SUKABUMIUPDATE.com - Sejumlah masyarakat dari Desa Citepus menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Pendopo Kabupaten Sukabumi yang berlokasi di Jalan Siliwangi, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, pada Selasa (6/8/2024).
Aksi tersebut merupakan bentuk protes warga Citepus menolak rencana rekonstruksi atau penggusuran yang akan menertibkan area tempat tinggal mereka untuk dijadikan proyek agroforestry. Mereka berpendapat bahwa penggusuran tersebut akan merugikan masyarakat setempat yang sudah lama bermukim di wilayah tersebut.
"Ini adalah bentuk protes kami yang mana sudah ada statemen dari kepala DLH (Prasetyo) bahwa relokasi tersebut tidak ada ganti rugi, itu kan tidak manusiawi," kata seorang perwakilan warga, Hari Hermawan kepada sukabumiupdate.com.
Hari menjelaskan jika bener terjadi di lakukan penggusuran oleh pemerintah, masyarakat sekitar kebingunan untuk tinggal dimana, sebab tempat tersebut merupakan satu satunya milik warga.
"Kalau (direlokasi) kita juga gak tahu dimana tempat tinggal yang layaknya dimana tempat usaha yang layaknya. Sampai kapan pun kita akan terus melakukan aksi walaupun harus berlama lama kalau tidak ada tindak lanjut," ujar Hari
Baca Juga: Lahan Kritis di Jabar Capai 911 Hektar, Lina Minta Pemprov Percepat Program Agroforestry
"Karena ini menyangkut hajat hidup, orang banyak, bukan saya saja tapi disana ada sebuah keluarga yang punya anak cucu yang sudah 30 tahun, gak punya rumah tapi mau diusir begitu saja kan gak logis, gak masuk diakal dan tidak punya hati nurani," jelasnya.
Hari mengungkapkan bahwa terdapat salah satu Oknum ASN yang menjajikan akan memberi uang 10 juta kepada masyarakat, akan tetapi informasi yang di dapatkan olehnya dari kepala dinas lingkungan hidup (DLH) Prasetyo tidak terdapat adanya uang ganti rugi.
"Ada oknum dari ASN yang mengatakan ada kerohiman sekitar 10 juta. Ini masih ditelusuri, jabatannya seperti apa. Tetapi kepala dinas di sini mengatakan tidak ada dana kerohiman. Mereka tidak mengeluarkan dana kerohiman, itu yang mengeluarkan investor. Nah, investor ini mau gak mengeluarkan dana? Kalau tidak mau, kenapa pemerintah saja yang tidak mengeluarkan dana kerohiman? Mereka kan bapak kita," jelas Hari.
Hari menilai bahwa jika tanah tersebut memang ilegal, seharusnya dari dulu sudah terdapat ada larangan untuk mendirikan bangunan dari area tersebut.
"Kalau itu ilegal se harusnya dari awal, itu di plang tidak boleh ditinggali, tidak boleh ada bangunan tegak disana, itu dari awal kalau tidak boleh ditinggali, inikan semacam alibi mereka mengatakan itu ilegal. Pemda dan investor seolah olah semena mena, saya raya kalau tidak ada investor yang sudah dikontrak oleh DLH atau BKSDA Jabar itu kemungkinan tidak terjadi," ucapnya.
"Kalau mau tahu, kita setor parkiran puluhan juta setahun, tiga kali ke BKSDA. Artinya ada kontribusi. Saya tanya ke perangkat hukum yang paham, tidak ada yang namanya harus setor ke DLH. Mereka menampis, itu setor ke kas daerah. Nah, parkiran ketika ramai di pinggir pantai itu sampai puluhan juta. Makanya kalau mereka ini alasan mereka retribusi atau PAD, itu kan sudah ada PAD," tambah Hari.
Baca Juga: Pemkab Sukabumi Canangkan Penanaman Sejuta Pohon di HCS 2024
Sementara itu, Ahmad Samsul Bahri, Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik Kabupaten Sukabumi, mengatakan bahwa di area tersebut Pemda akan membangun objek wisata agroforestry.
Setelah jadi pembangunan, kata Ahmad, pihaknya juga akan masyarakat sekitar salah satunya bisa berjalan di lokasi tersebut.
"Sebenarnya untuk Pemda kabupaten Sukabumi juga berharap dalam pembangunan apapun meminimalisir dampak-dampak negatif (seperti aksi demo). Ketika kita (Pemda) ada pihak ketiga yang ingin mengembangkan wisata, diwilayah kabupaten Sukabumi welcome," ucapnya.
"Sepengetahuan saya bahwa disitu akan ada kegiatan agroforestry semacam wisata hutan yang tetap ada unsur pedagang atau masyarakat yang masih tetap diberikan untuk berusaha di lokasi tersebut," ungkapnya.