SUKABUMIUPDATE.com - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi menjelaskan duduk penanganan kasus meninggalnya bayi berusia tiga bulan bernama Muhammad Kenzie Arifin. Berdasarkan audit Komite Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI), belum dapat dipastikan penyebab kematian adalah imunisasi.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Sukabumi drg Wita Darmawanti mengatakan hasil audit Komnas KIPI sudah disampaikan kepada pihak keluarga dan publik secara luas dalam pertemuan di Balai Kota Sukabumi pada Kamis, 20 Juni 2024. Meski begitu, Wita memaparkan beberapa hal secara lebih rinci.
Keterangan Wita ini didasarkan pada hasil audit Komnas KIPI dan memperkuat kesimpulan sementara bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan kematian Kenzie adalah akibat imunisasi.
Diketahui, bayi laki-laki anak pasangan suami istri Isan Nur Arifin (27 tahun) dan Deara Wulandari (27 tahun) ini menerima empat vaksin dengan dua kali imunisasi di puskesmas di Kelurahan Sukakarya, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, Selasa, 11 Juni 2024. Keempat vaksin itu adalah bacillus calmette guerin (BCG), pentavalen, polio, dan rotavirus.
Wita menegaskan bidan atau dokter yang melakukan imunisasi terhadap Kenzie telah melakukan tugasnya sesuai prosedur yang berlaku. Mereka pun sudah mendapatkan on the job training (OJT) alias bukan petugas yang masih dalam masa training seperti yang dinarasikan pihak-pihak tertentu belakangan ini.
"Itu bukan bidan atau dokter yang sedang training, tapi sudah mendapatkan on the job training," katanya kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (22/6/2024).
Baca Juga: Perlu Uji Endotoksin, Hasil Audit KIPI Bayi di Sukabumi Meninggal Setelah Imunisasi
Kemudian, bahan vaksin yang digunakan untuk Kenzie dipakai pula kepada anak-anak yang lain dan tidak menimbulkan reaksi apa pun. Begitu pun situasi saat Kenzie menerima empat vaksin dengan dua kali suntikan karena belum melakukan imunisasi pertama. Hal yang sama diberikan terhadap tiga bayi lainnya dan tidak menimbulkan pengaruh buruk.
"Sehingga untuk mengatakan (kematian) itu akibat vaksin (imunisasi), perlu penelitian lebih lanjut," ujar Wita.
Menurut Wita, Komnas KIPI membuka kemungkinan lain terkait penyebab kematian Kenzie seperti aspirasi (penghirupan zat lain secara tidak sengaja ke dalam paru-paru). Namun sayangnya, hal itu juga tidak dapat dipastikan karena belum sempatnya dilakukan suction (pengisapan) pada bagian pernapasan untuk menemukan bukti yang memadai.
Dugaan aspirasi itu dimungkinkan terjadi karena ada jarak antara proses imunisasi yang dilakukan sekira pukul 08.30 WIB dan waktu meninggal korban pukul 15.00 WIB.
Oleh karena itu, Wita menyebut untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian, perlu dilakukan uji endotoksin dan sterilitas terhadap semua vaksin serta melakukan autopsi forensik atau klinis. Ini juga sejalan dengan rekomendasi Komnas KIPI yang telah disampaikan kepada keluarga.
Sementara ini sampel untuk uji endotoksin dan sterilitas telah diambil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Selasa, 18 Juni 2024. Namun untuk tindakan autopsi forensik atau klinis, kata Wita, pihak keluarga menyatakan belum berencana untuk melakukannya.
Keputusan keluarga tidak akan melakukan autopsi forensik dihasilkan setelah mereka menerima penjelasan dari tim forensik tentang tata cara autopsi tersebut, salah satunya harus membongkar makam korban dan membawa jenazahnya ke rumah sakit. Adapun untuk hasil uji endotoksin dan sterilitas vaksin, akan terbit sekitar tiga pekan dari pengambilan sampel.
"Kami tentu siap memfasilitasi keluarga jika ingin membuktikan penyebab pasti kematian korban melalui autopsi, apabila keluarga menyetujui. Namun ternyata hasil musyawarah keluarga bayi memutuskan untuk tidak dilakukan autopsi, sehingga belum bisa dipastikan bahwa penyebabnya itu adalah imunisasi," kata Wita.
"Dinkes sebagai lembaga yang ditugaskan menjaga kondisi kesehatan masyarakat, akan terus menjalankan imunisasi karena memang hak bayi untuk mendapatkan kekebalan tubuh dan mencegah kejadian luar biasa (KLB) suatu penyakit," tambah dia.