan kekuasaannya di Hindia-Belanda. Berita-berita koran terus memaparkan kerinduan akan kebebasan Hindia-Belanda dan keemasan di bawah kerajaan Belanda.
Dalam propagandanya, Belanda sering menggunakan Sukabumi sebagai gambaran wilayah yang disebut beriklim sejuk dan nyaman, di mana ribuan rekan sebangsa hidup dalam kehidupan yang bahagia, rukun, dan harus dibebaskan.
"Narasi-narasi terus dibangun guna membangkitkan semangat merebut kembali Hindia-Belanda dan membebaskan saudara sebangsanya dari cengkeraman Jepang. Terkait kemerdekaan pun menjadi janji yang diulang-ulang di media, meski dalam versi kekuasaan Belanda," kata Irman.
Perang masih berlangsung secara tidak berimbang, hingga pada Juli 1945 Deklarasi Potsdam meminta Jepang menyerah, namun tentara Jepang terus melakukan perlawanan di mana-mana terhadap sekutu.
Menyerahnya Jepang secara resmi ditandai dengan dibomnya dua kota: Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Kehancuran masif akibat bom ini membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.
Peristiwa pemboman itu tidak tersebar secara luas. Rosihan Anwar, saksi mata yang berada di Sukabumi sejak 7 Agustus 1945 untuk berobat malaria, menyatakan tidak ada informasi apa pun yang dia dengar soal menyerahnya Jepang.
Rosihan yang merupakan wartawan Asia Raya, kata Irman, menemui temannya di Sukabumi yaitu Dr Abu Hanifah, kakaknya Usmar Ismail, yang seorang direktur Rumah Sakit Gemente (RSUD Syamsudin SH sekarang) dan tinggal di rumahnya hingga 17 Agustus 1945.
Terdapat kemungkinan, tokoh Sukabumi mengetahui pemboman dan menyerahnya Jepang pada sekutu. Sebab di buku "Sukarni dalam Kenangan Teman-Temannya", Sumono Mustoffa menyebut pada malam 14 Agustus 1945 terjadi pertemuan di rumah Sukarni di Jalan Fort De Kock, Jakarta. Pertemuan itu diikuti seorang opsir PETA bersenjata dari Sukabumi yang namanya tidak teridentifikasi.
"Pertemuan itu juga dihadiri angkatan muda seluruh Jawa, pelaut dari Tanjung Priok, Pemuda Menteng 31, dan Tan Malaka yang menyamar. Pertemuan ini membahas tentang keinginan untuk segera merebut kekuasaan," ujar Irman.
Selain itu, tokoh Sukabumi yang sering memantau radio luar negeri tentu mengetahui kekalahan Jepang. Sebab, pada 15 Agustus 1945, secara resmi Kaisar Jepang Hirohito mengumumkan melalui radio bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu. Pengumuman penyerahan tanpa syarat kepada sekutu itu diulang Presiden Amerika Serikat, Harry S Truman, dan didengar para pemimpin pergerakan di Indonesia.
Namun secara formal, tokoh pergerakan Sukabumi baru mendapat konfirmasi mengenai kekalahan Jepang dari pertemuan petinggi PETA di Bogor pada 15 Agustus 1945, yang salah satunya dihadiri perwira PETA Sukabumi. Informasi dari pertemuan tersebut sangat jelas dinyatakan perwira Jepang sambil menangis bahwa negaranya sudah menyerah. Kabar ini lalu disebarkan Artinah Syamsudin, istri Wali Kota Syamsudin, keesokan harinya, kepada sahabat-sahabatnya di Sukabumi.
Sementara di Jakarta, karena tidak ada kejelasan soal perebutan kekuasaan, akhirnya Bung Karno diculik dan didesak para pemuda untuk membacakan proklamasi kemerdekaan. Awalnya, beberapa pemimpin seperti Achmad Soebardjo mengira Bung Karno dibuang ke Salabintana Sukabumi, namun ternyata dibawa ke Rengasdengklok.
Proklamasi akhirnya dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pukul 20.00 waktu Tokyo atau pukul 10.00 WIB. Teks proklamasi dibacakan Bung Karno, didampingi Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Informasi proklamasi tidak menyebar secepat sekarang, meski desas-desus sudah muncul ke beberapa daerah, termasuk Sukabumi.
"Para pemimpin di Bandung langsung mengirimkan R Jerman Prawirawinata ke Jakarta untuk meyakinkan kebenaran informasi itu," kata Irman.
Sekira pukul 11.15 WIB, berita proklamasi diterima kantor berita Domei Bandung. Teks proklamasi kemudian disalin dengan huruf-huruf besar dan ditempelkan pada papan tulis di kantor Domei di Jalan Dago, Bandung. Bupati Suriasaputra juga memerintahkan melalui telepon agar menyebarluaskan berita tersebut ke seluruh Jawa Barat.
Wali Kota Sukabumi Mr Syamsudin dimungkinkan sudah mengetahui proklamasi tersebut secara utuh. Sebab, pada 17 Agustus 1945, seluruh staf pegawai Kota Sukabumi yang dipimpin oleh Mr Syamsudin dan Eddy Djajakomara berkumpul di lapangan Sukabumi. Menurut keterangan Eddy, mereka mendengarkan pidato Bung Karno yang menjelaskan tentang proklamasi kemerdekaan.
Eddy saat itu adalah fukukan (Wakil Komandan) Keibodan di Sukabumi Shi (Kota Sukabumi). Sementara itu, Gatot Mangkupraja baru menerima informasi proklamasi pukul 12.00 WIB dan stensilannya baru diterima tanggal 18 Agustus 1945.
Di sisi lain, para pemuda melalui Edeng Abdullah dan Djakaria mengonfirmasikan peristiwa ini ke Jakarta. Mereka selanjutnya mendapat perintah khusus dari Maruto Bitimiharja untuk melaksanakan proses pengambilalihan pemerintahan di Sukabumi dari tentara Jepang.
Edeng yang merupakan tokoh Partai Nasional Indonesia lokal menyebarluaskan informasi itu kepada para pejuang Sukabumi yang berkumpul di Jalan Cikiray Nomor 10B.
Dikutip dari wawancara Herry Wiryono tahun 1977, kata Irman, para pejuang di Sukabumi di antaranya bernama M Muchtar dan Subarna (Komandan Batalyon Tentara Pelajar Sukabumi) mengungkapkan informasi proklamasi tersebar dari mulut ke mulut dan disambut dengan menempelkan bendera merah putih di rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung.
"Bahkan ada yang melakukan selametan dan mengucapkan doa dengan dipimpin ulama setempat. Rasa syukur diungkapkan atas nikmat kemerdekaan yang diberikan Allah SWT."