SUKABUMIUPDATE.com - Selain memiliki suasana alam yang masih relatif terjaga, Gua Gunung Sungging di Kampung Cigintung, Desa Gunung Sungging, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, menjadi saksi perjuangan warga Surade dalam merebut kemerdekaan.
Gua Gunung Sungging berjarak sekitar empat kilometer dari kantor Kecamatan Surade. Tempat ini banyak dikunjungi wisatawan karena juga memiliki penampilan ukiran batuan alami di dalam gua. Setiap batu di Gua Gunung Sungging memiliki bentuk yang unik dan menakjubkan.
Beberapa batu terlihat berbentuk mirip hewan seperti buaya, kuda, badak, dan gajah. Tak heran. keberadaan Gua Sungging dikaitkan dengan beragam cerita mistis. Selain batuan, di dalam gua juga terdapat aliran sungai. Gua ini memilik area dalam yang panjang dan cukup luas.
Adapun keterkaitan Gua Gunung Sungging dengan perjuangan kemerdekaan diungkapkan tokoh Pajampangan, Ki Kamaludin (72 tahun). Dia mengawali ceritanya dengan menyatakan gua ini berkaitan erat dengan upaya merebut kemerdekaan Indonesia pada masa Jepang.
Baca Juga: Cerita Putri Kembar dan Lantunan Selawat dari Dalam Gua Masigit Sukabumi
"Perjuangan dimulai pada zaman Jepang tahun 1942. Waktu itu Dai Nippon masuk wilayah Surade dan Ciracap melalui Muara Cipasung Desa Cipeundeuy dan Muara Cikaret Desa Sukatani," kata dia kepada sukabumiupdate.com pada Selasa (15/8/2023).
Ki Kamaludin mengungkapkan pada 1942 wilayah Kecamatan Surade dan Ciracap menjadi basis perjuangan organisasi semi militer yang didirikan Jepang seperti Seinendan (Korps Pemuda), Keibodan (Korps Kewaspadaan), Suishintai (Barisan Pelopor), dan Heiho.
Setahun berikutnya atau 1943, Ki Kamaludin menyebut Jepang memerintahkan semua buku-buku berbahasa Belanda dibakar, baik yang disimpan di rumah maupun di tempat lain. Pada tahun yang sama, Sekolah Rakyat (SR) diwajibkan menggunakan bahasa Jepang.
"Anak-anak SR diberi baju santung, baju buatan Jepang. Tahun 1944-1945 anak SR dilatih militer atau Seinendan, Keibodan, dan lainnya. Warga disuruh diwajibkan kerja paksa atau romusha. Pada 1945 sebelum proklamasi, mereka dilatih di lapangan rumah Ki Owar, salah satu warga Kampung Cikujang, Desa Gunung Sungging," ujarnya.
Ki Kamaludin mengungkapkan ketika terjadi pertempuran di Cikarang (sekarang perbatasan Desa Pasiripis, Kecamatan Surade, dengan Desa Purwasedar, Kecamatan Ciracap), siswa SR disuruh oleh Jepang berjuang menyerang Belanda yang bermarkas di Ujunggenteng.
"Saat ada serangan Belanda, pasukan Seinendan mundur dan bermarkas di Cikujang, Desa Gunung Sungging, tepatnya di depan rumah Ki Owar di bawah pohon mangga. Lalu bersembunyi ke Goa Gunung Sungging. Tahun 1945 dipimpin Letnan Saptaji yang bermarkas di Jipun (Cikaso), di kaki Gunung Kancana Cikaso," ungkapnya.
Goa Gunung Sungging disebut Ki Kamaludin sering dijadikan tempat persembunyian gerilyawan, terutama saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1947. Termasuk saat Agresi Militer I dan II, pimpinan Kapten Saptaji (terakhir Mayjen Purnawirawan Saptaji).
"Gua ini saksi bisu tempatnya sarang markas, persembunyian gerilyawan pejuang 1945, juga saat Agresi Militer Belanda I dan II," katanya.
Berdasarkan catatan Anik Sulistyowati dalam buku ajar Sejarah (2020:12), Seinendan merupakan organisasi yang diisi pemuda Indonesia dengan kisaran umur 14 hingga 22 tahun. Bertujuan untuk melatih anak muda agar bisa mempertahankan wilayahnya masing-masing.
Sementara Keibodan adalah organisasi yang diisi oleh pemuda-pemuda Indonesia yang usianya mulai 25 sampai 35 tahun. Dengan kriteria usia tersebut, Jepang menganggap bahwa anggota Keibodan nantinya lebih dewasa dan siap dalam menjaga keamanan negara.