SUKABUMIUPDATE.com - Sejak diberlakukannya sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi pada 2017 silam, hingga kini implementasinya masih dianggap tak efektif. Pasalnya kebijakan tersebut dianggap menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat.
Baru-baru ini, PPDB telah selesai dilaksanakan di wilayah Jawa Barat. Khusus di Sukabumi, berdasarkan pantauan langsung sukabumiupdate.com pada Senin (17/7/2023) terlihat para pelajar tengah memasuki hari pertama proses belajar mengajar di sekolah barunya.
Diketahui, dalam pelaksanaannya, PPDB di Sukabumi menuai banyak kecaman dari berbagai elemen masyarakat seperti Mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan aksi demontrasi di depan Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan wilayah V Sukabumi di Jalan Raya Selabintana Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi, Jumat (14/7/2023) lalu.
Mereka menganggap, PPDB sistem zonasi itu rentan diwarnai kecurangan, dijadikan ajang saling titip calon siswa, pungli hingga praktek pindah KK yang dianggap sebagai upaya untuk mengakali sistem zonasi.
Baca Juga: Otak Atik PPDB? Ratusan Masa Kepung Kantor KCD Disdik Jabar Sukabumi
Menanggapinya, pengamat kebijakan publik dari Universitas Muhammadiyah (UMMI) Sukabumi Dian Purwanti mengatakan, carut marut kebijakan PPDB ini setiap tahunnya terus terjadi karena sejak awal dibuat pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan tidak berdasarkan tahapan yang benar.
"Kebijakan itu (PPDB) dibuat tidak melalui tahapan yang benar,dimana secara teori proses formulasi kebijakan seharusnya melalui tahapan identifikasi masalah, penyusunan agenda, perumusan kebijakan, pengesahan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan," kata Dian kepada sukabumiupdate.com pada Senin (17/7/2023).
Dian yang juga merupakan pengurus dari Indonesian Association for Public Administration (IAPA) Jawa Barat itu mengatakan, perubahan “nama” atau “istilah” atau “nomenklatur” kebijakan PPDB dari sistem Rayonisasi dan kini menjadi Afirmasi atau Zonasi terbukti tidak bisa menjadi solusi yang tepat.
Menurut Dian, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu pada kebijakan sebelumnya. Hal itu diperlukan agar kebijakan baru atau kebijakan pengganti dapat menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Dian menganggap, pada dasarnya sistem zonasi dibuat untuk menciptakan keadilan bagi siswa miskin, akan tetapi dalam proses implementasinya menjadi tidak efektif ketika campur tangan politik yang terlalu kuat di dalamnya.
"Berdasarkan hasil penelitian terkait Efektivitas Perubahan Kebijakan PPDB Tingkat SMP pada tahun 2019, faktanya banyak masyarakat yang memanfaatkan “oknum” wakil rakyat, pemangku kebijakan atau ormas untuk memperlancar proses pendaftaran calon peserta didik baru tanpa melalui jalur seleksi yang benar," kata dia.
Akibatnya, lanjut Dian, kebijakan PPDB sistem Zonasi menjadi Ambigu dan penuh konflik dalam implementasinya.
"Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang saya lakukan pada tahun 2019 serta hasil pengamatan kondisi di lapangan pada tahun 2023 ini, maka dapat diinterpretasikan bahwa Kebijakan PPDB di negara kita akhirnya hanya masuk ke dalam kategori “Kebijakan Simbolik” yang dicirikan dengan Implementasi kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi," tuturnya.
Menurut Dian, kebijakan PPDB ini membingungkan para pelaksana dan masyarakat karena pembuat kebijakan, pengawas kebijakan, para pemegang kekuasaan, juga kelompok penekan tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, bahkan cenderung menjadikan kebijakan ini sebagai “Bancakan”, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik setiap kali kebijakan ini di implementasikan.
"Padahal penyelenggaraan Pendidikan adalah kegiatan yang lebih bersifat administrasi. Seharusnya menggunakan kebijakan administrative yang rendah ambiguitasnya juga rendah konflik," tandasnya.