SUKABUMIUPDATE.com - Momen ajaran baru identik dengan selebrasi masyarakat yang akrab disebut samen. Di Sukabumi, aktivitas ini seakan-akan menjadi tradisi wajib saat acara kenaikan kelas. Tahun 2024, kegiatan tersebut masih dipelihara.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan, konon istilah samen berasal dari bahasa Belanda yaitu samen yang artinya bersama.
Namun, mengingat tradisi samen di masyarakat merujuk pada rangkaian kenaikan kelas, dalam artian mensyukuri kelulusan, baik dalam proses naik ke kelas berikutnya maupun karena sudah tamat sekolah, maka istilah ini lebih tepat berasal dari kalimat slagen voor het examen yang artinya lulus ujian.
Kebiasaan pelafalan asing, kata Irman, sering menyesuaikan dengan lidah lokal, sehingga examen dilafalkan dengan samen yang ketika diartikan juga memang adalah kegiatan bersama. Tetapi samen dengan arti bersama malah lebih dikenal dengan istilah negatif yaitu samenleven yang keliru dimaknai kumpul kebo. Padahal makna sesungguhnya adalah hidup berdampingan.
"Samen berasal dari kebiasaan masyarakat Sunda Sukabumi yang selalu merayakan sesuatu, baik dengan selamatan maupun arak-arakan. Biasanya dalam selametan panen acapkali mengarak hasil bumi menggunakan dongdang," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.
Baca Juga: Gegara Knalpot Bising, Keributan Antarpemuda Warnai Pawai Samen di Kadudampit Sukabumi
Tradisi ini kemudian diadopsi Belanda saat merayakan sesuatu di wilayah Sukabumi. Misalnya dalam perayaan hari lahir Ratu Juliana selalu ada pesta (feest) yang dimaksudkan sebagai selamatan.
Kemudian optocht (berupa pawai atau arak-arakan). Adapun yang masih kental dengan adat Sunda biasanya ada dalam perayaan hasil perkebunan seperti di Cibungur, setiap selesai panen perkebunan maka dilakukan pesta topeng, wayang golek, yang disertai arak-arakan hasil bumi dan kesenian masyarakat.
Irman yang sudah menulis beberapa buku tentang Sukabumi, salah satunya "Soekaboemi the Untold Story", mengatakan kegiatan pesta dan pawai perkebunan itu juga banyak diikuti perkebunan lain seperti Parakansalak, Sinagar, dan Ciwangi. Oleh karena itu, tak heran jika banyak perkebunan di Sukabumi saat itu memiliki gamelan dan wayang golek karena setiap pekan akan pentas menghibur para pekerja kebun.
Tradisi Lama Eropa
Pawai atau parade sebenarnya sudah menjadi tradisi lama di Eropa yang berasal dari pawai kemenangan pasukan Romawi ketika mengalahkan negeri taklukannya.
Kecocokan tradisi ini kemudian menguatkan kepentingan Belanda untuk melakukan tradisi selametan dan pawai, baik untuk menghormati tradisi lokal maupun menyelipkan tradisinya sendiri. Tidak heran dalam perayaan-perayaan tersebut akan muncul seni dan budaya Eropa dan Sunda yang diangkat dalam kegiatan.
"Misalnya pentas silat, tari sunda, bahkan dalam arak-arakan pun seperti layaknya arak-arakan Sunda biasanya membawa hasil bumi, alat kesenian, dan lain-lain," kata Irman.
Kegiatan pawai dilakukan tidak hanya dalam kegiatan resmi pemerintah, namun kegiatan keagamaan seperti Cap Go Meh maupun perayaan sekolah seperti sekolah polisi dan sekolah-sekolah umum di Sukabumi yang selalu mengadakan selametan dan pawai ini.
Khusus dalam lingkungan sekolah di Sukabumi, muncul istilah yang menggambarkan rangkaian kegiatan selametan dan pawai tersebut yang disebut samen atau samenan.
Pada masa penjajahan, arak-arakan sekolah di wilayah Kota Sukabumi (gemeente) biasanya kegiatan pawai sekolah, dilakukan bersamaan dengan kegiatan perayaan pemerintah.
Misalnya pada 27 Maret 1934, dilaporkan oleh koran De Koerier, beberapa sekolah seperti Kindervakantieshool, SOG, dan sekolah polisi melakukan arak-arakan dari jam empat sore mulai Jalan Bhayangkara sekarang hingga alun-alun dengan drum band dari sekolah polisi, diikuti perayaan yang dipimpin pendeta Katolik dan ulama Islam.
Samen yang paling unik dan khas sekolah sebenarnya kegiatan yang dilakukan di wilayah Cisaat, Cibadak, hingga Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Diketahui, sejak masa kolonial memang mengadakan pesta kenaikan kelas khusus yang disertai pawai. Kegiatan ini mandiri tidak dikaitkan dengan perayaan pemerintah, dan dilakukan serentak di beberapa desa. Arak-arakannya lebih lengkap dan khas budaya lokal.
"Salah satu contohnya diulas dalam Bataviaasch Nieuwsblaad pada 23 Juli 1934. Akhir tahun ajaran di desa-desa di wilayah Cibadak selalu mengadakan selametan pesta dan arak-arakan," ucap Irman.
Arak-arakan ini membawa serta delman/nayor, kerajinan sekolah, bentuk-bentuk rumah, orang-orangan besar, yang dilengkapi dengan musik gamelan. Gamelan tersebut membedakan dengan perayaan di Kota Sukabumi (Gemeente) yang menggunakan drum band sekolah polisi. Kemeriahannya jauh lebih terasa karena semua masyarakat tumpah ke jalanan menonton pawai.
Tetapi tak hanya kesenangan, sering juga kegiatan samen menjadi kericuhan, seperti pada Jumat pagi tanggal 20 Juli 1934. Anak-anak sekolah Karangtengah berjalan dengan musik yang memimpin dan akan berhenti di Alun-alun Karangtengah (dulunya alun-alun distrik Ciheulang). Seorang ahli anggar dari masyarakat Sunda, tergoda oleh nada gamelan sehingga ingin menunjukkan keahliannya dan menari mengikuti musik sambil anggar di udara.
Selanjutnya, Irman menyebut muncul satu orang lagi yang juga merasa pandai bermain pedang, melayaninya menari pedang sebagai lawan. Saking serunya menunjukkan keahlian, pemain anggar tersebut akhirnya saling emosi dan melanjutkan pertarungan dengan golok. Pelaku dipisahkan, namun satu orang yang melerai terkena tebasan golok sehingga orang yang terluka dibawa ke rumah sakit di Sukabumi.
Meski begitu, tradisi ini terus berjalan dan diadopsi oleh sekolah-sekolah dengan segala penyesuaian. Misal dalam perkembangannya penggunaan gamelan yang sangat berat akhirnya digantikan drum band mengikuti pawai kota yang menggunakan drum band sekolah polisi.
Namun, ritual di sekolah sekolah pada hakikatnya hampir sama terdiri dari kegiatan selametan kelulusan yang diisi atraksi seni dan budaya kreasi siswa dan guru. Kemudian lesengan (leseng kemungkinan berasal dari kata lesson yang artinya pelajaran), biasanya menggunakan pidato pendek yang disampaikan secara bergiliran di panggung. Termasuk acara pawai siswa yang dilengkapi kendaraan buatan, patung/badut khas, dan lain-lain.
Selain menjadi kegembiraan para siswa, orang tua murid, dan guru, tradisi ini secara lokal menjadi daya tarik bagi pengunjung maupun pedagang dan menimbulkan kerumunan yang luas sehingga kadang menjadikan kemacetan di ruas-ruas jalan.
Samen juga menjadi salah satu aktivitas yang mendorong lahirnya perputaran uang dan kebangkitan ekonomi rakyat dengan banyaknya transaksi jual beli di acara tersebut.