SUKABUMIUPDATE.com - Gereja Sidang Kristus menjadi satu dari tiga bangunan bersejarah di Kota Sukabumi yang diusulkan menjadi cagar budaya. Dua lainnya adalah Balai Kota dan Rumah Pengasingan Bung Hatta. Tim Ahli Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat melakukan uji lapangan ketiga objek itu pada Kamis, 18 Juli 2024.
Menarik untuk kembali membaca sejarah lonceng di Gereja Sidang Kristus. Ukiran tulisan "Nederlandschefabriek van Torenuurwerken" pada genta tersebut mengisyaratkan lonceng ini adalah salah satu produk pabrik jam menara terbesar di Belanda, bahkan dunia, ketika itu.
Lonceng di Gereja Sidang Kristus sudah berusia sekitar 110 tahun yakni dibuat pada 1914 oleh Bonaventura Eijsbouts (perusahaan ini didirikan pada 1872 di Asten, Belanda). Uniknya, lonceng di gereja yang terletak di Jalan Masjid, Kelurahan Gunungparang, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, itu satu pabrikan dengan lonceng di katedral Notre Dame de Paris, Prancis.
Pendeta Gereja Sidang Kristus Andreas Tedjo mengatakan lonceng yang tersambung dengan jam dinding di gereja itu sudah tidak difungsikan. Tak menjelaskan sejak kapan, namun Andreas menyebut penghentian fungsi dilakukan akibat adanya protes lantaran bunyi lonceng bisa hingga radius 2 kilometer.
"Ada di gereja (keberadaan lonceng). Sudah tidak difungsikan karena ada yang protes terlalu kencang bisa sampai 2 kilometer suaranya," kata Andreas kepada sukabumiupdate.com pada tahun 2023. Tetapi, lonceng ini masih bisa dibunyikan saat ada pernikahan atau upacara kematian di gereja.
Baca Juga: Ada Gereja Sidang Kristus, Tim Cagar Budaya Uji Tiga Objek Bersejarah di Kota Sukabumi
Penjelasan soal lonceng dan jam dinding Gereja Sidang Kristus juga pernah disampaikan pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah. Dia mengatakan gereja ini merupakan salah satu bangunan heritage ikonik yang masih tersisa di Kota Sukabumi. Gereja ini pun menjadi simbol keberagaman karena letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung.
Irman mengatakan pada awalnya Gereja Sidang Kristus dibangun atas dasar kepentingan warga Protestan yang kurang terorganisir di Kota Sukabumi. Sebab, zending Kristen Protestan ketika itu terfokus di wilayah Pangharepan Cikembar sebagai desa Kristen di Sukabumi.
Sementara di Kota Sukabumi, gereja Katolik berdiri megah sejak awal di Jalan Grote Postweg (sekarang BJB Jalan Ahmad Yani). Kondisi ini cukup beralasan, mengingat banyak anggota jemaat Kristen Protestan di Kota Sukabumi yang mendukung gerakan antipribumi. Ini juga akhirnya yang menyebabkan kepemilikan rumah sakit gemeente (sekarang RSUD R Syamsudin SH) diserahkan kepada misi Kristen Protestan berdasarkan rapat anggota dewan gemeente, bukan kepada misi zending Protestan.
Irman mengungkapkan gereja Protestan di jalan alun-alun utara atau Jalan Masjid (kini Gereja Sidang Kristus) berdiri atas bantuan Lenne, pemilik lahan yang juga pemilik Hotel Selabintana. Dalam catatan resminya, gereja ini berdiri sejak 1911, namun sebenarnya dalam berita kebaktian sudah muncul sejak 1905.
"Belum dipastikan apakah lokasinya sama atau tidak, mengingat tahun 1900 foto-foto area alun-alun utara belum menunjukkan keberadaan gereja tersebut. Diduga, pembangunan gereja yang awalnya disebut Protestantsche Kerk itu memang sekitar 1911. Ini terkonfirmasi dari keberadaan lonceng tua bertuliskan Soekaboemi 1914," kata Irman.
Selain bangunan, keberadaan jam dinding pada Gereja Sidang Kristus menjadi keunikan tersendiri karena lebih tua daripada Jam Gadang di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Irman menyebut jam dinding Gereja Sidang Kristus dibuat pada 1911, dipasang bersamaan dengan berdirinya bangunan. Sementara jam dinding pada Jam Gadang dibuat 1926.
Tak berbeda dengan Jam Gadang, jam dinding Gereja Sidang Kristus juga menuliskan angka IV romawi dengan IIII yang kemudian sering menjadi misteri.
Konon, dalam sejarahnya, IIII memang angka empat romawi sebelum diubah ke IV, karena angka IV adalah singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Ini lalu menyebabkan Raja Louis tidak suka dan meminta untuk mengubah (tulisan angka empat romawi).
Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare mengatakan jam dinding di Gereja Sidang Kristus disambungkan dengan lonceng (dibuat 1914) secara mekanik yang diproduksi oleh perusahaan asal Asten, Belanda. Perusahaan produsen lonceng ini didirikan pada 1872 oleh Bonaventura Eijsbouts.
"Yang luar biasa, produsen ini juga pembuat lonceng di katedral Notre Dame de Paris, Prancis. Tampak tulisan Soekaboemi 1914 menjadi ciri yang membedakan lonceng ini dengan lonceng di Notre Dame de Paris," ujar Irman.
Pada mulanya, lonceng tersebut berbunyi setiap jam dan setiap ada kegiatan di gereja. Kegiatan-kegiatan besar seperti peringatan tahun baru masehi juga kerap diadakan di gereja ini dengan mengundang pengkhotbah dari luar seperti Batavia dan Malang. Acara pernikahan pun sering dilakukan di Gereja Sidang Kristus.
Dalam kegiatan pemerintah, sering iringan para pejabat dan pawainya melewati gereja ini dan Masjid Agung, mengingat jalan masjid pada awalnya melintasi Masjid Agung (sekarang menjadi teras masjid bagian timur). Ini diperkirakan sebagai legitimasi terhadap konsep spiritual karena alun-alun memiliki konsep macapat di mana sebelah barat adalah lokasi ibadah.
Nama Protestantsche Kerk masih digunakan hingga 1941 terhadap Gereja Sidang Kristus. Namun, terjadi peralihan pengurus jemaah dari orang Belanda ke orang Tionghoa. Salah satu tokoh Tionghoa yang mengurusi gereja ini adalah Pouw Boun Giok. Gereja ini selanjutnya disebut juga Gereja Protestan Tionghoa (Chinese Protestant Kerk) yang disebut Cih Tuh Ciao Hui. Nama Tionghoa ini sempat terukir pada dinding menara yang sekarang dicat putih.
Baru pada 17 September 1941, melalui Staatsblad Hindia Belanda Nomor 395, bangunan tersebut namanya resmi diubah menjadi Gereja Sidang Kristoes--kekinian menjadi Kristus. Untuk mempermudah, alamatnya sering disebut di Jalan Grote Postweg, meski sebenarnya di Jalan Masjid yang bersambung ke Grote Postweg.
Menurut Irman, ketika Jepang masuk, banyak tempat ibadah non-muslim yang dijadikan bangunan serbaguna seperti gudang. Termasuk Gereja Sidang Kristoes yang juga tak lagi diisi aktivitas peribadatan. Selain karena banyak orang Belanda yang ditahan di kamp interniran, orang Tionghoa juga tidak disukai Jepang akibat perang Jepang-Cina.
Sementara masjid-mesjid masih difungsikan karena Jepang membutuhkan dukungan kaum muslim untuk membantu berperang melawan sekutu.
Ketika proklamasi berkumandang dan terjadi pengambilalihan kekuasaan di Sukabumi, Gereja Sidang Kristoes difungsikan kembali sebagai tempat ibadah. Gereja ini dikelola oleh ordo kristus dengan badan hukum Yayasan Gereja Sidang Kristus. Saat Belanda melakukan agresi, gereja ini menjadi gereja yang luput dari bumi hangus kota karena para pejuang menghormati tempat ibadah sehingga masih berdiri hingga sekarang.
"Gereja Sidang Kristus menjadi ciri toleransi yang berdampingan tak jauh dari Masjid Agung Kota Sukabumi. Di atas menara gereja, ada kaca bundar yang bisa melihat Masjid Agung," kata Irman.