SUKABUMIUPDATE.com - Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi, Dadeng Nazarudin, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu instruksi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GSBI sebelum mengambil langkah lebih lanjut terkait Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Sambil menunggu instruksi dari DPP, kami akan mengadakan rapat internal untuk menyikapi peraturan ini. Jika ada instruksi untuk melakukan aksi, kemungkinan besar kami akan aksi di Jakarta karena ini peraturan yang dikeluarkan oleh presiden," ujar Dadeng kepada sukabumiupdate, Senin (3/5/2024).
Daden menegaskan, peraturan tersebut tidak hanya berdampak pada buruh, tetapi juga pada seluruh lapisan masyarakat termasuk PNS, TNI, Polri, dan P3K. Oleh karenanya, kata Dadeng, Bupati Sukabumi harus mengambil sikap sebagai kepala pemerintahan daerah.
"Kepala pemerintahan daerah setuju atau tidak begitu, karena bupati pimpinan pemerintahan. Kalau dia setuju maka tunggu saja kita akan geruduk pendopo," katanya.
Ia menyoroti ketidakmampuan banyak buruh untuk memanfaatkan program Tapera karena besarnya potongan yang harus diambil dari upah.
Baca Juga: Pengusaha dan Buruh di Sukabumi Kompak Tolak Iuran Tapera, Ini Sederet Alasannya
"Kalau dipaksakan, sekitar 250 tahun baru bisa beli rumah, padahal usia kerja hanya sampai 55 tahun dan sekarang banyak buruh dengan kontrak pendek," jelas Dadeng.
Selain itu, Dadeng mengkritik sistem tenaga kerja yang semakin memperburuk kondisi buruh. Dengan UU Cipta Kerja, tidak ada lagi karyawan tetap. "Kontrak buruh kini paling lama hanya 3 bulan. Banyak buruh bahkan harus membayar untuk bisa bekerja di pabrik," katanya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada penyediaan lapangan pekerjaan sebelum memikirkan perumahan. "Pak Jokowi ingin menyediakan perumahan untuk rakyat, jadi sebaiknya pemerintah membangun rumah terlebih dahulu, lalu biarkan rakyat mencicil sesuai kemampuan mereka," ungkapnya.
Dadeng juga menyoroti berbagai potongan dari upah buruh yang sudah cukup membebani, seperti PPH 21 dan iuran BPJS yang mengurangi pendapatan buruh secara signifikan.
"Dari upah yang diterima, sekitar 50% digunakan untuk biaya aktivitas di pabrik, seperti makan dan transportasi. Jadi, penambahan potongan Tapera justru semakin memeras buruh," tegasnya.
Ia juga meragukan manfaat jangka panjang dari Tapera bagi buruh dengan kontrak kerja yang singkat, lantaran melihat kondisi buruh hanya bekerja beberapa bulan
"Apa mereka bisa merasakan manfaatnya? Banyak dana dari program seperti JHT dan jaminan kematian yang tidak jelas ke mana perginya," tutur Dadeng.
Dadeng menyebut, saat ini muncul kecurigaan dari masyarakat bahwa pemerintah menggunakan program seperti Tapera untuk mengumpulkan dana rakyat.
"Mungkin saja pemerintah hanya ingin mengambil uang rakyat untuk digunakan sendiri. Kalau untuk membangun negara sih masih mending, tapi kalau dikorupsi atau untuk bayar hutang, itu sangat merugikan," pungkasnya.