SUKABUMIUPDATE.com - Melalui raut wajahnya, Ruminah (87 tahun) menggambarkan kesedihan sekaligus kebanggaan tatkala sukabumiupdate.com bertanya soal perjuangan suaminya. Ruminah adalah istri gerilyawan bernama M Saroh asal Kampung Cilutung, Desa Gunung Sungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi.
Ruminah lahir 1936 dan saat ini masih hidup dengan kondisi memprihatinkan. Sementara suaminya lahir pada 1928 dan meninggal 1968 atau pada usia 40 tahun. Ruminah mengalami gangguan pendengaran sehingga dia hanya dapat menggambarkan suana hatinya melalui raut muka saat ditemui di rumahnya pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Menempati rumah kayu-bambu dengan alas plester berukuran 5x7 meter persegi, Ruminah tinggal sendiri, meski terkadang ditemani cucu dan cicitnya. Dari pernikahannya dengan M Saroh, Ruminah memiliki tujuh anak. M Saroh adalah salah satu gerilyawan asal Kecamatan Surade dan menjadi anggota Keibodan (Korps Kewaspadaan).
Hal itu diungkapkan tokoh Pajampangan, Ki Kamaludin (72 tahun). Menurut Ki Kamaludin, M Saroh selama hidupnya merupakan anggota Keibodan, organisasi semi militer yang didirikan oleh Jepang pada 29 April 1943. Ini bersamaan dengan dibentuknya Seinendan (Korps Pemuda), beberapa waktu sebelumnya atau 9 Maret 1943.
"M Saroh kemudian menjadi tentara Laskar Bambu Runcing pimpinan Tjetje Soebrata. Pada 1945, M Saroh ikut penyerangan markas Jepang di wilayah Nyomplong. Dia lalu ditangkap dan dipenjarakan selama tujuh bulan bersama Tjetje Soebrata," kata dia pada Rabu (16/8/2023).
Baca Juga: Sukabumi Jelang Proklamasi dan Bung Karno yang Dikira Dibuang ke Salabintana
Setahun berikutnya atau 1946, M Saroh berhasil dibebaskan Letnan Kolonel Eddie Soekardi, pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang membawahi Bogor, Sukabumi, dan Cianjur pada 1945-1946. Bahkan Ki Kamaludin menyebut, apabila tidak salah, M Saroh juga ikut pertempuran Bojongkokosan melawan tentara Inggris.
Terkait kehidupan pribadi M Saroh, Ki Kamaludin mengatakan gerilyawan ini wafat pada usia 40 tahun dengan meninggalkan istri yakni Ruminah dan tujuh anak. Ketika itu, anak pertamanya bernama Anon masih berusia 18 tahun, kedua Aludin, ketiga Imas, keempat Ipoh, kelima Wiwin, keenam Isur Suryati, dan ketujuh Esin.
"Saat itu anak-anaknya hanya ikut Sekolah Rakyat atau SR dan tidak tamat, hanya sampai kelas 3 atau 4. Bayarannya dengan kayu bahan bakar, ayam, atau hasil pertanian. Menuju sekolah juga harus dengan jalan kaki sejauh tujuh kilometer ke Surade," ujarnya.
Sepeninggal suaminya, Ruminah berjuang menghidupi tujuh anaknya dari penghasilan membuat genting ceper. Sementara anak-anaknya yang sudah besar bekerja serabutan dan menjadi petani. Selama suaminya dipenjara akibat ikut menyerang markas Jepang, Ruminah pernah beberapa kali menjenguk ke Nyomplong dengan mengaku sebagai adik.
"Dia (Ruminah) ke Nyomplong naik bus. Saat itu sudah ada bus Marhaen, bus Sukadamai, bus Damri, dan bus Persaudaraan. Pada 1945 sudah ada bus Surade-Sukabumi karena jalan raya diaspal pertama kali tahun 1939," ujar Ki Kamaludin.
"Pada 1967-1968 M Saroh diusulkan ke Veteran untuk medapatkan santunan atau gaji, tetapi sampai beliau meninggal tak kunjung datang. Akhirnya meninggal tanpa jadi veteran. Untuk kebutuhan hidupnya, Nenek Ruminah mengandalkan pemberian anak-anaknya yang sudah tua dan hanya bekerja sebagai petani," imbuh dia.