SUKABUMIUPDATE.com - Dua kasus pembunuhan berlatar belakang sodomi terjadi di Kabupaten Sukabumi dalam waktu yang cukup berdekatan. Peristiwa ini membuat masyarakat khawatir karena terduga pelaku adalah orang yang hadir dari dekat, meski terdapat perbedaan kronologi pada akhir cerita kedua perkara tersebut.
Kadudampit
Kasus pertama terjadi di Kecamatan Kadudampit. Siswa kelas VIII sekolah menengah pertama (SMP) berinisial S (14 tahun) nekat menghabisi nyawa tetangganya yakni MA (7 tahun), bocah laki-laki yang masih duduk di bangku kelas I sekolah dasar (SD). Tidak hanya membunuh, S juga diduga melakukan sodomi terhadap korban.
Tindakan sadis ini terbongkar saat MA ditemukan tewas di kebun pala milik warga pada 17 Maret 2024. Lokasi tersebut tidak jauh dari rumah terduga pelaku dan korban. Setelah diselidiki oleh kepolisian dengan memeriksa 17 saksi, ditemukan fakta, sehari sebelumnya MA menjadi korban sodomi dan pembunuhan.
Pada hari kejadian, sekira pukul 07.00 WIB, korban pergi ke rumah temannya berinisial H untuk menonton televisi, bersama temannya yang lain, termasuk terduga pelaku. Namun sekira pukul 08.30 WIB, korban pamit untuk mengambil buah pala ke kebun. Terduga pelaku lalu mengikutinya dan diduga telah menargetkan MA.
Baca Juga: Kronologi Sadisnya Siswa SMP di Kadudampit Sukabumi Sodomi dan Bunuh Bocah SD
Ketika situasi sepi, polisi menyebut terduga pelaku langsung melorotkan celana korban dari arah belakang. Celana yang dilorotkan itu digunakan terduga pelaku untuk melilit atau mencekik korban. Alhasil, korban berusaha melawan dan berlari dalam keadaan sudah lemas. Ketika situasi inilah terduga pelaku melakukan aksi sodominya.
Setelah aksi sodomi pertama, terduga pelaku meninggalkan korban. Namun tak lama, sekira pukul 11.00 WIB, dia kembali ke lokasi untuk memastikan korban meninggal. Terduga pelaku lalu mencekik korban menggunakan tangan hingga dipastikan tewas. Setelah korban meninggal, terduga pelaku melakukan aksi yang kedua.
Terduga pelaku mengaku pernah menjadi korban tindakan serupa. Tetapi polisi akan mendalaminya dengan memeriksa secara medis kejiwaan S dan lubang anusnya.
Palabuhanratu
Kasus kedua adalah di Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu. Ajo Sutarjo alias Ceceu (55 tahun), seorang asisten rumah tangga (pembantu), ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di rumah majikannya di sebuah perumahan di Desa Citepus. Dia menjadi korban pembunuhan pemuda berinisial A (20 tahun).
Polisi mengatakan terduga pelaku awalnya mendatangi Ceceu untuk mencari kerja. Keduanya telah saling mengenal dan terduga pelaku pernah bekerja di salah satu salon di Banten. Ketika itu, Jumat, 3 Mei 2024, terduga pelaku berangkat dari Banten ke Desa Citepus dengan ongkos Rp 100 ribu yang ditransfer oleh Ceceu.
Jumat sore Ceuceu menjemput terduga pelaku ke Terminal Palabuhanratu lalu mengajaknya makan. Setelah itu Ceuceu membawa korban ke rumahnya (tepatnya rumah majikan). Kedunya menginap di rumah tersebut. Singkatnya, Sabtu, 4 Mei 2024 sekira pukul 03.00 WIB, Ceuceu memaksa sodomi terduga pelaku.
Baca Juga: Niat Cari Kerja: Pelaku Tolak Sodomi hingga Duel Sebelum Bunuh Pria di Citepus Sukabumi
Ceuceu yang sudah dalam kondisi tidak menggunakan pakaian, langsung memeluk terduga pelaku yang sedang tertidur dan mengancamnya dengan pisau. Sebab tidak mau melayani korban dan tak pernah melakukan hal tersebut, terduga pelaku melawan dengan membalikkan pisau sehingga menusuk leher korban.
Duel sempat terjadi karena korban yakni Ceuceu masih melakukan perlawanan. Terduga pelaku diduga kembali menusuk Ceuceu sampai meninggal lalu melarikan diri. Terduga pelaku kabur dengan berjalan kaki dari perumahan tersebut menuju lampu lalu lintas Jalan Siliwangi Palabuhanratu untuk naik bus menuju Bogor.
Terduga pelaku merupakan warga Banten, tetapi memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Bogor. Dia dan korban saling mengenal karena korban pernah atau sering ke salon tempat terduga pelaku sebelumnya bekerja. Sabtu pagi sekira pukul 07.00 WIB, terduga pelaku A ditangkap dalam bus di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Menebak Pikiran
Joko Kristiyanto, konsultan psikologi asal Sukabumi ikut bersuara atas kedua kasus di atas. Terkait kasus pertama di Kecamatan Kadudampit, Joko mengatakan ada banyak motif yang mendorong terduga pelaku melakukan aksinya. Melihat usianya yang baru 14 tahun, Joko menilai terduga pelaku ada dalam kondisi pubertas yang tinggi.
"Kasus sodomi yang berakhir pembunuhan itu banyak motif. Apakah ini kategorinya sudah masuk parafilia, yakni perubahan perilaku menyimpang seksual, atau hanya salah satu bentuk eksistensi mengekspresikan seksual. Dilihat dari usianya, tampaknya ini akumulasi dari apa yang dia (terduga pelaku) lakukan. Bisa jadi pelaku tidak murni parafilia, tapi juga dari tontonan, tayangan, melihat sesuatu, kemudian mengambil langkah yang paling aman. Karena kalau misalkan dengan perempuan, bisa menghasilkan kehamilan (pikiran terduga pelaku)," kata Joko kepada sukabumiupdate.com, Senin (6/5/2024).
Alasan Joko tidak meyakini kasus ini sebagai parafilia murni adalah karena terduga pelaku masih dalam kondisi pubertas dan korbannya adalah anak kecil. Berbeda dengan pedofilia yang seharusnya dilakukan orang dewasa terhadap anak yang pra-pubertas. Joko menduga dalam perkara tersebut terdapat hubungan relasi kuasa karena kemungkinan melawan dari korban sangat kecil.
"Ini bicaranya relasi kuasa, makanya saya tidak terlalu yakin ini parafilia murni. Artinya, usia 14 tahun, laki-laki, sedang top-topnya masa pubertas. Jika dia sering menonton, melihat, mendengar, apakah dari tayangan atau apa pun, bisa menjadi sebuah inspirasi. Atau apakah dia pernah pacaran atau tidak. Itu memengaruhi cara berpikir tindakannya," ujar Joko yang juga pernah menempuh pendidikan psikologi di Universitas Indonesia, Universitas Erasmus Rotterdam Belanda, dan Universitas Auckland Selandia Baru.
"Lalu mengapa sampai dibunuh dan kembali melakukan aktivitas itu, berarti ada satu dorongan yang sudah sangat lama bahwa melakukan aktivitas seksual adalah sesuatu yang sangat puas. Bisa jadi ini aktivitas yang sangat didambakan. Makanya ketika korban sudah meninggal pun masih dilakukan. Berarti ada bentuk ingin mencapai tingkat kepuasan sehingga nafsu seksualnya dilakukan," tambahnya.
Joko mengungkapkan pihak terkait harus benar-benar mempelajari kondisi kejiwaan terduga pelaku untuk mengetahui apa yang ada di pikirannya. "Atau pelaku juga pernah menjadi korban sehingga ada sakit hati dan dendam yang ingin dilakukan tapi tidak tahu dilakukan ke siapa. Bisa juga dia menjadi korban bullying. Artinya potensi-potensi itu bisa terjadi kepada pelaku dan mencari siapa yang bisa (dijadikan objek) untuk melampiaskan kemarahannya. Kembali ini ada soal relasi kuasa," kata dia.
Sementara untuk kasus di Desa Citepus, Joko berpandangan ada dua masalah yang terjadi. Pertama soal seksual yang dialami secara kejiwaan oleh korban yaitu Ceuceu. Kedua adalah masalah tindakan kaget yang dirasakan terduga pelaku A. Joko menduga Ceuceu sudah membayangkan aktivitas seksual dengan imajinasinya yang sangat menyenangkan.
"Makanya korban (Ceuceu) membiayai terduga pelaku datang ke tempatnya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Jadi ini berbeda niat dan tujuan," katanya.
Joko menyebutkan Ceuceu juga tidak mengawali rencana sodominya dengan bujuk rayu atau komunikasi, namun melakukannya saat terduga pelaku tertidur pada malam hari. Situasi ini mengindikasikan antara terduga pelaku dan korban tidak memiliki tujuan yang sama atau dengan kata lain terduga pelaku bukan pasangannya.
"Saya lebih cenderung melihat, orang kalau dalam posisi tidur, lalu terbangun mendadak atau dalam bentuk yang membuatnya kaget, reaksinya bisa macam-macam. Bisa marah dan lain-lain. Apalagi korban sudah dalam terbuka bajunya. Terduga pelaku kaget dan melihat korban membawa senjata, dia pasti melakukan tindakan reaktif. Ketika itu yang dia pikirkan adalah menyelamatkan diri. Tapi ini menurut pandangan saya, tentu masih prematur," ujarnya.