SUKABUMIUPDATE.com - Di balik kasus pembunuhan seorang ibu bernama Inas (43 tahun) oleh anaknya bernama Rahmat alias Herang (25 tahun) terungkap fakta lain tentang sosial dan budaya masyarakat di tempat tinggal korban dan pelaku yakni Desa Sekarsari, Kecamatan Kalibunder, Kabupaten Sukabumi yang berbeda dengan desa lainnya.
Informasi yang dihimpun, mayoritas warga di Desa tersebut sudah lama menganut islam yang anti-speaker atau Aspek. Kondisi itu kemudian menjadi perhatian serius dari Camat Kalibunder Encep Iwan Kartawiria, karena dinilai berpengaruh kepada tingkat kepedulian terhadap pendidikan formal.
Encep yang menjabat Camat Kalibunder sejak 5 Maret 2024 itu kemudian mengundang para kades serta unsur perangkat daerah, masyarakat, pemuda, hingga tokoh agama setempat untuk rapat koordinasi membahas persoalan ini di aula kantor Kecamatan Kalibunder, Jumat (17/5/2024).
Baca Juga: Minim Lulusan SMA, Disdik Ungkap Kondisi Pendidikan di Tempat Tinggal Anak Bunuh Ibu di Sukabumi
Menurut Encep, agar kasus pembunuhan sadis ibu kandung oleh anak tak terulang kembali, pihaknya merasa perlu mendapatkan masukan dari semua unsur pemangku kepentingan. Hal itu mengingat karakteristik warga di Desa Sekarsari yang berbeda dengan desa lainnya.
“Agar kejadian itu tidak terulang kembali salah satunya dengan pembentukan karakter anak melalui pendidikan, baik formal maupun informal. Kasus pembunuhan seorang ibu oleh anak kandungnya tentu membuat banyak analisa, salah satunya faktor pendidikan. Kami mendapatkan informasi kondisi sosial budaya warga di wilayah tersebut berbeda dengan desa yang lainnya,” kata Encep kepada sukabumiupdate.com usai rapat.
Sehingga berdasarkan kesimpulannya dalam rapat koordinasi ini, Encep menyebut diperlukan pendekatan dan komunikasi secara perlahan dan berkelanjutan kepada masyarakat Desa tersebut.
“Hampir 80 persen warga di Desa Sekarsari, memiliki sosial budaya yang berbeda, mereka sedikit tertutup, bahkan anti speaker, TV, dan bedug, tapi sangat agamis. Begitu juga dengan kegiatan pekerjaan mereka, warga di sama banyak yang bermukim di saung saung sadap, atau saung kebun, sehingga anak banyak ditinggalkan di rumah, kalaupun dibawa tidak akan efektif untuk belajar,” ungkapnya.
Meski begitu Encep menegaskan bahwa apapun kondisinya, program pemerintah harus tetap berjalan di Desa tersebut, terutama program wajib belajar 9 tahun yang harus disosialisasikan kepada seluruh warga agar anak anaknya bisa melanjutkan sekolah.
"Kami sudah berkomunikasi dengan semua stakeholder, untuk langkah selanjutnya, agar bisa berkomunikasi, juga pendekatan dengan tokoh tokoh masyarakat di Desa Sekarsari. Bukan untuk menghilangkan budaya mereka, namun lebih kepada sosialisasi dan peduli kepada program pemerintah, terutama peduli kepada anak anak terkait pendidikan, kesehatan dan pembentukan karakter mereka," tandasnya.