SUKABUMIUPDATE.com - Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi, Dadeng Nazarudin turut menanggapi tentang Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 yang mengatur Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurutnya, meskipun niat pemerintah dalam menyediakan perumahan untuk rakyat patut diapresiasi, tata cara dan kebijakan yang diatur dalam peraturan tersebut merugikan kaum buruh.
"Tapera sebenarnya sudah lama ada sejak tahun 2020, namun perubahan yang signifikan baru terjadi dengan keluarnya PP No 21 Tahun 2024 yang menggantikan PP No 25 Tahun 2020. Perubahan ini menetapkan besaran potongan dan sistem baru," jelas Dadeng kepada sukabumiupdate, Kamis (30/5/2024).
Dadeng menyatakan bahwa ia sepakat dengan tujuan pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi rakyat. Namun, ia tidak setuju dengan tata cara yang diatur dalam PP tersebut.
"Pemerintah sudah banyak mengambil dana dari buruh melalui berbagai program seperti BPJS yang dikelola oleh negara. BPJS Kesehatan mungkin masih bisa bermanfaat langsung bagi peserta, tetapi BPJS Ketenagakerjaan seperti Jaminan Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja seringkali tidak dirasakan manfaatnya oleh buruh," tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa banyak buruh tidak mengambil manfaat dari program BPJS Ketenagakerjaan karena syarat-syaratnya yang ketat dan beban iurannya yang memberatkan.
Baca Juga: Perusahaan Tidak Siap, Apindo Sukabumi Tegas Tolak Tapera
"Kalau ngomongin soal menabung, buruh sudah banyak menabung melalui program seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan jaminan pesangon," katanya.
Menurutnya, program perumahan yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan sudah ada sebelumnya, namun sistemnya masih memberatkan buruh. "Misalnya, upah minimum buruh di Sukabumi sekitar 3,2 juta rupiah. Cicilan perumahan rata-rata 1,2 juta rupiah. Setelah dipotong cicilan, buruh hanya memiliki sisa 2 juta rupiah, yang sebagian besar juga digunakan untuk biaya transportasi dan kebutuhan sehari-hari," jelasnya.
Dadeng menekankan bahwa jika pemerintah benar-benar ingin membantu buruh memiliki rumah, mereka harus mempermudah syarat dan mengurangi beban iuran.
"GSBI menolak peraturan ini karena tata caranya memberatkan buruh, meskipun niat pemerintah untuk menyediakan perumahan kami dukung," ujarnya.
Dadeng juga menantang pemerintah daerah, khususnya Bupati Sukabumi, untuk menyatakan sikapnya. "Bagaimana tanggung jawabnya untuk membantu menyediakan perumahan bagi rakyat Sukabumi dengan penghasilan buruh sekitar 3 juta rupiah? Sukabumi terkenal dengan pabrik industri dan juga daerah perumahan yang sering menyerobot lahan pertanian," paparnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah harus lebih bertanggung jawab dalam memastikan perumahan yang dibangun di Sukabumi dapat diakses oleh buruh dengan penghasilan rendah.
"Semangat Pak Jokowi untuk menyediakan perumahan untuk rakyat sepakat, tapi dengan peraturannya kita menolak," pungkasnya.