SUKABUMIUPDATE.com - Tak lama lagi umat Islam di Indonesia, termasuk Sukabumi, akan menjalani ibadah puasa Ramadhan. Sejumlah tradisi biasa dilakukan masyarakat dalam menyambut bulan suci ini, salah satunya papajar.
Papajar saat ini dipahami sebagai tradisi untuk melakukan rekreasi menjelang datangnya bulan Ramadhan. Di Sukabumi sendiri papajar pada umumnya dilakukan ke wilayah wisata pantai Palabuhanratu atau beberapa tempat wisata lainnya.
Secara teknis, saat papajar biasanya keluarga membawa makanan (seperti nasi timbel lengkap dengan lauknya) ke tempat rekreasi dan makan bersama di sana, baik di rerumputan maupun membawa tikar yang digelar di atas pasir pantai.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan tradisi itu memang berakar dari kebiasaan masyarakat Sukabumi, meski sedikit mengalami pergeseran.
Papajar konon berasal dari istilah mapag pajar yang tidak lain adalah fajar Ramadhan. Tak jarang istilah ini juga disebut munggahan, meski secara spesifik agak berbeda.
Baca Juga: Sambut Papajar, Pesona Curug Sodong Sukabumi dengan Air Normal Usai Kemarau
Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" mengungkapkan tradisi papajar tidak hanya berkembang di Sukabumi, namun juga di Cianjur, Padalarang, dan Purwakarta.
Hal itu dimungkinkan karena pengaruh Cianjur yang pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) merupakan pusat kekuasaan lokal yang masih kuat, terutama di wilayah Sunda bagian Selatan.
"Pada 1724 di masa kekuasaan Wiratanudatar III, wilayah Cianjur cukup luas, karena selain wilayah Sukabumi menjadi bagian dari wilayah Cianjur, sebagian wilayah kampung baru (Bogor) dan basisir kidul juga masuk ke dalam kekuasaan Cianjur," kata Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare.
Cianjur yang merupakan simbol kekuasaan Sunda dan bercirikan keislaman, saat itu memiliki tradisi mengumumkan waktu Ramadhan di Masjid Agung.
Para ulama dan sebagian masyarakat biasanya menunggu hasil keputusan pemerintah dengan berkumpul di masjid, saling bermaafan, dan membawa makanan. Di sana lah mereka menunggu keputusan sambil makan bersama.
Tradisi ini kemudian berkembang ke seluruh wilayah Cianjur dan perbatasannya yang saat itu disebut Jampang, Cidamar, Cihea, Cikalong. Sehingga tak mengherankan jika sebagian wilayah Batulayang (selatan Bandung dan perbatasan Garut) hingga Utara Cibalagung dan Cikalong (sebagian wilayah Purwakarta sekarang) terpengaruh oleh tradisi papajar ini.
"Tradisi ini terus berkembang, tak hanya berkumpul di masjid, namun ada pula yang ke kuburan berziarah ke makam keluarga maupun ke tempat tertentu untuk bersantai dan makan bersama keluarga," lanjut Irman.
Selain memohon doa dan meminta maaf, salah satu kategori papajar ini seolah sebagai ajang memuaskan diri, terutama makan minum sebelum munculnya pembatasan di bulan Ramadhan.
Sebenarnya durasi papajar bisa dalam masa sebulan sebelum memasuki bulan Ramadhan dengan aktivitas piknik atau makan bersama sebelum nanti dilarang karena harus menjalani ibadah puasa.
Namun konsep papajar semakin berkembang, di mana semula hampir sama dengan munggahan karena dilakukan sehari sebelum Ramadhan, saat ini durasinya berubah menjadi sekitar seminggu sebelum Ramadhan karena masyarakat menyesuaikan waktunya dengan libur maupun cuti.
"Tradisi ini muncul kembali secara ramai pada 1980-an dan terus dilakukan hingga sekarang. Palabuhanratu tidak hanya menjadi favorit papajar masyarakat Sukabumi, tetapi juga masyarakat Cianjur dan sebagian Bandung," kata Irman.
Pada faktanya tradisi ini kemudian menjadi potensi pariwisata di sekitar bulan Ramadhan, seperti juga tradisi ngabuburit dan mudik.