SUKABUMIUPDATE.com - Dalam dua tahun terakhir, sejumlah sekolah swasta di berbagai wilayah Jawa Barat, termasuk Kabupaten Sukabumi, mengalami penurunan jumlah siswa yang cukup signifikan.
Menurut informasi yang dihimpun dari para kepala sekolah swasta di Kabupaten Sukabumi, jumlah siswa menurun antara 20 hingga 50 persen, terutama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Ketua MKKS SMK Kabupaten Sukabumi, Andriyana, mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan penurunan minat masyarakat untuk bersekolah di sekolah swasta, khususnya SMK. Salah satu faktor utama adalah adanya program pemerintah yang memberikan biaya gratis bagi siswa yang bersekolah di sekolah negeri hingga tingkat SMA.
"Program pemerintah yang memberikan biaya gratis bagi siswa yang bersekolah di sekolah negeri merupakan program yang baik dan perlu didukung oleh masyarakat. Namun, pemerataan bantuan seharusnya mencakup semua siswa, baik yang bersekolah di sekolah negeri maupun swasta," ujar Andriyana, Jumat (2/8/2024).
Menurut Andriyana, di Kabupaten Sukabumi terdapat sekitar 167 sekolah SMK, yang terdiri dari 11 sekolah negeri dan 156 sekolah swasta. Andriyana menekankan bahwa tanpa sekolah swasta, masyarakat di 47 kecamatan di Kabupaten Sukabumi akan kesulitan mendapatkan akses pendidikan dengan hanya 11 sekolah negeri.
"Salah satu perbedaan mencolok adalah perbedaan dana BOPD untuk sekolah negeri dan BPMU untuk sekolah swasta, yang nilainya cukup jauh berbeda," jelasnya. Andriyana mengungkapkan bahwa dalam dua tahun terakhir, sekolah negeri menerima dana sekitar 120 hingga 150 ribu rupiah per siswa setiap bulan, sementara sekolah swasta hanya menerima sekitar 600 hingga 700 ribu rupiah per tahun.
Baca Juga: 40 Kata-kata Motivasi untuk Anak Sekolah Agar Semangat Dalam Belajar
Sebagian besar orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas, sedangkan yang menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta sebagian besar berasal dari golongan menengah ke bawah. Andriyana berpendapat bahwa pemerintah seharusnya mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang bersekolah untuk menentukan bantuan yang diberikan agar terjadi pemerataan bagi peserta didik di sekolah negeri maupun swasta.
"Oleh karena itu, pemerintah provinsi Jawa Barat dan pemangku kebijakan perlu mengkaji berbagai aspek untuk meningkatkan bantuan bagi sekolah swasta agar tidak ada kesan 'dianaktirikan', padahal sama-sama mencerdaskan anak bangsa," lanjutnya.
Selain itu, Andriyana menjelaskan bahwa penurunan jumlah siswa juga dipengaruhi oleh keberadaan SMA Terbuka (SMATER) yang semakin banyak. Program ini diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 74 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan SMA Terbuka, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan dan memfasilitasi anak yang putus sekolah.
"Meskipun niatan dari Pergub ini sangat baik, perlu evaluasi menyeluruh dan komprehensif terkait pelaksanaan dan implementasinya. Contohnya, kuota peserta didik SMA Terbuka minimal 20 orang dan maksimal sejumlah rombongan belajar kelas 10 reguler di sekolah induk. Namun, di lapangan banyak sekolah yang menerima peserta didik melebihi jumlah yang ditetapkan," terangnya.
Andriyana menegaskan bahwa proses pembelajaran dengan modus tunggal atau ganda cukup sulit diimplementasikan, sehingga kualitasnya diragukan. Pengawasan dari pihak terkait sangat dibutuhkan agar tidak muncul opini bahwa SMATER dibuka semata-mata untuk mengejar dana BOSP dari pusat maupun BOPD atau BPMU dari pemerintah provinsi.
"Evaluasi ini penting untuk menghilangkan stigma bahwa sekolah sekarang sangat mudah, cukup bekerja dan menunggu tiga tahun untuk mendapatkan ijazah dari sekolah negeri. Hal ini dapat mendegradasi kualitas sekolah negeri dan anak-anak yang bersekolah secara reguler," ucapnya.
Andriyana berharap bahwa seluruh kebijakan pemerintah benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan pendidikan di Jawa Barat serta Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.