SUKABUMIUPDATE.com - Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Sukabumi, Rozak Daud angkat bicara soal diberhentikannya pembangunan hunian tetap (Huntap) yang diperuntukan bagi penyintas korban bencana pergerakan tanah di Dusun Ciherang, Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung.
Pembangunan Huntap yang berlokasi di lahan milik PTPN VIII Goalpara, di Kampung Baru Cibuluh, Desa Cijangkar, terpaksa harus dihentikan, konon karena tidak mendapatkan izin.
Kepada sukabumiupdate.com, Rozak Daud mengatakan lambatnya pemenuhan hak hidup warga korban bencana di Dusun Ciherang untuk mendapatkan hunian tetap adalah tragedi kemanusiaan, dan dosa sosial yang harus segera ditebus dengan merealisasikan pembangunan Huntap.
"Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Artinya pemenuhan atas tempat tinggal yang layak merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak sipil, sosial, ekonomi warga negara," kata Rozak, Rabu (22/5/2024).
Menurut Rozak, pemerintah sudah membantu proses untuk hunian tetap, tetapi ada penghalang yaitu berkaitan status lahan.
Kalau kendalanya adalah status tanah, kata Rozak, pertama HGU PTPN VIII Blok Ramawati sebenarnya sudah berakhir, dan belum ada perpanjangan maupun pembaharuan. Maka, tanah kembali menjadi yang dikuasai langsung oleh Negara.
Baca Juga: Pembangunan Huntap Disetop, Penyintas Tanah Bergerak Ciherang Sukabumi Disodorkan 3 Pilihan
"Pemerintah punya kewenangan mutlak untuk menata, mengatur diantaranya adalah untuk kepentingan umum, fasilitas sosial masyarakat termasuk menjadi tempat hunian," jelasnya.
Rozak pun menyebut negara wajib hadir dan tidak boleh kalah dihadapan Badan Usahanya demi kepentingan masyarakat umum. Apalagi prinsip dasar BUMN itu untuk kesejahteraan rakyat.
"Jadi pihak PTPN jangan egois, karena tidak ada kepemilikan tanah untuk Badan hukum, tetapi berstatus Hak Guna Usaha diatas tanah negara dengan jangka waktu tertentu. Kalau PTPN itu adalah BUMN yang membedakan hanya penyertaan modal usahanya jadi beban negara, bukan berarti merasa BUMN sehingga objek tanah itu seolah-olah milik mutlak PTPN, jangan dibolak-balik kebenaran untuk membohongi publik," terangnya.
Ia pun menyoroti soal klaim status tanah tersebut. Menurutnya harus jelas asset dalam bentuk tegakan atau asset dalam bentuk tanah. "Kalau asset tegakan dilokasi yang akan dibangun Huntap sudah tidak ada tegakan. Kalau asset dalam bentuk tanah, apakah BUMN pernah melakukan pengadaan tanah untuk PTPN?. Apalagi HGUnya sudah habis, berarti yang berhak melalukan penataan adalah Negara melalui BPN," imbuhnya.
"Faktanya berdasarkan legal opinion Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat bulan April 2014 tentang rencana pemindahan tangan lahan hak guna usaha PTPN VIII, untuk menjawab permohonan masyarakat pada tahun 2001, dalam kronologisnya dijelaskan bahwa sejak tahun 1950 Blok Ramawati yang terletak di Desa Nyalindung Desa Kertaangsana, Desa Cisitu, Desa Cijangkar, Kec Nyalindung telah terdapat garapan 60% dan pemukiman masyarakat 40%. Jadi aneh kalau hari ini untuk pemukiman masyarakat yang terdampak bencana pun dipersulit," sambung dia.
Baca Juga: 129 Huntap, Penyintas Pergerakan Tanah di Nyalindung Sukabumi Sambut Kehidupan Baru
Lebih jauh, Rozak menyebut terkait peraturan mentri BUMN tentang penghapusanbukuan. Ia menegaskan harus dipahami bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 Tentang Percepatan Reforma Agraria. "Pada aset tanah BUMN disebutkan dengan jelas bahwa penghapusbukuan dilakukan pada aset yang hak atas tanahnya masih berlaku untuk pengurangan penyertaan modal, itu saja urgensinya," imbuhnya.
Terlebih, tutur dia, redistribusi tanah dalam hal ini adalah yang telah digunakan, dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat lebih dari 20 tahun secara berturut-turut dengan itikad baik. "Faktanya sejak tahun 1950 sudah jadi pemukiman dan garapan, aset apa yang mau dihapus," tandasnya.
Selain itu, Rozak menyebut kontruksi hukumnya (harus) menggunakan Pepres No 62 Tahun 2023 tentang Reforma agraria, karena PTPN VIII Blok Ramawati sudah ada permohonan oleh masyarakat melalui pemerintah Desa dan Bupati Sukabumi pada Tahun 2001. Bahkan sudah sampai pada penetapan nilai ganti rugi yang melibatkan tim apprasial.
Maka, BPN harus tegas jangan saling lempar tanggungjawab tetapi hadir dengan tegak lurus mewakili negara untuk menyelesaikan persoalan ini berkaitan status tanah.
"Jangan dipersulit, jangan bikin bingung pemerintah daerah, karena informasinya di BPNnya ditangani melalui Dirjen pengadaan tanah, jangan salah kamar harusnya tegas, yaitu melalui penataan karena objeknya bekas HGU," pungkasnya.