SUKABUMIUPDATE.com - Serikat Petani Indonesia (SPI) kembali mengkritisi Program Reforma Agraria di Kabupaten Sukabumi. Salah satunya di Eks HGU PT Sugih Mukti Perkebunan Halimun, Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi, yang masih menyisakan banyak masalah.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sukabumi Rozak Daud mengatakan salah satu permasalahannya adalah dalam dalam hal penataan aset. Ia menyebut hanya bagus di atas kertas yang disuguhkan kepada atasan (Menteri), agar dianggap percontohan di bidang aksesnya (pemberdayaan).
Menurut Rozak, Reforma Agraria adalah mengatur dua poin yaitu terkait Penataan aset dan Penataan akses.
"Dalam penataan aset yang berkaitan dengan subjek dan objeknya masih terjadi tumpang tindih, istilahnya, seperti sertifikat mencari tanah. Karena existing objek tanahnya saat ini tidak ada perubahan masih dalam penguasaan penggarap masing-masing, dengan luasan asal. Karena tidak ada pegangan alas hak, sehingga penguasaan fisiknya oleh penggarap awal, sedangkan sertifikat bisa atas nama orang lain," kata Rozak kepada sukabumiupdate.com, Jumat (19/4/2024).
Baca Juga: DPRD dan Pemkab Sukabumi Gelar Rakor Bahas Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria
Padahal menurut Rozak, proses pembuktiannya sederhana, lakukan verifikasi subjek dan objek para penerimanya, hadirkan lokasinya masing-masing.
"Verifikasi lapangan ini untuk memastikan nama yang tertera di sertifikat adalah orang yang sama dengan nama yang tertera di sertifikat dan berikan fotocopynya, aslinya dijadikan jaminan permodalan secara kolektif. kalau mau diurus secara serius dan dianggap percontohan Nasional. Karena sampai sekarang belum dibagikan dengan alasan untuk jaminan permodalan. Sebab pada tahun 2019 itu hanya simbolis," jelasnya.
Kalau ditahan untuk jaminan permodalan itu sangat bagus karena sebagai bentuk komitmen akses reformnya. Tapi, kata Rozak, sebelum akses reform pastikan dengan jujur asset reformnya. "Kalaupun kekhawatiran bahwa takut dijual, sehingga ditahan untuk jaminan permodalan kenapa tidak dari awal saja diberikan kepemilikan komunal seperti usulan Serikat Petani Indonesia (SPI) pada saat itu melalui kasi Penataan Pertanahan BPN Sukabumi," imbuhnya.
"Informasinya keberadaan sertifikat masih simpang siur, katanya sebagian di BPN sebagian di salah satu Dinas. Kalau kepentingannya jaminan permodalan kenapa Sertifikat di pemerintah kan aneh. Sebab pemerintah bukan lembaga pemberi pinjaman," tambahnya.
Sehingga kami melihat, tutur Rozak, penahanan sertifikat itu bukan sekedar jaminan permodalan tetapi sebagai upaya menutupi kegagalan penataan asetnya.
Masih ada keyakinan dan harapan ke Menteri sekarang yang masih semangat muda. Menteri tidak hanya mendengar sepihak dari bawahannya di tingkat Kabupaten dan Provinsi, tetapi mau mendengar informasi pembanding dari publik, terutama organisasi petani yang sejak awal melakukan advokasi dan mengusulkan lahan tersebut untuk masyarakat.
Selanjutnya, Rozak juga menyinggung Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) lain yang gagal di Sukabumi adalah, HGB PT Suryanusa Nadicipta (SNN) Keamatan Caringin.
"Itu malah lebih parah, karena perpanjangan sudah terbit di Tahun 2021, sementara hak awalnya baru akan berakhir di Tahun 2024. Padahal, sebelumnya terjadi konflik dengan petani sampai ada yang dipenjara. Maka untuk PT SNN Caringin ini adalah pembajakan administrasi oleh Kantah dan Kanwil demi kepentingan pemodal, dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal," katanya.