SUKABUMIUPDATE.com - Busana berbahan shimmer saat ini viral karena menjadi tren baju lebaran 2024. Seperti diketahui, berburu baju lebaran telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Kebiasaan ini juga berlaku di Sukabumi.
Pada momen Idul Fitri, termasuk tahun ini, masyarakat Sukabumi lazimnya membeli baju baru yang sering disebut baju lebaran atau baju dulag. Tradisi ini tidak terlepas dari kebiasaan dahulu saat masuknya Islam ke tatar Sunda dengan pesat pada masa kerajaan Banten dan Mataram.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan pada abad 15 dan 16, dua kekuatan kerajaan pasca-Padjadjaran berebut pengaruh di Sukabumi melalui klaim penguasaan yang disebut presentasi, tak terkecuali pemerintahnya. Para pendakwah dari Banten dan Mataram juga banyak yang memasuki wilayah Sukabumi, bahkan menetap hingga akhir hayat.
"Itu terbukti dengan banyaknya makam-makam pendakwah Islam di Sukabumi yang berasal dari Banten dan Mataram," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.
Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story menyebut salah satu pengaruh Islam yang menjadi budaya adalah perayaan Idul Fitri (lebaran) dengan cara membeli baju baru. Seperti di Banten dan Mataram, kata Irman, budaya tersebut juga terjadi di Sukabumi, di mana masyarakat berbondong-bondong membeli baju lebaran.
"Sementara masyarakat yang kurang berada menjahit sendiri, karena sejak dulu masyarakat Sunda, terutama kaum perempuan, bisa melakukan banyak hal termasuk menjahit," ujarnya.
Baca Juga: Dikenal Sejak Zaman Belanda, Membaca Sejarah Mudik Lebaran di Sukabumi
Budaya ini terus berlangsung hingga ketika Sukabumi dikuasai Belanda. Di masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), orang Belanda keliru menyebut Idul Fitri sebagai Mohammedans Nieuw Jaar (tahun baru kaum Muhammad/Islam) karena keramaiannya mirip tahun baru di Eropa.
Selain di Islam, tradisi membeli baju baru juga dilakukan penganut agama lain saat itu seperti ketika Natal dan Imlek, seolah kebiasaan ini umum saat perayaan keagamaan. "Orang Belanda lambat laun bisa membedakan Idul Fitri dan tahun baru, sehingga penyebutannya dengan lebaran seperti yang biasa diucapkan masyarakat," kata Irman.
Irman menjelaskan Christiaan Snouck Hurgronje yang pernah mengunjungi Sukabumi pada 16 Juli 1889, dalam suratnya untuk Direktur Pemerintahan Dalam Negeri menyebut perayaan lebaran pasti disertai hidangan khusus, saling mengunjungi, hiburan yang menggembirakan, dan membeli pakaian baru.
"Soal baju ini merupakan kebiasaan lokal yang juga direkam oleh kawan karibnya yaitu Moehamad Moesa dalam kisah rakyat yang ditulisnya berupa buku berjudul Dongeng Pientengen, "ari maneh make badjoe ges boeroek, lamoen tatjan nepi ka oesoem lebaran dei, mowal wara dipangnjijenken dei badjoe-takwa ! (Kamu memakai baju jelek, jika belum sampai ke lebaran lagi maka tidak akan dibuatkan baju takwa)."
Selain Moesa, lanjut Irman, pada 1933 penulis Belanda bernama J Kats juga menyebutkan hal yang hampir sama dalam Spraakkunst en Taaleigen van het Soendaasch: "Dina waktoe lebaran biasa pisan baroedak mah sok pagin.din-ginding, paaloe-aloes badjoe atawa samping".
Bahkan Franciscus Maria Gescher dalam Indie: Schetsen over onze kolonien in Oost-Indie menyebut istilah baju baru yang disiapkan untuk lebaran (Voor lebaran om schoone sarongs, nieuwe badjoes, een kabajaspeld en nog veel meer te koopen).
"Kebiasaan membeli baju lebaran juga pada akhirnya menjadikan masyarakat melakukan persiapan. Bagi para petani tentunya hasil penjualan pertanian disimpan sebagian untuk membeli baju lebaran atau membeli bahan dan dijahitnya sendiri," katanya.
Sementara bagi para karyawan, biasanya meminta uang muka gaji agar bisa membeli keperluan, termasuk baju baru menjelang Idul Fitri.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka karyawan ada yang memilih mogok bekerja, salah satunya pemogokan di pabrik tenun di Sukabumi pada November 1929. Itu diberitakan Bataviaasch Nieuwsblaad yang menceritakan 50 penenun mogok kerja karena uang muka gaji menjelang lebaran ditolak dibayarkan oleh pemilik perusahaan.
"Kebiasaan memakai baju lebaran ini juga tetap menjadi perhatian khusus meski pada zaman peperangan pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan," kata Irman.
"Ketika pasukan United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) berada di Sukabumi sekitar lebaran September 1947, mereka membagikan pakaian baru untuk menarik simpati karena melihat pakaian orang-orang, terutama anak-anak, yang compang-camping akibat perang," sebutnya.
Kebiasaan membeli baju lebaran terus berlangsung di masa kemerdekaan, apalagi sejak diaturnya tunjangan hari raya bagi pegawai negeri pada 1964 dan untuk swasta lima tahun kemudian. "Maka membeli baju lebaran seolah menjadi tradisi wajib yang disisihkan dari tunjangan hari raya maupun sisa usaha," ujar Irman.