SUKABUMIUPDATE.com - Pengusaha dan asosiasi buruh di Sukabumi kompak menolak penambahan biaya sebesar 0,5% dari upah pekerja yang dibebankan kepada pengusaha, serta penambahan biaya sebesar 2,5% dari upah yang dibebankan kepada pekerja, seperti tertera dalam PP 21 Tahun 2024 tentang Tapera.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Sukabumi, Sudarno Rais menyatakan penolakan tersebut, sesuai dengan arahan Apindo Jawa Barat dan Apindo Pusat. Alasannya, karena hal tersebut akan semakin memberatkan tambahan beban labor cost dan operational cost bagi pengusaha.
"Situasi dan kondisi dunia usaha serta industri saat ini masih belum pulih dan belum stabil akibat dampak Pandemi Covid-19 dan Resesi Ekonomi Global," ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Kamis (30/5/2024).
Sudarno juga meyakini bahwa Program Tapera tidak menjadi solusi dan dapat menjamin bagi para pekerja atau karyawan untuk dapat memiliki rumah, karena beberapa alasan.
"Jangka waktu ikatan hubungan kerja pekerja atau karyawan di perusahaan relatif tidak sama dan belum tentu berlangsung lebih lama," jelasnya.
"Akumulasi total nilai uang dari pembayaran iuran Tapera yang diterima pekerja atau karyawan saat pemutusan hubungan kerja, baik karena usia pensiun, resign, ataupun PHK, sangat dimungkinkan tidak akan cukup untuk membeli rumah karena harga rumah yang terus meningkat setiap tahunnya," lanjutnya.
Baca Juga: Tabungan Perumahan Rakyat: Biaya, Manfaat dan Syarat Peserta Tapera
Apindo pun meminta pemerintah untuk sebaiknya fokus memperbaiki dan mengoptimalkan program-program yang sudah ada untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja atau karyawan tanpa harus menerbitkan peraturan perundang-undangan baru.
"Peraturan baru dikhawatirkan dapat membahayakan perkembangan dan keberlangsungan dunia usaha dan industri, khususnya sektor industri padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia. Bahkan dapat menurunkan daya tarik dan daya saing untuk berinvestasi pada sektor Industri di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia," pungkasnya.
Senada dengan pengusaha, Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi, Mochamad Popon meminta pemerintah membatalkan program iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera). Hal itu karena kebijakan baru yang membuat gaji atau penghasilan pekerja akan dipotong 2,5 persen per bulan ini dinilai sangat merugikan kaum buruh.
"Apalagi saat ini upah buruh masih belum layak atau berada di bawah kebutuhan hidup layak dan diperparah lagi dengan biaya kebutuhan yang semakin tinggi, karena harga-harga yang terus naik," kata Popon, kepada sukabumiupdate.com, Kamis (30/5/2024).
Popon menjelaskan bahwa program Tapera akan sangat memberatkan buruh, karena saat ini dengan upah yang rendah, pekerja sudah dibebani potongan iuran BPJS, termasuk Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kesehatan.
"Belum lagi banyak buruh yang sudah sangat berkurang penghasilannya, karena dari upah bulanan yang diterima harus membayar cicilan kredit ke lembaga keuangan seperti cicilan kendaraan dan KPR atau Kredit Pemilikan Rumah," katanya.
Baca Juga: Potong Gaji 3%, Apakah Tapera Bisa Dicairkan Pekerja?
Menurut Popon, jika pemerintah memang berniat baik untuk mendorong kepemilikan rumah bagi rakyat kecil, termasuk buruh yang berpenghasilan rendah, seharusnya mereka disubsidi oleh pemerintah. "Bukan malah dipaksa untuk mensubsidi negara untuk membiayai program pemerintah dengan embel-embel Tabungan Perumahan Rakyat," tegasnya.
Popon menduga bahwa paksaan untuk membayar iuran Tapera ini adalah akal-akalan pemerintah untuk menutupi defisit keuangan negara demi program-program baru yang membutuhkan anggaran besar, seperti makan siang dan minum susu gratis.
Dengan itu, Popon dan Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi mendesak pemerintah untuk membatalkan pemberlakuan Tapera.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi, Dadeng Nazarudin juga turut menanggapi tentang Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 yang mengatur Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurutnya, meskipun niat pemerintah dalam menyediakan perumahan untuk rakyat patut diapresiasi, tata cara dan kebijakan yang diatur dalam peraturan tersebut merugikan kaum buruh.
"Tapera sebenarnya sudah lama ada sejak tahun 2020, namun perubahan yang signifikan baru terjadi dengan keluarnya PP No 21 Tahun 2024 yang menggantikan PP No 25 Tahun 2020. Perubahan ini menetapkan besaran potongan dan sistem baru," jelas Dadeng kepada sukabumiupdate, Kamis (30/5/2024).
Baca Juga: Catat Tanggalnya! Batas Waktu Perusahaan Daftarkan Pekerja di Program Tapera
Dadeng menyatakan bahwa ia sepakat dengan tujuan pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi rakyat. Namun, ia tidak setuju dengan tata cara yang diatur dalam PP tersebut.
"Pemerintah sudah banyak mengambil dana dari buruh melalui berbagai program seperti BPJS yang dikelola oleh negara. BPJS Kesehatan mungkin masih bisa bermanfaat langsung bagi peserta, tetapi BPJS Ketenagakerjaan seperti Jaminan Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja seringkali tidak dirasakan manfaatnya oleh buruh," tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa banyak buruh tidak mengambil manfaat dari program BPJS Ketenagakerjaan karena syarat-syaratnya yang ketat dan beban iurannya yang memberatkan.
"Kalau ngomongin soal menabung, buruh sudah banyak menabung melalui program seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan jaminan pesangon," katanya.
Menurutnya, program perumahan yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan sudah ada sebelumnya, namun sistemnya masih memberatkan buruh. "Misalnya, upah minimum buruh di Sukabumi sekitar 3,2 juta rupiah. Cicilan perumahan rata-rata 1,2 juta rupiah. Setelah dipotong cicilan, buruh hanya memiliki sisa 2 juta rupiah, yang sebagian besar juga digunakan untuk biaya transportasi dan kebutuhan sehari-hari," jelasnya.
Dadeng menekankan bahwa jika pemerintah benar-benar ingin membantu buruh memiliki rumah, mereka harus mempermudah syarat dan mengurangi beban iuran.
"GSBI menolak peraturan ini karena tata caranya memberatkan buruh, meskipun niat pemerintah untuk menyediakan perumahan kami dukung," ujarnya.
Dadeng juga menantang pemerintah daerah, khususnya Bupati Sukabumi, untuk menyatakan sikapnya. "Bagaimana tanggung jawabnya untuk membantu menyediakan perumahan bagi rakyat Sukabumi dengan penghasilan buruh sekitar 3 juta rupiah? Sukabumi terkenal dengan pabrik industri dan juga daerah perumahan yang sering menyerobot lahan pertanian," paparnya.