SUKABUMIUPDATE.com - Kisah guru honorer asal Sukabumi, Alvi Noviardi (56 tahun), ini bisa menjadi inspirasi perjuangan seorang guru yang mengabdi tanpa balasan.
Warga Kampung Bantar Muncang RT 03/07 Desa Sekarwangi, Kabupaten Sukabumi itu setiap harinya terpaksa menyambi sebagai pemulung barang bekas selepas mengajar.
Pekerjaan itu ia lakukan lantaran penghasilannya sebagai guru honorer tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan membiayai kedua anaknya. Upahnya sebagai guru honorer hanya Rp 10 ribu per jam atau Rp 120 ribu per bulan.
Alvi merupakan seorang guru honorer di MA Riyadlul Jannah dan MTSS Hidayatul Islamiyah, Kota Sukabumi. Dia mengabdikan diri pada dunia pendidikan sudah 36 tahun sebagai guru mata pelajaran IPS dan sejarah.
"Karena syarat untuk mendapatkan sertifikasi tunjangan dari Kemenag mengharuskan mengajar di dua sekolah. Dalam sebulan diberikan insentif Rp 1,5 juta," ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Minggu (24/3/2024).
Alvi selalu berangkat lebih awal setiap hari lantaran jarak dari tempat tinggal ke sekolahnya mengajar membutuhkan waktu sekitar satu jam. Dia harus naik turun angkutan kota tiga kali.
"Seminggu 12 jam, ongkosnya kurang lebih Rp 900 ribu ke satu sekolah itu dalam sebulannya. Kalau dua sekolah udah Rp 1.8 juta perbulannya, melebihi dari gaji honor," kata pria paruh baya lulusan STKIP PGRI Sukabumi tahun 1995 itu.
"Untuk membagi waktunya, Senin dan Rabu di sekolah MA Riyadlul Jannah, dua hari yaitu Kamis dan Jumat di MTSS Hidayatul Islamiyah, sisanya dua hari juga saya di rumah," tambahnya.
Usai memberikan pelajaran terhadap murid-muridnya, Alvi biasanya mengeluarkan sebuah karung yang ada di dalam tasnya, lalu dia berjalan kaki sambil mencari barang bekas yang ada di pinggiran jalan mau pun tempat-tempat sampah.
Karung tersebut ia gunakan sebagai tempat menyimpan barang bekas seperti botol plastik, kardus, dan barang lainnya yang nanti ia jual.
"Saya kumpulin dulu selama seninggu, nanti dijual, hasil dari menjual rongsok seminggu Rp 50 ribu. Itu udah pendapatan paling besar," paparnya.
Baca Juga: Cerita Guru Honorer Sukabumi Berusia 58 Tahun Berjuang untuk Kejelasan Nasib
Menurut dia, menjalani dua profesi yang berbeda ini terpaksa ia lakukan. Sebab, penghasilan dari seorang guru honorer tidak cukup untuk membiaya kedua anaknya yang salah satunya masih sekolah.
Alvi diketahui menikah pada tahun 2001, istrinya dulu sama-sama seorang pendidik, namun telah meninggal dunia sekira 3 tahun yang lalu, lantaran mengidap kanker payudara.
"Kalau mulung itu hak setiap orang, saat saya mulai inisiatif mencari sampingan, saat saya mulai mulung itu karena kebutuhan ekonomi. Sampai saya pernah pinjam uang, yang sampai hari ini belum lunas," ujarnya.
Sebetulnya Alvi menginginkan buka lapak barang rongsok, hanya saja Alvi terkendala pada modal. Ia menyatakan, untuk membuka lapak tersebut membutuhkan dana yang cukup besar.
"Saya inginnya sebagai penerima rongsok dijual ke yang lebih gede lagi, sambil memberdayakan tenaga para remaja di sini yang masih menganggur. Tujuannya ke sana, dapur akan saya jadikan gudang, harus punya sekira Rp 10 juta," beber Alvi.
Meskipun banyak yang mencibir, Alvi tak menghiraukan orang lain, menurutnya, pekerjaan sebagai seorang pemulung sangatlah mulia, maka dari itu dia tetap melakukannya dengan rasa semangat demi menyukseskan kedua anaknya kelak.
"Saya anggap ambil yang positifnya saja, karena pekerjaaan mulung dan mengajar adalah pekerjaan mulia, buat apa malu asal jangan mencuri, selama ini dukungan keluarga, khususnya anak memberi semangat," ungkapnya.
Dia berpesan kepada anak-anak muda atau generasi sekarang agar terus berjuang, kejarlah cita-cita setinggi langit, karena negara sangat membutuhkan kalian.
"Jangan diam berdiri dan pantang menyerah. Bagi anak-anak terus aja berjuang karena negara sangat membutuhkan generasi seperti kalian," pungkasnya.