SUKABUMIUPDATE.com - Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel memberi tanggapan soal kasus penganiayaan sadis terhadap Abah Emik Hamami (85 tahun) dan Abah Asep (53 tahun), warga Tanah Putih Kecamatan Kebonpedes Kabupaten Sukabumi oleh seorang pria yang tengah menjalani pengobatan alternatif pada Jumat 28 Juli 2023.
Disebut-sebut, pelaku yang diketahui bernama Dilah (30 tahun) saat kejadian berdarah itu tengah menyambangi kediaman Abah Emik dalam rangka pengobatan penyakit kejiwaan yang dialaminya.
Menurut Reza, bila memang pelaku adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), maka patut dipertanyakan di mana pihak keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga pelaku yang disebut ODGJ tersebut.
Baca Juga: Kemarau, Ancaman Kekeringan Mulai Melanda Jampangtengah Sukabumi
Sebab, menurut Anggota Pusat Kajian Assesment Pemasyarakatan POLTEKIP Kementerian Hukum dan HAM itu, keluarga pelaku bisa dipidana karena tidak bisa menjaga anggota keluarganya tersebut.
“Pihak keluarga bisa melanggar Pasal 491 KUHP. Dalam pasal itu menyebutkan bahwa orang yang diwajibkan menjaga orang gila, yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, tapi membiarkan dia berkeliaran tanpa dijaga dapat diancam dengan pidana denda paling banyak Rp 750 ribu,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (29/7/2023).
Tak hanya keluarga pelaku, dalam kasus ini Reza menyebut polisi juga dapat dikenakan tuntutan ganti rugi secara perdata.
Hal itu berkaitan dengan bebasnya pelaku dari jeratan hukum melalui mekanisme restorative justice (RJ) pada kasus pembacokan yang pernah dilakukan pelaku di Kecamatan Curugkembar Juni 2023 lalu.
Baca Juga: Rereongan Warga Cimahi Sukabumi Bangun "Bendungan Swadaya" Usai 1 Tahun Kekeringan
Menurut Reza, RJ atau langkah damai yang diselenggarakan pada saat itu nampaknya tidak didasarkan pada pemahaman, konsep, dan metode yang tepat. Akibatnya tidak ada kejelasan tentang poin-poin restorasinya.
“Saya menyayangkan kepolisian setempat karena tidak memberikan pendampingan RJ secara memadai,” kata Reza.
“Saya tafsirkan bahwa polisilah yang menjadi penyelenggara RJ tersebut. Namun tidak ada kejelasan terkait poin-poin yang di-RJ-kan. Semestinya polisilah yang paham dan memandu kedua pihak agar bisa ber-RJ dengan baik,” tambahnya.
Menurut Reza, dengan pelaku mengulangi perbuatannya, mengindikasikan tidak ada perlakuan terhadap pelaku seperti yang dimuat dalam dalam RJ.
Baca Juga: Anggota MPR RI Dapil Sukabumi Bicara Empat Pilar kepada Warga
“Akibatnya, upaya preventif tidak ada. Konsekuensi tragisnya, terjadi pengulangan aksi pidana. Dengan alur berpikir sedemikian rupa, polisi setempat perlu dicek apa yang mereka lakukan dalam RJ dimaksud,” ujarnya.
Lebih lanjut Reza juga mengingatkan, tidak semua jenis gangguan kejiwaan bisa membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Pasal itu menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit. Jadi, harus dipastikan seakurat mungkin diagnosis kejiwaan si pelaku,” tuturnya.
Baca Juga: Analog Swicth Off, Warga Sukabumi Keluhkan Harga STB hingga Sinyal TV Digital
“Juga, andai si pelaku diketahui mempunyai gangguan kejiwaan, masih perlu dicek sejak kapan ia menderita gangguan tersebut? Jika gangguan baru muncul setelah ia melakukan aksi kejahatan, perbuatan jahatnya sesungguhnya ditampilkan saat ia masih waras. Karena itu, seharusnya tetap ada pertanggungjawaban secara pidana,” lanjutnya.
Oleh karena itu apabila pelaku dalam kasus ini sudah tertangkap, Reza menyebut penyelidikan forensik juga perlu lebih dikedepankan ketimbang klinis.