SUKABUMIUPDATE.com - Kasus pembunuhan seorang ibu bernama Inas (43 tahun) oleh anaknya bernama Rahmat alias Herang (25 tahun) di Kecamatan Kalibunder Kabupaten Sukabumi menjadi perhatian serius dari Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) setempat.
Informasi yang dihimpun, kondisi lingkaran sosial dan budaya warga di lingkungan tempat tinggal korban dan pelaku yakni Desa Sekarsari ternyata berbeda dengan Desa lainnya. Mayoritas warga merupakan penganut islam yang anti-speaker atau Aspek.
Kondisi itulah yang membuat Forkopimcam Kalibunder menggelar rapat koordinasi dengan sejumlah unsur masyarakat, pemuda, tokoh agama hingga para kepala Desa se-Kecamatan Kalibunder pada Jumat (17/5/2024). Bahkan unsur Dinas Pendidikan (Disdik) setempat pun diundang pasalnya dikabarkan mayoritas warga Desa Sekarsari berpendidikan tak sampai tingkat SMP.
Rahmat, sang pelaku pembunuhan ibu kandung pun diketahui merupakan tamatan SD. Fakta itu disampaikan Eli Yulianti, pengawas SD Kecamatan Kalibunder Disdik Kabupaten Sukabumi yang menghadiri rapat koordinasi tersebut.
"Pelaku, Rahmat merupakan alumni SDN Ciawi, lulus kelas 6, namun tidak dilanjutkan. Selama mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, dia memang ada keterlambatan dalam belajar atau berpikir," kata Eli kepada sukabumiupdate.com di Aula Kantor Kecamatan Kalibunder.
Baca Juga: Diam Tanpa Penyesalan, Polisi Sebut Kejiwaan Pembunuh Ibu Kandung di Kalibunder Sukabumi
Eli menjelaskan SDN Ciawi merupakan sekolah dasar binaan yang cukup berat tantangannya. Menurutnya, dari tahun ketahun selain siswa banyak yang Drop Out (DO), juga tingkat melanjutkan ke jenjang SMP, atau sederajat di wilayah itu, sangat rendah.
“Mereka banyak memilih untuk masantren atau mondok. Dari jumlah siswa SDN Ciawi yang lulus kelas 6, diperkirakan kurang dari 50 persen yang melanjutkan. Bahkan siswa SDN Ciawi banyak yang tidak efektif dalam belajar, sehingga banyak yang drop out, karena mereka memilih ngaji di Ponpes,” ujarnya.
"Padahal kami pihak sekolah telah memberikan keringan waktu agar setelah mengaji tetap pergi ke sekolah kendati terlambat masuk. Biasanya anak anak mengaji dari subuh, hingga pukul 07.30 WIB," tambahnya.
Pihak sekolah pun sudah berupaya, kata Eli, bahkan setiap mau ujian kelulusan sering kali menjemput anak anak agar bisa ujian dan lulus.
“Inilah yang menjadi kendala kami, kurangnya partisipasi orang tua, banyak kemungkinan penyebabnya, karena kesibukan bekerja, atau memang ada faktor lain. Bahkan mereka beranggapan cukup anaknya hanya bisa baca tulis saja, sehingga setelah kelas 2 atau kelas 3 sudah bisa baca tulis, banyak yang drop out,” ungkapnya.
Padahal pihaknya berharap di Desa Sekarsari ada keseimbangan antara pendidikan formal dan informal (agama). Hal itu dikarenakan menurutnya mengaji tidak akan mengganggu sekolah, begitu juga sebaliknya.
"Siswa SDN Ciawi kelas 6 tahun ini sudah mengikuti ujian ada 11 orang, jumlah semuanya sekitar 90, dengan pengajar 7, terdiri satu Kepsek, satu PNS, satu P3K, yang lainnya honor, mereka semua adalah luar warga Desa Sekarsari, karena mencari honor warga setempat sangat susah, minimal lulusan SLTA, bahkan saat mencari petugas TPS harus didrop dari luar Desa Sekarsari, karena minimnya lulusan SLTA," pungkasnya.