SUKABUMIUPDATE.com - Sengketa lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VIII di Blok Baru Ajol, Desa Sudajaya Girang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, masih berlanjut. Kepala Desa Sudajaya Girang Edi Juarsah menjelaskan duduk persoalan ini berdasarkan klaim masing-masing pihak.
Selama dua pekan terakhir belasan aparat berseragam sudah menjaga lahan itu dan mengakibatkan sekitar 200 petani penggarap tidak bisa menjalankan kegiatan pertaniannya. Penjagaan dilakukan karena diduga ada aktivitas pembukaan lahan garapan baru oleh petani penggarap di lahan produktif PTPN VIII.
"PTPN meminta bantuan Brimob untuk menjaga atau mengamankan aset di sana. Sementara kalau lihat dari sisi regulasi, kalau saya lihat dari SK Kemendagri yang ada, mereka (PTPN VIII) sudah tidak punya atas hak," kata Edi kepada sukabumiupdate.com, Rabu (18/10/2023).
Kemudian, lanjut Edi, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 12 Tahun 1971 tentang pemberian HGU kepada PTPN VIII dan SK HGU Nomor 24 Tahun 1988, masa berlaku HGU atas tanah tersebut telah habis. Selanjutnya, kata dia, (SK HGU baru) dari hasil proses perpanjangan pun belum juga diterbitkan.
Baca Juga: Lahan HGU Eks PTPN VIII Sukabumi Dijaga Brimob, Aktivitas Petani Terhambat
"Kalau dilihat dari SK Nomor 12 Tahun 1971 tentang memberikan hak guna usaha kepada PTPN XII waktu itu, hari ini menjadi PTPN VIII, habis 2006. Terus ada SK HGU Nomor 24 Tahun 1988, sama habisnya pada 2015, yang sampai saat ini proses perpanjangan HGU-nya belum bisa diterbitkan. Entah apa kendalanya. Kita tidak tahu," ujar dia.
Lalu jika mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sambung Edi, penghapusan HGU adalah ketika masa berlakunya berakhir. "Dilihat dari UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, hapusnya HGU itu manakala masa berlakunya sudah berakhir. Hapuslah, baik kewajiban maupun haknya," katanya.
"Begitu juga dengan adanya peraturan pemerintah yang mengatur tentang HGU, jika selama dua tahun mereka (PTPN) tidak bisa memperpanjang status HGU tersebut, maka pihak yang bersangkutan harus mengangkat selurut aset yang ada di tanah tersebut," imbuh Edi.
Menurut Edi, saat ini para pihak yang terlibat sengketa sama-sama kukuh dan merasa memiliki dasar aturan. "Mereka saling ngotot karena punya dasar hukum masing-masing. PTPN dengan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, sedangkan masyarakat (petani penggarap) berdasarkan PERPRES Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Mereka memanfaatkan lahan untuk dijadikan objek reforma agraria," katanya.
Terkait upaya penyelesaian sengketa ini, Edi mengaku tidak pernah menerima permohonan mediasi dari kedua pihak. Namun, apabila ada permohonan mediasi, semaksimal pihaknya akan mencoba untuk memfasilitasi itu.
"Saya tidak bisa menginisiasi untuk menyelesaikan permasalahan itu manakala para pihak tidak meminta. Sampai hari ini baik dari petani penggarap maupun PTPN, tidak ada permohonan untuk diselesaikan. Kecuali ada permohonan, insyaAllah semaksimal mungkin saya akan berusaha menyelesaikan permasalahan ini dengan mediasi," katanya.