SUKABUMIUPDATE.com - Enam puluh tahun lalu, 6 Februari 1964, Buya Hamka menjalani pemeriksaan kelima dalam masa penahanannya di Sukabumi. Laki-laki bernama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah ini dipenjara karena dianggap berbahaya oleh rezim Orde Lama. Hamka merupakan sosok ulama independen, jurnalis, penulis, sastrawan, dan anggota Muhammadiyah. Perjalanan hidupnya diangkat menjadi film biografi yang tayang di bioskop pada 2023.
Hamka adalah ulama besar yang ditahan di Sukabumi lantaran dianggap berbahaya. Perisiwa ini juga sempat menimpa ayahnya, Abdul Karim Amrullah atau biasa disebut Haji Rasul, pada waktu penjajahan Belanda. Sekitar tahun 1941, Haji Rasul dibuang ke Sukabumi, tepatnya di Jalan Cikiray, belakang sekolah Mardi Yuana (MY), bersama istri dan adik Hamka yaitu Abdul Wadud Karim Amrullah yang kemudian hari menjadi pendeta Kristen di Amerika Serikat.
Fitnah Rapat Gelap
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan Hamka merasakan apa yang dialami ayahnya akibat ketegasan dia dalam berdakwah. Pada 1960-an, kata Irman, politik di Indonesia memanas akibat pertentangan partai Islam dan partai Komunis. Hamka yang juga politisi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), tak luput dari bidikan partai Komunis yang saat itu menguasai pemerintah. Salah satunya lewat BPI (Badan Pusat Intelijen), yang menuduhnya melakukan pertemuan jahat pada 11 Oktober 1963 di Mauk, Tangerang. Peristiwa yang sebenarnya adalah hajatan seorang tokoh Masyumi.
Hamka dan rekan-rekannya yang lain yakni Ghazali Shahlan, Yusuf Wibisono, dan Kasman Singodimedjo, difitnah mengadakan rapat gelap merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dan menteri agama ketika itu yakni Syaifuddin Zuhri. Mereka dianggap melanggar Penetapan Presiden Nomor 11 dan Nomor 13 Tahun 1963 tentang Anti-Subversif dan soal larangan mendengar siaran radio dan televisi Malaysia.
Hamka akhirnya ditangkap pada Senin, 12 Ramadhan 1385 Hijriah, saat polisi berpakaian preman datang membawa surat perintah penahanan dan melakukan penggeledahan. Ketika Hamka dibawa, istrinya pingsan dan keluarganya tidak diberi tahu ke mana akan dibawa.
Baca Juga: Buya Hamka 15 Hari 15 Malam Ditahan di Sukabumi, Dipaksa Mengakui Fitnah Kudeta
Irman menyebut Hamka dibawa ke departemen angkatan kepolisian (DEPAK) selama dua jam. Selanjutnya dibawa ke Cimacan Bogor dan ditahan di Puncak di sebuah bungalo milik polisi Bernama Harlina (Villa Harlina) hingga 31 Januari 1964. Sore hari di tanggal itu, Hamka dijemput polisi dan singgah sebentar di Villa Harjuna, tempat Kasman Singodimedjo sudah ditahan dua bulan lebih. Hamka lalu dibawa ke sekolah kepolisian Sukabumi dan tiba saat berbuka puasa.
Malam itu Hamka diberi tahu bahwa pada Sabtu, 1 Februari 1964, akan mulai diperiksa di sekolah kepolisian (saat ini Setukpa Polri) di Sukabumi. Hamka ditempatkan di ruangan bekas Villa Van Delden di kompleks sekolah polisi (sekarang lokasinya menjadi lapangan tenis). Bangunan ini pada masa pendudukan Belanda sempat dijadikan penjara para pejuang sebelum dieksekusi di Takokak, Cianjur.
Keesokan harinya, pukul 07.00 WIB, 1 Februari 1964, status penahanan Hamka diserahkan kepada tim pemeriksa bernama Soedakso untuk menjalankan tugas mereka. Para pemeriksa berjumlah 20 orang berpangkat inspektur polisi dengan wajah yang tidak bersahabat. Pemeriksa bergantian masing-masing dua orang selama tiga jam, kemudian diganti dua orang lagi dan berlangsung pagi, sore, hingga malam. Hamka menyebutkan dia ditanya 1.001 pertanyaan alias banyak pertanyaan yang dilontarkan selama 15 hari 15 malam.
"Hamka ditanyai segala macam, mulai biodata, pendidikan, pergaulan, partai, bahkan tuduhan-tuduhan gelap menentang pemerintah Soekarno dan penggulingan pemerintah yang sah melalui perkumpulan GAS (Gerakan Anti Soekarno). Tuduhan itu atas keterangan Zawawi dan Ghazali Shahlan yang sudah ditahan sebelumnya," kata Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story kepada sukabumiupdate.com.
Hamka diberi tahu oleh pemeriksa bahwa Ghazali Shahlan yang juga ditahan di sekolah angkatan kepolisian, awalnya membantah semua tuduhan, namun sekarang sudah mengaku dan disarankan kepada Hamka untuk turut mengaku. Pemeriksaan ini dilakukan dengan kurang etika karena Hamka dibentak-bentak dan dicaci maki layaknya narapidana pencurian. Tetapi, Hamka tetap membantah dan menganggap Zawawi dan Ghazali Shalan telah disiksa dan dipukuli sampai terpaksa berbohong.
Hamka yang ditahan dalam keadaan berpuasa terus mendapat tekanan saat diperiksa. Lantaran terus membantah, maka pada Senin pukul 03.30 WIB, 3 Februari 1964, Hamka dipertemukan dengan Overste Nasuhi (kawan Hamka). Nasuhi menyampaikan Hamka ikut dalam rapat gelap di Tangerang. Tampaknya Overste Nasuhi juga telah dipaksa polisi untuk mengarang pengakuan.
Pemeriksa Bernama Mutjokusumo terus menekan supaya Hamka mengaku, namun berulang kali Hamka membantah karena tidak merasa melakukan pertemuan gelap. Dalam kesempatan pemeriksaan itu, Overste Nasuhi sempat berbisik kepada Hamka bahwa biang keladi fitnah adalah pemuda rakyat bernama Hasan Suri.
Secara total Hamka ditahan di Sukabumi selama satu bulan delapan hari. Adapun pernyataan Hamka soal diperiksa 15 hari 15 malam, belum termasuk waktu libur dan sebagainya.
Kisah terus berlanjut. Tak lama kemudian, Hamka juga menerima surat dari Ghazali Shahlan yang dititipkan ke pengantar makanan yang menyebut hal yang sama bahwa Hasan Suri adalah pelaku yang memfitnah mereka semua dan posisi Hasan Suri juga sama-sama ditangkap. Hamka sering menangis di penjara Sukabumi dan berdoa diberi kekuatan karena merasa difitnah hal keji yang tidak pernah dia lakukan.
Suatu hari, Hamka diperiksa polisi bengis bernama Gondo. Dengan nada menghina, Hamka diminta mengaku tentang pertemuan di Tangerang serta dituduh menerima surat dari Abdul Rahman (Perdana Menteri Malaysia) dan menerima uang 4 juta. Hamka disebut pengkhianat yang membela Malaysia dan berencana mengadakan kudeta pemerintahan yang sah dan ingin membunuh Presiden Soekarno. Gondo juga menyebut rekan Hamka yaitu Dalari Umar menyimpan empat peti granat untuk dilemparkan kepada Bung Karno.
Tuduhan tersebut menyebabkan emosi Hamka memuncak. Namun, Hamka sadar dia sengaja diprovokasi untuk melawan dan kemungkinan akan ditembak jika melakukan itu. Hamka tetap membantah dengan bersumpah. Gondo menyatakan semua bukti sudah ada, tetapi Hamka dituduh telah menghilangkan bukti karena informasi penangkapan telah bocor. Gondo selanjutnya mengarahkan pemeriksaan tentang Masyumi yang anti-Pancasila. Hamka menjelaskan terus Masyumi tidak anti-Pancasila. Namun, Gondo menghardiknya dengan kata-kata kasar hingga Hamka lelah.
Hamka yang tak pernah tidur dalam pemeriksaan semakin lemah dan kurus. Overste Nasuhi sempat menyarankan untuk mengaku guna menghindari siksaan pukulan dan sengatan listrik, karena kabarnya Ghazali juga disetrum. Pada 5 Februari 1962, Hamka dihadapkan dengan dua anggota polisi perintis yang badannya tegap, sepertinya penyiksaan akan dimulai. Ketua tim pemeriksa menyarankan untuk segera mengaku untuk kebaikan Hamka. Hamka lalu berpikir untuk mengakui demi menghindari siksaan dan nanti membantahnya di depan hakim.
Pemeriksaan itu berlangsung hingga dini hari, di mana Hamka masih bersikeras membantah. Kemudian pukul 03.00 WIB, 6 Februari 1964 (pemeriksaan kelima di mana satu pemeriksaan bisa berlangsung lebih dari sehari semalam), Hamka lagi-lagi diminta mengaku oleh tim pemeriksa bernama Muljo. Hamka diminta mengakui turut campur dalam gerakan rahasia hendak membunuh Presiden Soekarno. Akhirnya Hamka yang sudah kelelahan fisik dan batin mengalah dengan satu kalimat: "Silakan saudara Siregar mengarang cerita dan saya akan menandatanganinya". Akhirnya sekira pukul 13.00 WIB, pemeriksaan tersebut selesai.
Tetapi, malam harinya pukul 20.00 WIB, Hamka diperiksa oleh Inspektur Muljokusumo dan Inspektur Sufanir. Mereka membawa bungkusan yang di kemudian hari diketahui adalah alat penyetrum. Hamka dimaki dan dihina sebagai pembohong dan dia diancam bahwa polisi sudah berpengalaman untuk membuat pembohong mengaku dengan berbagai cara.
Hamka menjelaskan tadi siang dia sudah mengaku kepada Siregar dan Hamka meminta jangan lagi ditekan karena dia hanya perlu dua hari untuk menyusun ceritanya. Akhirnya polisi mulai melunak dan selama dua hari (Minggu dan Senin), Hamka tidak lagi diganggu. Pada Minggu pagi, Muljokusumo mendatangi Hamka dan memberinya beberapa lembar kertas untuk cerita pengakuan. Hamka yang juga novelis dengan mudah membuat cerita seolah menulis novel.
Terpaksa Menulis Kisah Palsu
Akhirnya Hamka menulis kisah palsu di mana rapat gelap diawali dari rumahnya sendiri pada Selasa malam, 1 Oktober 1963 yang dihadiri Mayor Amiruddin Siregar, Ghazali Shahlan, Zawawi, dan Dalari Umar. Dalam pertemuan itu yang dibahas adalah tentang peningkatan keaktifan pemuda Muhammadiyah dan dukungan terhadap Malaysia dari segi kebudayaan. Hamka sengaja tidak menyebut Yusuf Wibisono dan Kasman Singodimedjo.
Kemudian Hamka mengarang lagi atas pengakuan Zawawi yang dia baca, bahwa 10 Oktober 1963, selepas Magrib, lima orang tadi rapat kembali di Tangerang. Meskipun aslinya yang dia ketahui adalah acara tahlilan karena wafatnya Mualim Saleh yang tidak dia hadiri. Hamka juga tak menyebutkan Kasman Singodimedjo. Yang disebutkan adalah nama-nama yang sering ditanyakan pemeriksa supaya ceritanya sesuai yaitu H Abdurrahman Ali, Hamidullah, Hasan Suri, Mayor Amiruddin Siregar, Dalari Umar, Zawawi, dan Overste Nasuhi.
Sebenarnya Hamka khawatir dengan nama-nama itu karena sebagian tak pernah mengenalnya, namun disebut hanya karena pemeriksa sering menyampaikannya sebagai kronologi.
Hamka menyerahkan tulisannya pada Selasa pagi yang kemudian diketik oleh seorang petugas. Hamka kembali diperiksa mengenai detail kejadian bahkan hingga bentuk rumah dan perkakas secara rinci. Hamka benar-benar mengarang dan menjawab asal saja yang dia ingat. Petugas terus mendesak tentang keberadaan Kasman Singodimedjo dan Gazai Shahlan, tetapi Hamka tetap membantah dan menyebut Kasman dan Yusuf tak mau hadir karena menganggap tahlilan sebagai bidah.
Kebenaran yang Terungkap
Cerita Hamka akhirnya tiba kepada siapa pengusul pembunuhan terhadap Bung Karno. Hamka menyebut nama Hasan Suri yang mengusulkan, namun ditiolak semua peserta rapat. Hasan Suri pula yang mengusulkan kudeta yang ditolak oleh Overste Nasuhi. Ini disebutkan sebagai skenario Hamka untuk menjebak pelaku fitnah yang menjebloskan mereka semua ke penjara.
Hamka kemudian ditanya tentang surat dari Tengku Abdul Rahman Malaysia yang dititipkan kepada spion malaysia bernama Mohammad Nazir yang ditujukan kepada Hamidullah dan Dalari Umar. Hamka mengakui semua ditujukan kepada dirinya, bukan mereka.
Hamka sedikit bernapas lega karena pemeriksaan tidak lagi keras sehingga beliau bisa fokus ibadah dan mulai membuat karya yaitu Tafsir Al-Azhar.
Menjelang lebaran, keluarganya sudah mengetahui keberadaan Hamka dan diberi kesempatan bertemu ayah di sekolah kepolisian Sukabumi. Akhirnya istri dan anak-anaknya berangkat ke Sukabumi dengan mobil yang sering mogok. Mereka menunggu selama satu jam di aula sekolah kepolisian Sukabumi, hingga Hamka datang dikawal polisi berwajah garang.
Saat ditemui di aula sekolah polisi, kondisi Hamka kurus dan kulitnya menghitam. Mereka berbincang selama satu jam di bawah pengawasan polisi dan dilarang berbahasa daerah supaya bisa dimengerti. Dari penjelasannya, Hamka menyebut para polisi itu sebagai Gestapo untuk menggambarkan kekejamannya.
Meskipun Hamka sudah mengaku, suatu saat polisi Muljokusumo masih mencoba menjebak dengan menanyakan orang-orang di kedutaan besar Inggris. Hamka menyebut tidak ada yang kenal kecuali atase kebudayaan RPA Dr Mahmoud Ridwan. Hamka menyadari pertanyaan ini untuk mengarahkan Hamka terlibat dalam gerakan subversif Nekolim. Sesudah pertanyaan itu Hamka akhirnya tak lagi ditanya yang berat-berat, hanya profil orang-orang yang disebut yang bisa dijelaskan oleh Hamka dengan mudah.
Akhirnya, pada Selasa malam, 24 Maret 1964, masuklah Inspektur Siregar ke kamar tahanan Hamka dan berbisik bahwa para anggota pemeriksa sebenarnya sudah menyimpulkan kasus ini tidak ada dan hanya fitnah. Dia meminta maaf karena sudah berbuat kasar dan meminta beliau bersabar dan merahasiakan informasi ini.
Pada Rabu malam, 25 Maret 1964, Inspektur Soedakso dan Inspektur Sujarwo mulai bersikap manis dan menunjukan fotokopi surat yang dikirim Hamka ke Bung karno, Menko Ruslan Abdulgani, Menko Jenderal Nasution, Menko H Muljadi Dojomartono, dan KH Fakih usman. Mereka bertanya dengan nada santai kapan Hamka punya wakyu menulis surat itu. Ternyata surat-surat tersebut tidak sampai dan ditahan oleh petugas untuk keluar. Hamka ditanyai apakah akan mencabut surat itu? Hamka menjawab tegas tidak akan dicabut.
Kemudian Senin pukul 05.00 WIB, 30 Maret 1964, Inspektur Muljono meminta Hamka berpakaian karena akan diajak ke Tangerang untuk rekonstruksi. Pukul 07.00 WIB, mereka berangkat dari Sukabumi dan mampir di Mayestik untuk menjemput petugas polisi yang membantu rekonstruksi. Hamka lalu dibawa ke rumahnya sendiri di Jalan Raden Fatah untuk rekonstruksi rapat gelap 1 Oktober 1964. Karena rumahnya sendiri, maka Hamka dengan mudah menjelaskan peristiwa yang dikarangnya.
Namun kemudian Hamka dibawa ke Tangerang untuk menunjukkan rumah tempat rapat gelap berikutnya. Sebab Hamka memang tak pernah melakukan rapat gelap, Hamka bingung menjelaskan dan hanya menjawab bahwa dia lupa tempatnya karena gelap. Akhirnya sebuah rumah ditunjukkan, tetapi sayangnya berbeda dengan pengakuan Hamka dalam pemeriksaan seperti detail gorden tikar, arah rumah, dan lainnya karena memang Hamka mengarang cerita.
Selepas itu, Hamka Kembali ke Sukabumi dan para polisi berubah sikapnya menjadi baik. Sebagian ada yang memberi makanan dan sebagian lagi ada yang meminta diajarkan doa dan minta didoakan. Hal yang sama juga diberikan kepada Ghazali Shalan yang sempat datang dan meminta doa.
Seorang agen polisi bernama Sakirman asal Tasikmalaya yang menjaga Hamka sendirian pernah berkata sambil menangis. Dia menyebutkan alasan Muljokusumo meminta diajarkan doa karena dia merasa bersalah pernah bersama Sulfanir membentak-bentak Hamka sambil membawa bungkusan untuk menyetrum Hamka jika tak mau mengaku. Polisi tersebut berdoa sambil menangis supaya Hamka selamat karena tahu Hamka tidak bersalah. Mereka menyadari kekeliruannya.
Tanggal 8 April 1964, Hamka dan Ghazali Shahlan dipindahkan ke Cimacan Bogor. Dari pernyataannya, Ghazali ternyata pernah disiksa, ditendang, dipukul, dan disetrum selama pemeriksaan di Sukabumi supaya mengaku. Dua hari kemudian mereka dipindahkan ke Villa Harjuna milik seorang perwira polisi. Di sana mereka diserahterimakan sebagai tahanan DEPAK. Pemeriksa DEPAK menanyai Hamka tentang keterlibatannya dalam gerakan subversif di Pontianak dan juga materi kuliahnya di IAIN Ciputat.
Sebenarnya, peristiwa pertama adalah undangan Konferensi Muhammadiyah yang tidak dapat dihadiri karena di Pontianak malah sakit. Kedua adalah soal dakwah, jawaban Hamka dibuat secara tertulis.
Kondisi di vila sangat sepi sehingga pada 15 Juni 1964 Hamka meminta pindah kembali ke Sukabumi. Tetapi, akhirnya Hamka dipindahkan ke Markas Brimob Megamendung.
Selanjutnya pada 24 Juli 1964, Hamka menandatangani berkas-berkas acara pemeriksaan dan menjalani hidup sebagai tahanan DEPAK yang ditempatkan di asrama Brimob Megamendung. Namun penyakit ambeiennya kambuh sehingga dilaporkan ke sekolah angkatan kepolisian Sukabumi dan akhirnya keluarganya diminta menjemput.
Pada 8 Agustus 1964, Hamka dibawa ke RS Persahabatan Rawamangun dengan status sebagai tahanan DEPAK. Hamka masih menjalani tahanan di rumah sakit atas rekomendasi dokter yang tak boleh memindahkan Hamka te tempat lain.
Akhirnya Hamka pulang ke rumahnya di Jalan Raden Fatah pada 22 Januari 1966. Mulai 1 Februari 1966, Hamka menjalani status tahanan rumah di rumahnya sendiri selama dua bulan, disusul dengan status tahanan kota dua bulan hingga dibebaskan pada 1 Juli 1966.