SUKABUMIUPDATE.com - Viral temuan yang diduga berkaitan dengan peninggalan sejarah masa lampau di kawasan Gunung Walat, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Di lokasi tersebut ditemukan batuan mirip punden berundak, arca, hingga bekas tapak kaki di atas batu.
Menanggapi temuan tersebut, penulis sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah membenarkan bahwa temuan “Situs” yang dimaksud itu. Irman menyebut sebagian masyarakat juga menduga bahwa itu adalah peninggalan sejarah, namun perlu kajian khusus oleh ahlinya, mengingat gunung walat didominasi oleh batu pasir Eosen yang umumnya berupa balok menonjol dari lereng bukit.
Menurut Irman, retakan dari batuan tersebut yang kemudian terpisah biasanya membentuk seolah mirip bentukan tertentu. Ukurannya bisa sangat bervariasi mulai kecil hingga besar, bahkan ada yang menjadi halus karena hancur.
Karena kondisi inilah maka di zaman kolonial sebagian batu yang hancur berupa pasir kuarsa banyak diekstraksi warga sekitar untuk dijadikan ubin. Maka tak heran di Cibadak sempat ada pabrik ubin milik orang eropa dengan sumber batuannya dari Gunung Walat.
"Jika menggunakan metode studi Pustaka memang belum pernah ada informasi khusus terkait batuan yang disebutkan. Biasanya temuan-temuan purbakala di masa Belanda yang dipublikasi, merupakan penelitian yang dibantu oleh perkebunan-perkebunan yang membuka lahan atau penduduk yang melaporkan," kata Irman dalam keterangannya kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (20/1/2024).
Baca Juga: Listrik Meleduk di Jalan Nasional, Pohon Jengjeng Tumbang di Cibitung Sukabumi
Ia menjelaskan, beberapa perkebunan yang sempat mengelola gunung walat adalah milik NV Handel en Cultuur Mij, tahun 1938. Kemudian Onderneming Gunung Walet yang dikelola oleh GE Hoffman. Tahun 1913.
Namun, kata dia, belum pernah ada laporan terkait benda-benda yang dikonfirmasi sebagai benda prasejarah ataupun bersejarah disitu. Orang Belanda sendiri seringkali menyebut istilah Gunung Walat dengan nama Gunung Walet, misalnya penulis F. De Haan, dalam buku Priangan menyebutnya dengan nama Gunung Walet.
Laporan yang dominan terkait gunung walat, tambah dia, justru dari potensi penambangannya, gunung ini pula selain Cisaat yang menjadi alasan jalur kereta api Bogor-Bandung dibangun mulai tahun 1881 karena ditengarai terdapat sumber bahan bakar kereta api yaitu Batu Bara. Meskipun ternyata kualitas batu baranya rendah, penelitian batu bara di gunung walat tetap dilakukan hingga tahun 1922, yang ditemukan hanya lapisan batubara tipis sekitar 32 cm di kampung Cibatu, Gunung Walat.
Dalam temuan Irman, Gunung walat ini ternyata sudah dikunjungi oleh banyak geologist belanda sebelum abad-20, tercatat dalam buku geologische beschrijving van java en madoera oleh Verbeek dan fENnema, tahun 1896. Penelitian tersebut berkaitan dengan eksplorasi minyak.
Baca Juga: Absen Baraya Sukabumi Story Viral di TikTok, Palabuhanratu hingga Goalpara!
"Gunung walat ini memang unik, secara geologi sesar/patahan mendatar cimandiri, yang didarat memanjang dari pelabuhan ratu sampai padalarang telah mengangkat beberapa lipatan antiklin di sekitar cibadak sukabumi terhadap sesar cimandiri, salah satu lipatan antiklinnya sangat terkenal yaitu antiklin gunung walat," ungkapnya.
Irman menambahkan, Antiklin Gunung Walat bisa dilihat dari jauh saat kita berkendara dari cibadak menuju Cikembar, terkenal karena tersusun oleh batu pasir yg sangat bersih dengan mineral utama penyusunnya berupa kuarsa, begitu dominan sehingga berwarna putih. Dalam dunia perminyakan reservoir ini sangat bagus.
Konon batu pasir Gunung Walat ini adalah endapan pasir sungai delta yang berasal dari alur sungai yang mengarah dari utara ke selatan dan menjadi delta di sekitar cibadak. Batupasir tersebut berumur eosen akhir-oligosen awal (sekitar 40-30 juta tahun yg lalu) berdasarkan kandungan fosil spora yg hidup saat itu. Endapan delta adalah endapan kaya minyak dan gas di seluruh dunia (seperti lapangan minyak/gas kalimantan timur hasil pengendapan sungai mahakam).
Sejauh ini laporan terkait benda purbakala pada masa kolonial di sekitar Gunung Walat hanyalah gua dan batu lawang. Laporan ini muncul sekitar bulan Oktober 1927 dimana terdapat laporan terkait gua misterius dan batu lawang dari Gunung Walat.
Baca Juga: Gelar Unjuk Rasa, Petani dan Buruh Minta Pemerintah Hentikan Impor Beras
Gua yang kemudian masyarakat menyebutnya sebagai Gua Putih ini kemudian diteliti oleh tim dari Batavia. Namun mereka menyimpulkan bahwa gua ini hanyalah gua sempit yang terbentuk dari retakan batuan. Karena formasi batuan itulah maka seolah lubang masuknya berbentuk gerbang yang sebenarnya retakan batu pipih.
Sementara masyarakat sekitar saat itu menyebutkan bahwa di bawah gunung walat itu dipenuhi rongga/terowongan yang bersambung ke tempat-tempat lain, sebagian dialiri sungai dan menyambung ke sungai tertentu misalnya sungai Cilubang.
Sekitar Gunung Walat juga banyak ditemukan batu pipih yang berbentuk sederhana dan bertumpu satu sama lain yang dimungkunkan akibat pelapukan dan gempa bumi.Sebagian batu mungkin ditumpuk oleh penduduk sekitar sehingga orang membayangkannya seperti dolmen, namun dengan bentuk dan ukuran sederhana.
Hasil penelitian tersebut bukan berarti menihilkan potensi sebagai peninggalan budaya, namun perlu diteliti lebih lanjut oleh para ahli dibidangnya termasuk tenaga ahli cagar budaya mengingat wilayah Gunung Walat tidaklah jauh dari Kabuyutan Cibadak yang ditanam empat Prasasti terpisah pada masa Sri Jaya Buphati termasuk batu besar sebagai batas akhir kabuyutan.
Baca Juga: Rumah di Simpenan Sukabumi Ambruk akibat Hujan Deras, 1 Orang Terluka
Prasasti tersebut luar biasa karena sudah mencantumkan sistem penanggalan yang akurat pada masanya, jadi jika di sekitar lokasi dipasang prasasti tentunya ditujukan pada masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan membaca dan menulis alias memiliki peradaban.
Apalagi sebagian masyarakat mengeramatkan batu tersebut, tentunya sesuai kebiasaan masyarakat sunda yang memanfaatkan batu alam dalam ritual religinya sehingga bentukan batu alam tidak menjadi indikator utama dalam kajian cagar budaya.
Adapun kaitan dengan kisah Kadatuan Cipamingkis yang bersumber dari penuturan Ki Anis Djatisunda, hal tersebut juga perlu dikonfirmasikan ke ahlinya yang sekarang berada di komunitas Saung Kaum.
Gunung Walat memiliki posisi strategis untuk meninjau beberapa arah sehingga tidak menutup kemungkinan pada masanya digunakan sebagai babalean (tempat ritual) yang cirinya berada ditempat tinggi dengan sumber air untuk bersuci.
Menarik pula melihat toponimi sekitar gunung walat dimana dalam peta kolonial tahun 1899 ada tempat Bernama Karadenan yang terkait dengan struktur sosial menak sunda pada masanya.
"Namun tentunya dugaan-dugaan tersebut harus ditindaklanjuti dengan kajian khusus sehingga hasilnya dapat menjadi pengetahuan dan membuka fakta yang sesungguhnya," pungkasnya.