SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah hutan Kadudahung di kawasan perkebunan Cikaso, berdiri bangunan 5 x 3 meter beratap genteng dengan rangka kayu, beralaskan keramik putih. Di depan bangunan itu terdapat satu makam tua dengan panjang 3 meter, serta lebar 1,5 meter. Sedangkan batu nisannya dibungkus kain putih.
Di dekat bangunan makam tumbuh pohon Bungur (Aleurites moluccana) dan pohon Teureup (Artocarpus elasticus) diperkirakan berusia ratusan tahun.
Lokasi makam sekitar 100 meter dari jalan nasional Tegalbuleud, tepatnya di Kampung Telukjati Desa Sumberjaya Kecamatan Tegalbuleud Kabupaten Sukabumi, sekitar 200 meter arah tenggara aliran Sungai Cikaso. Kendaraan bisa masuk sampai ke pemukiman warga, menuju ke makam tinggal berjalan kaki.
Warga meyakini makam keramat tersebut adalah makam Ibu Hajah Boyong, seorang keturunan kerajaan dari Cirebon, yang menyebarluaskan agama Islam di tanah Pajampangan.
Kepada sukabumiupdate.com, sesepuh kampung Telukjati sekaligus juru kunci makam, Maryadin (67 tahun) mengatakan makam tersebut sudah ada sejak zaman Belanda, dan sebelum dibukanya perkebunan karet.
Baca Juga: 100 Pelaku UMKM di Sukabumi Dapat Pendampingan Agar Naik Kelas, Ini Pesan Bupati
"Pada masa Belanda, menurut nenek kakek kami, bahwa makam tersebut sudah ada, dengan dua batu nisan yang hitam legam. Bahkan nenek saya sebagai tukang bersih-bersihnya, dan dibayar sama tuan Belanda," ungkap Maryadin.
Pada tahun 1982, kata Maryadin, di lokasi dekat makam masih hutan belantara. Ia menjadi warga Telukjati pertama. Sebelumnya ia tinggal di Kampung Cilampahan Desa Sumberjaya, di dekat bantaran Sungai Cikaso. Ia dititipkan oleh sesepuh untuk membersihkan makan itu, agar jangan sampai tertutup rumput atau lenyap tertimbun tanah.
"Pesan kepada kami dari sesepuh, agar menjaga dan memelihara makam itu, karena makam itu (ibu Hajah Boyong) adalah makam pejuang agama Islam dari Cirebon," kata Maryadin menceritakan.
Menurut Maryadin, dalam kurun satu tahun semenjak pindah ke Telukjati, sudah ada beberapa orang yang datang dari wilayah Pajampangan dan Kota Sukabumi, menanyakan letak makam itu dengan niat berziarah. Hingga kemudian dari tahun ketahun banyak para peziarah datang, dengan berbagai maksud dan tujuan.
"Mereka (peziarah) bukan saja dari Pajampangan dan Sukabumi. Bahkan dari Jabodetabek hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur," tuturnya.
Kata Maryadin, kemudian mereka (para peziarah) juga membuatkan bangunan untuk tempat berdoa di depan makam, dan membuatkan akses jalan. "Bahkan ada juga peziarah yang bermalam disana," imbuhnya.
Sejarawan Surade, Ki Kamaludin (73 tahun) membenarkan keberadaan makam keramat Ibu Hajah Boyong tersebut. Ia pun menegaskan di dalam makam tersebut adalah jasad Ibu Hajah Boyong.
Ki Kamaludin juga membenarkan Ibu Hajah Boyong yang memiliki nama asli Nyi Mas Raksanagara merupakan anak dari Bupati Galuh Imbanagara Ciamis yaitu R. A. A. Jagabaya adalah pejuang Islam di tanah Pajampangan.
Baca Juga: 6 Golongan Orang yang Mudah Terkena Penyakit Asam Urat, Kamu Termasuk?
"Dalam sejarah Surade, Nyi Mas Raksanagara binti R. A. A. Jagabaya (Bupati Galuh Imbanagara Ciamis) menginjakkan kakinya di Pajampangan sekitar tahun 1751 M," kata Ki Kamaludin kepada sukabumiupdate.com.
Menurut Ki Kamaludin, arti kata Boyong yang disematkan ke Ibu Hajah Boyong karena dalam ceritanya saat itu Nyi Mas Raksanagara membela Rd. Mas Martanegara dan menjadi buronan atau boyong, sehingga jatuh sakit dan meninggal di Telukjati, seperti ditulis oleh Arie Suhanda di majalah Mangle Nomor 446 tahun 1974.
Mbah Hajah Boyong atau Rd Nyi Mas Raksanagara, kata Ki Kamaludin, memiliki adik bernama Rd. Mas Surawiangga.
"Putra Putri R. A. A. Jagabaya yang ke Jampang dan Surade, yaitu Rd. Mas Surawiangga (Sembah Emas) dikuburkan di Pasirpulus Jampangkulon, Rd Nyi Mas Raksanagara dikuburkan di Telukjati Cikaso, dan Rd. Mas Martanegara dikuburkan di Karangbolong, serta Eyang Santri Dalem dikuburkan Cigangsa Surade," tuturnya.